Saat Perancis Terbuka Sulit Diprediksi
Petenis putra yang akan bertakhta di Perancis Terbuka masih menjadi enigma atau teka-teki. Peluang Rafael Nadal, si ”Raja Lapangan Tanah Liat”, menjadi juara, sejajar dengan petenis lainnya.
Bicara Perancis Terbuka tak akan lepas dari topik dominasi Rafael Nadal. Namun, persaingan tunggal putra di Grand Slam tersebut pada tahun ini akan sedikit berbeda. Peluang ”Raja Lapangan Tanah Liat” untuk bertakhta ke-13 kalinya di Roland Garros, Paris, tak jauh lebih besar dibandingkan dengan Novak Djokovic dan Dominic Thiem.
Nadal datang ke Perancis Terbuka, 27 September-11 Oktober 2020, dengan status sebagai petenis terbaik di lapangan tanah liat. Tak ada yang melampaui statistik kemenangannya di lapangan berkarakter lambat itu.
Dihitung dari penampilan di turnamen tanah liat ATP Tour, Grand Slam, dan Olimpiade, persentase kemenangannya mencapai 92 persen (438 menang, 40 kalah). Angka tersebut menunjukkan keunggulannya dibandingkan dengan jenis lapangan lain, yaitu lapangan keras dan rumput, masing-masing dengan 78 persen kemenangan.
Khusus di Roland Garros, persentase kemenangan Nadal, bahkan, mencapai 98 persen. Dia hanya dua kali kalah dari 95 pertandingan. Dari 15 keikutsertaan, 12 gelar juara yang didapat membuat Nadal menjadi petenis paling dominan dalam satu turnamen. Hanya Roger Federer yang bisa mendekatinya dengan 10 gelar juara, masing-masing di ATP Halle dan Basel.
Akan tetapi, seperti dikatakan Nadal setelah dikalahkan Diego Schwartzman pada perempat final ATP Masters 1000 Roma, pekan lalu, tahun 2020 adalah musim yang khusus dan sulit diprediksi. Pandemi Covid-19, yang membuat turnamen tenis dihentikan pada Maret hingga Agustus, telah mengubah alur kehidupan semua petenis yang sistematis.
Dengan situasi itu pula, Nadal tak punya banyak waktu untuk menyesuaikan diri dengan suasana kompetisi. Meski punya banyak waktu untuk berlatih, dia tak memiliki kesempatan bertanding yang leluasa setelah menjuarai ATP Acapulco, Februari.
”Bahkan, Rafael Nadal pun memerlukan turnamen untuk ’berlatih’ dan itu telah hilang pada tahun ini. Di mata saya, dia masih menjadi favorit juara Roland Garros, tetapi peluang petenis lain untuk melakukan hal yang sama semakin besar,” tutur mantan petenis nomor satu dunia Boris Becker.
Perubahan jadwal turnamen yang terjadi sejak Maret, salah satunya, mengubah musim persaingan di tanah liat yang biasanya berlangsung April-Juni. Dua dari tiga turnamen ATP Masters 1000, yaitu Monte Carlo dan Madrid, ditiadakan. Adapun Roma Masters, seperti halnya Perancis Terbuka, dipindahkan menjadi September-Oktober.
Hal ini pula yang akan menjadi tantangan bagi Nadal. Turnamen tanah liat tahun ini diselenggarakan ketika cuaca di Eropa mulai dingin karena memasuki musim gugur. Padahal, Nadal lebih menyukai bertanding dalam cuaca lebih hangat yang membuat lapangan lebih licin, hingga membuatnya lebih mudah bergerak dengan cara meluncur.
”Tahun ini, lapangan akan menjadi tantangan tersendiri bagi Rafa. Lapangan tidak akan licin karena akan lebih basah. Putaran bola, juga, tak akan secepat seperti saat Perancis Terbuka digelar pada musim panas. Lapangan tanah liat kali ini akan lebih cocok untuk petenis-petenis lapangan keras,” tutur Mats Wilander, juara Perancis Terbuka 1982, 1985, dan 1988.
Atas dasar itu, Wilander lebih menjagokan Djokovic untuk juara. Apalagi, tunggal putra nomor satu dunia itu datang ke Roland Garros dengan bekal gelar juara Roma Masters. Dengan 36 gelar, Djokovic pun melampaui prestasi Nadal (35 gelar) sebagai juara ATP Masters 1000 terbanyak.
”Bicara Roland Garros, Rafa adalah pemain yang harus dikalahkan. Dia mendominasi lapangan tanah liat, tetapi bukan berarti tak bisa dikalahkan,” ujar Djokovic, berkaca pada kekalahan Nadal dari Schwartzman.
Djokovic juga mengatakan, dia masih memiliki senjata yang belum dikeluarkan ketika menjuarai Roma Masters. ”Tanpa bermaksud arogan, saya belum tampil pada kemampuan terbaik di Roma. Saya masih bisa meningkatkan level permainan karena itu yang saya perlukan jika ingin melangkah jauh di Paris,” katanya.
Beban ringan
Thiem, yang empat kali dikalahkan Nadal di Roland Garros, kali ini, bisa disejajarkan dengan Djokovic sebagai calon penjegal Nadal. Meski tak punya waktu untuk bersiap di lapangan tanah liat dalam pertandingan, Thiem memiliki modal besar untuk melangkah lebih baik dibandingkan dengan final 2018 dan 2019 ketika dia dikalahkan Nadal.
Modal itu adalah gelar juara Amerika Serikat Terbuka di Flushing Meadows, New York, dua pekan lalu. Dengan gelar pertama dari arena Grand Slam, petenis berusia 27 tahun itu telah melepas beban besar. Sebelumnya, dia selalu berada di bawah sorotan karena tak menjuarai Grand Slam sejak menjadi petenis profesional pada 2011.
Pelatihnya, Nicolas Massu, berpendapat, dengan gelar itu, minimnya persiapan Thiem di tanah liat tak akan menjadi masalah besar. ”Dominic akan tampil lebih tenang di arena Grand Slam, tanpa beban berat menjadi juara dari kalangan generasi penerus ’Big Three’. Itu yang terpenting,” kata Massu, mantan petenis asal Chile.
Namun, ada satu faktor penting yang tak bisa dilupakan Thiem saat tampil di Roland Garros untuk ketujuh kalinya. Ketika menjuarai AS Terbuka, dia tak berjumpa dengan Big Three.
Federer absen karena cedera lutut, Nadal tak tampil karena khawatir tampil di AS dalam situasi pandemi Covid-19, adapun Djokovic didiskualifikasi pada babak keempat. Sanksi tersebut diterima Djokovic ketika berhadapan dengan Pablo Carreno Busta karena bola yang dipukulnya, sebagai pelampiasan emosi, mengenai leher seorang penjaga garis.
Thiem pun berharap, dengan pola pikir tanpa beban, dia bisa tampil lebih baik di Roland Garros yang akan dihadiri seribu penonton per hari. Meski demikian, dia tak akan menyepelekan Nadal meski situasi tahun ini membuat persaingan akan lebih terbuka.
Mantan petenis AS, Jim Courier, yang menjadi komentator untuk The Tennis Channel, mengemukakan sudut pandang berbeda. ”Dalam pertandingan dengan format best of five, Rafa memiliki waktu untuk memecahkan masalah. Dia memang berbicara membutuhkan lebih banyak pertandingan sebelum Roland Garros. Tetapi, menurut saya, itu tak akan mengganggunya,” ujar Courier.
Craig O’Shannessy, pelatih yang ahli dalam menentukan strategi, menyebut kelebihan yang membuat Nadal bisa mendominasi Perancis Terbuka. Itu karena petenis Spanyol tersebut memiliki kemampuan untuk bisa keluar dari tekanan.
Indikator yang digunakan di antaranya persentase dalam menggagalkan break point lawan. Angka 73 persen, dari 95 pertandingan, di Roland Garros menjadi yang tertinggi bagi Nadal dibandingkan dengan tiga Grand Slam lain.
Dia juga menjadi petenis paling berbahaya saat menerima servis. Nadal memiliki persentase tertinggi dalam memperoleh poin dari posisi menerima servis, yaitu 56 persen. Ini lebih baik dari petenis lain, termasuk Djokovic dan Thiem.
Petenis Yunani, Stefanos Tsitsipas, pun berpendapat, apa pun yang dirasakan dan akan dialami Nadal, dia akan menemukan jalan untuk keluar dari masalah. ”Dia selalu menemukan jalan. Tanah liat adalah ’rumahnya’. Saya yakin, dia akan baik-baik saja,” katanya. (AP/AFP/REUTERS)