Slovenia, negeri mungil di benua Eropa, memiliki ambisi tinggi untuk menjadi besar dengan prestasi. Olahraga menjadi salah satu bidang yang mengangkat pecahan Yugoslavia itu ke panggung dunia.
Oleh
AGUNG SETYAHADI
·4 menit baca
Tadej Pogacar menyebarkan ”demam kuning” di Slovenia setelah resmi menjadi juara balap sepeda paling keras, Tour de France, di Paris, Minggu (20/9/2020). Pebalap yang berusia 22 tahun pada 21 September itu menjadi pahlawan baru Slovenia, negara kecil dengan penduduk sekitar 2 juta jiwa, yang membangun identitas sebagai negara besar melalui pencapaian gemilang di berbagai bidang.
Ljubljana, ibu kota Slovenia, bernuansa kuning di awal pekan ini. Sejumlah lokasi dihiasi warna kuning, mulai dari alun-alun kota, pertokoan, pompa bensin, perkantoran, hingga kampus. Slovenia sedang merayakan hari besar saat Tadej Pogacar menancapkan sejarah baru sebagai pebalap pertama negeri pecahan Yugoslavia itu yang menjuarai Tour de France.
Slovenia sebenarnya sudah bersiap menggelar pesta meskipun Pogacar tidak juara karena rekan senegaranya, Primoz Roglic, kandidat terkuat hingga etape 19. Sekitar 2 juta penduduk Slovenia tahu, salah satu dari pebalap kebanggaan mereka itu akan menjadi pemakai maillot jaune alias jersei kuning di Paris.
Namun, kebanggaan terbesar Slovenia adalah, kedua pebalap mereka bertarung dengan gigih dan sportif. Spirit itu mewakili mentalitas yang ditanamkan pada generasi penerus Slovenia, ngotot, tekun, dan tetap memiliki hati yang besar. Faktor ketiga itulah yang menjadikan Slovenia sebagai negara paling ramah di Eropa.
Mereka tetap bekerja keras, tetapi tidak melupakan pentingnya ikatan sosial yang kuat. Itu persis dengan yang diungkapkan Roglic. ”Ada banyak profesional hebat di Slovenia dalam semua cabang olahraga, ini negeri yang keras dan kami semua saling mendorong,” ujar Roglic, dikutip Deutsche Welle.
Slovenia kini sedang memanen atlet-atlet top. Di cabang bola basket, ada Luka Doncic yang menjadi salah satu andalan tim NBA Dallas Mavericks, serta Goran Dragic di Miami Heat. Di sepak bola, tak ada yang tak mengakui kehebatan kiper Atletico Madrid, Jan Oblak. Di ajang Olimpiade musim dingin, mereka memiliki dua kali peraih emas ski Tina Maze. Bahkan, medali Olimpiade mereka per kapita di urutan ke-15. Ini memang tak lepas dari jumlah penduduk mereka yang hanya sekitar 2 juta jiwa.
Mereka memanen talenta-talenta dunia itu berkat pembinaan berjenjang. Di basket, misalnya, ada dua jenjang pembinaan basket umum dan basket elite. Basket umum diterapkan di sekolah-sekolah. Mereka yang berbakat besar ditempa di klub-klub basket dengan kompetisi yang lebih ketat. Jenjang berikutnya adalah masuk ke kompetisi elite, dengan pelatih yang level tinggi untuk mematangkan teknik dan mental sebelum menembus level dunia.
Hal serupa dilakukan di balap sepeda, salah satunya ditandai dengan penerapan tes performa pada 1988. Penerapan sports science itu diawali oleh Radoje Milic, ilmuwan pada Universitas Ljubljana. Milic yang disebut sebagai salah satu godfather balap sepeda Slovenia merintis tradisi tes performa, menyusun rencana latihan pengembangan, serta mencari pelatih-pelatih muda.
”Pada 1990, Bogdan Fink meraih medali perunggu pertama kami pada kejuaraan dunia yunior,” kenang Milic.
Jalan panjang pembinaan itu terakumulasi pada dominasi Roglic selama 13 hari di Tour de France 2020, serta gelar juara Pogacar di Le Tour edisi ke-107 itu. Pogacar juga meraih gelar Raja Tanjakan dan Pebalap Muda Terbaik.
Pelatih masa muda Pogacar, Miha Koncilija, menerapkan pemantauan pada pebalap Tim UEA Emirates itu sejak berusia 14 tahun. ”Kami tidak tahu dia akan bisa meraih apa yang dia capai di sini di Paris. Tetapi, kami tahu dia memiliki talenta besar dan kami mencatat bagaimana dia bekerja keras,” ujarnya.
”Kami mengumpulkan data dirinya sejak dia berusia 14 tahun. Kami melakukan sejumlah tes per tahun karena kami telah mengidentifikasi bakatnya,” ujar Koncilija.
Menjalankan pembinaan balap sepeda, di negeri yang tidak memiliki tradisi juara, juga sedikit bakat yang bisa dikembangkan, sangat tidak mudah. Namun, Milic, Koncilija, dan para pelatih lainnya tidak putus asa. Ini semua karena motivasi besar untuk memiliki identitas besar yang tertanam di setiap warna negara.
Matej Tusak psikolog olahraga Slovenia yang pernah ikut membina Roglic di awal karier balap sepeda setelah meninggalkan ski jumping, mengatakan, fakta Slovenia negara kecil yang membuat para pelatih lebih termotivasi dan bekerja lebih keras untuk melatih talenta yang jumlahnya sedikit.
”Slovenia memiliki ambisi menjadi hebat. Itu memaksa kami untuk mengambil langkah berbeda jika kami ingin sukses,” ujar Tusak.
”Jika Anda pelatih bola basket di Amerika Serikat, meskipun Anda tidak melakukan apa-apa, tetap akan ada banyak pemain, yang dari waktu ke waktu Anda akan bisa mendapat beberapa bakat dan kapasitas atletik yang akan menjadi modal karier hanya dengan kerja Anda yang sedikit,” ujar Tusak.
Keinginan menjadi besar telah ada dalam alam bawah sadar para pembina olahraga Slovenia. Apa yang mereka lakukan secara alami membangun pondasi untuk menuju puncak dunia. Aspek psikologis yang mendorong kesuksesan itu dirangkum oleh kolumnis oleh media mingguan olahraga Ekipa24, Andrej Miljkovic, dengan, ”keras kepala dan tekun”.