Perancis memiliki dua kekuatan yang tak pernah bisa disatukan, yaitu Paris Saint-Germain dan Marseille. Jika bertemu, kedua kesebelasan ini lebih sering menghasilkan keributan.
Oleh
D HERPIN DEWANTO PUTRO
·4 menit baca
PARIS, SENIN — Seperti yang sudah sering terjadi, laga ”Le Classique” antara Paris Saint-Germain melawan Marseille di Stadion Parc des Princes, Paris, Senin (14/9/2020) dini hari WIB, berakhir ricuh. Kali ini para pemain bertengkar dan wasit terpaksa mengganjar lima pemain di antaranya dengan kartu merah.
Emosi para pemain mendidih ketika laga sudah melewati waktu normal 90 menit dan PSG tertinggal 0-1 berkat gol Florian Thauvin pada menit ke-31. Pada menit-menit akhir laga itu, bintang PSG, Neymar Junior, beradu mulut cukup lama dengan bek Marseille, Alvaro Gonzalez, setelah keduanya berebut bola di dekat pojok lapangan.
Ketika perhatian masih tertuju kepada sosok Neymar dan Gonzalez, bola melayang ke tengah lapangan dan menimbulkan keributan baru. Penyerang Marseille, Dario Benedetto, terjatuh setelah bertabrakan dengan gelandang PSG, Leandro Paredes. Keributan kedua pemain asal Argentina itu lantas memicu perkelahian lainnya.
Bagaikan sebuah efek domino, sisi tengah lapangan pada malam itu berubah menjadi ring tinju berukuran besar. Wasit kemudian memberikan kartu merah kepada tiga pemain PSG, yaitu Layvin Kurawa, Paredes, dan Neymar. Dua kartu merah untuk Marseille diberikan kepada Benedetto dan Jordan Amavi.
”Wasit mengeluarkan total 14 kartu dan lima di antaranya adalah kartu merah. Artinya, laga ini sudah tidak bisa dikendalikan,” ujar Direktur Olahraga PSG Leonardo. Menurut Leonardo, Jerome Brisard yang menjadi wasit telah kehilangan akal sehat dan tidak memiliki pengalaman untuk memimpin laga semacam ini.
Rivalitas tiga dekade
Laga sekelas Le Classique antara PSG melawan Marseille seperti yang dimaksud Leonardo merupakan laga terpanas di Perancis yang sudah berusia sekitar tiga dekade. Wasit yang memimpin laga ini selalu punya tanggung jawab yang lebih besar karena kedua tim tidak pernah akur. Keributan abadi tersembunyi di balik rivalitas ini.
Marseille sudah berdiri sejak 1899, sedangkan PSG baru lahir pada 1970. Namun, ada banyak hal yang membuat kedua tim ini menjadi seperti minyak dan air sehingga rivalitas mulai terbentuk sepenuhnya pada 1989, ketika Marseille bisa meraih kemenangan penting atas PSG untuk merebut trofi Liga Perancis.
Di antara kedua tim tersimpan rasa gengsi yang selalu diperjuangkan oleh pemain maupun pendukung. Seperti ditulis Bleacher Report, Le Classique merupakan pertarungan antara dua tim tersukses di Perancis. Dari sisi geografi, duel ini menampilkan dua kota besar di bagian utara dan selatan Perancis.
Beberapa tahun kemudian, terutama setelah PSG dibeli oleh Qatar Sports Investments pada 2011, Le Classique menjadi duel antara tim yang sukses berkat modal besar melawan tim yang berjuang dengan modal kerja keras.
”Kami harus lebih kreatif dan bekerja lebih keras karena saya tidak mendapat cek dari Qatar,” ujar pemilik Marseille, Frank McCourt, seperti dikutip ESPN pada 2017.
Pada suatu masa, terutama pada era 1970-an hingga awal 1990-an, Marseille masih menjadi kekuatan dominan di Perancis selain Saint-Etienne. Kedatangan PSG dengan segala kekuatan modalnya mengikis dominasi tersebut dan mendorong Marseille untuk lebih ”membenci” PSG.
Kericuhan antarpendukung pun kerap terjadi ketika kedua tim ini bertemu dan pernah menewaskan seorang pendukung PSG pada 2010. ”Saya melihat kericuhan itu dan saya tidak akan pernah mengajak anak saya untuk menonton langsung (laga PSG-Marseille),” kata eks kiper PSG, Gregory Coupet, seperti dikutip Daily Mail.
Setidaknya, Marseille pernah mengangkat trofi Liga Champions pada musim 1992-1993. Sementara PSG sampai sekarang, meski sudah mengeluarkan banyak uang, belum berhasil menyentuh trofi ”Si Kuping Lebar” itu. Inilah ”kartu As” yang dimiliki Marseille ketika berbicara soal kehormatan di depan pesaing abadinya itu.
Membayar mahal
Rivalitas sengit menjadi bumbu yang membuat sebuah pertandingan sepak bola menjadi lebih nikmat ditonton. Namun, apabila rivalitas itu hanya menghasilkan sikap-sikap yang tidak sportif, kedua tim tidak hanya memberi contoh buruk, tetapi juga menanggung kerugian.
PSG harus membayar mahal karena skuad mereka sudah tipis pada awal musim ini. Setelah berlibur beberapa waktu lalu, tujuh pemain PSG dinyatakan positif Covid-19, termasuk penyerang Kylian Mbappe yang belum bisa tampil melawan Marseille kemarin. Kini, PSG harus kehilangan Neymar, Kurzawa, dan Paredes pada laga berikutnya.
Padahal, mereka butuh kekuatan penuh untuk kembali meraih kemenangan. Sejak dikalahkan Bayern Muenchen pada laga final Liga Champions yang berlangsung akhir Agustus lalu, PSG dikalahkan Lens dan juga Marseille di Liga Perancis. PSG terakhir kali kalah secara beruntun pada dua laga awal musim tanpa bisa mencetak gol adalah pada musim 1978-1979.
Sementara itu, Marseille gembira karena mereka bisa mengalahkan PSG untuk pertama kalinya sejak 2011. ”Sebuah kemenangan yang sulit diraih dan sangat bersejarah,” ujar Pelatih Marseille Andre Villas-Boas.
Kemenangan itu rupanya masih menimbulkan keributan lain di jalanan Paris. Para pendukung Marseille merayakan kemenangan itu sambil memenuhi jalanan dan banyak di antara mereka tidak memakai masker. Perayaan kemenangan itu kemudian dikecam oleh Menteri Dalam Negeri Perancis Gerald Darmanin. (AFP/REUTERS)