Heat berhasil mencapai mengembalikan kulturnya bersama Butler yang baru datang musim ini. Heat dan Butler menghasilkan kombinasi sempurna.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·5 menit baca
ORLANDO, SENIN — Tahun lalu, bintang basket Jimmy Butler diperkenalkan sebagai pemain Miami Heat. Hari itu jadi momen terbaik bagi Butler maupun Heat. Butler menemukan rumah, sedangkan Heat menemukan penerus kultur klub. Kemarin, tepat setahun pengenalan itu, mereka sukses menembus Final NBA.
Bagi Butler, pencapaian final musim ini merupakan yang pertama selama sembilan tahun kariernya di NBA. Prestasi itu datang setelah dia dibuang untuk ketiga kali oleh bekas klubnya musim lalu. Sementara itu, Heat akhirnya menembus final pertama dalam enam tahun, setelah musim lalu bahkan tidak lolos playoff.
Roda nasib keduanya berputar hanya dalam 365 hari setelah mereka menjuarai Wilayah Timur sekaligus lolos ke Final NBA dengan menyingkirkan Boston Celtics, Senin (28/9/2020). Kesuksesan ini menandakan Butler dan Heat adalah kombinasi sempurna.
”Jimmy memimpin tim ini, mewujudkan profesionalisme dan kerja keras. Dia melakukan apa pun untuk menang. Dia membawa tim ke level berbeda. Tim ini jadi sangat kompetitif, mereka saling mengalahkan dalam latihan. Semua bersaing datang lebih pagi,” kata Pelatih Heat Erik Spoestra.
Butler membantu reinkarnasi kultur Heat. Dalam dirinya, Heat akhirnya menemukan seorang bintang yang bisa memikul kultur klub di dalam dan luar lapangan setelah kepergian tiga legenda Dwyane Wade, Chris Bosh, dan LeBron James.
Klub kebanggaan Miami ini punya kultur unik. Mereka terkenal dengan loyalitas dan kekeluargaan. Di sisi lain, anggota klub selalu membayarnya lewat etos kerja tinggi. Semua orang ingin menjadi lebih baik.
Di tim ini, bukan hanya tentang menjadi terkenal, bukan tentang statistik, tetapi bagaimana bisa menang sebagai grup.
Tidak ada yang lebih cocok menghidupi kultur itu dibanding Butler. Pemain berusia 31 tahun ini punya etos kerja di luar akal. Mulai dari latihan sampai tengah malam dan datang lagi pada subuh keesokan hari. Mentalitas kokoh itu terbentuk dari masa kecilnya yang dicampakkan kedua orangtua sejak usia 13 tahun.
Pemain paling senior Heat, Udonis Haslem (40), mengatakan, kehadiran Butler membuatnya punya rekan untuk menghidupkan kembali kultur klub. Selama di ”gelembung”, mereka memberi contoh pemain-pemain muda dengan aksi nyata.
Misalnya, keduanya tidak mau tidur di kasur nyaman hotel. Mereka lebih memilih sofa. Butler juga tidak menggunakan hak mengajak keluarga ke dalam ”gelembung”. Mereka tidak ingin masuk ke zona nyaman. Kedatangan mereka untuk bertanding, bukan berlibur.
Di sisi lain, Butler akhirnya menemukan rumah yang tepat. Dia menemukan tim yang bisa menghargai bakatnya sebagai pemain kolektif. Butler bukan pemain bintang yang konsisten mencetak 30 poin setiap laga. Namun, dia bisa membawa tim menang lewat permainan kolektif dan perjuangan gigih.
”Di tim ini, bukan hanya tentang menjadi terkenal, bukan tentang statistik, tetapi bagaimana bisa menang sebagai grup. Itu dia mengapa saya merasa seperti berada di rumah. Banyak yang tidak percaya kultur di sini, tetapi ini sungguh nyata,” sebut Butler.
Mantan pemain NBA era 90-an, Tim Legler, menilai kebersamaan dan kepercayaan antarpemain merupakan kunci kesuksesan Heat. Hal itu justru membuat kuda hitam unggulan ke-5 ini mengalahkan tim besar seperti Celtics dan unggulan pertama Milwaukee Bucks dalam perjalanan ke final.
”Jujur saya tidak terkejut mereka mencapai final. Mereka saling terhubung satu sama lain, saling percaya, melebih tim mana pun. Saya bermain 10 tahun di NBA, sulit menemukan tim seperti ini. Kepercayaan menjadikan mereka kompetitif,” ujar Legler kepada ESPN.
Karena itu, pahlawan kemenangan Heat nyaris selalu berganti-ganti di setiap gim. Dari pemain senior Butler dan veteran Goran Dragic, center yang sedang naik daun Bam Adebayo, hingga rookie Tyler Herro, bergantian memimpin tim sejak putaran pertama.
Bagi Heat, kultur klub ini sebuah hal sakral yang harus dijaga. Kultur itu sudah menyatu dalam seisi tim. Mulai dari presiden klub Pat Riley, Spoelstra, hingga beberapa pemain yang sudah lebih dari satu dekade menjadi keluarga Heat. Mereka membuktikan kultur itu pantas diperjuangkan.
”Kami adalah diri kami. Beberapa tahun mereka mengatakan kami adalah lelucon, kami berada dalam kultur yang salah. Akan tetapi, siapa yang peduli. Kami percaya pada kultur ini,” pungkas Spoelstra.
Rencana sempurna
Tim kokoh Heat tidak bisa dilepaskan dari rencana sempurna Spoelstra dan Riley. Keduanya membuat perekrutan jenius dalam masa pembangunan ulang Heat musim ini, selain Butler. Pemain veteran Andre Iguodala yang didatangkan pada pertengahan musim jadi salah satu yang terpenting. Meski hanya pelapis tim, Spoelstra sangat terbantu dengan pengalaman pemain yang mengantar Golden State Warriors lolos final lima kali tersebut.
Hasilnya, Iguodala kembali membawa timnya lolos ke final. Peraih MVP Final 2015 itu menjadi satu-satunya pemain musim ini yang akan tampil enam kali beruntun di final.
Sementara itu, perekrutan Herro pada malam draf juga jadi salah satu keputusan terbaik mereka. Pemain dengan kemampuan menembak dan dribel istimewa ini menjadikan Heat lebih dinamis. Mentalitas dan etos kerjanya pun berada di level berbeda meski ia baru berusia 20 tahun. Dia sejalan dengan kultur Heat karena sudah ditempa oleh pelatih penghasil bintang NBA John Calipari, di Universitas Kentucky.
Kehadiran Herro melengkapi talenta muda terbaik tim, Adebayo, yang juga berasal dari Kentucky. Bakat Adebayo saat ini menjadi perbincangan paling hangat di NBA. Pemain musim ketiga ini sangat dominan dengan tubuh atletis dan kecepatannya.
Kesempurnaan reinkarnasi kultur Heat musim ini akan ditentukan dalam pertarungan final melawan perwakilan Wilayah Barat, Los Angeles Lakers. Partai itu merupakan reuni antara Spoelstra dan mantan anak asuhnya, megabintang Lakers, LeBron James. (AP/KEL)tang Lakers, LeBron James. (AP/KEL)