Dominic Thiem hanya tinggal selangkah lagi mewujudkan mimpinya meraih gelar juara Grand Slam dan keluar dari bayang-bayang "Big Three". Namun, ambisinya itu tidak akan mudah karena Alexander Zverev memiliki ambisi sama.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·5 menit baca
NEW YORK, JUMAT - Petenis Austria, Dominic Thiem, telah menjadi bayang-bayang dominasi “Big Three” di arena Grand Slam sejak tampil dalam semifinal Perancis Terbuka 2016. Namun, dalam tiga final yang dicapai setelah itu, Thiem selalu gagal. Di Flushing Meadows, New York, tahun ini, Thiem kembali mendapat kesempatan meraih gelar pertama di arena Grand Slam.
Thiem akan berhadapan dengan Alexander Zverev pada final Amerika Serikat Terbuka pada Minggu (13/9/2020) pukul 16.00 waktu setempat atau Senin pukul 03.00 WIB. Tak hanya Thiem, duel final ini juga menjadi kesempatan bagi Zverev untuk meraih gelar pertamanya dari turnamen tenis berlevel tertinggi tersebut. Ini bahkan menjadi final pertama Zverev di arena Grand Slam.
Tiket final didapat Thiem setelah mengalahkan finalis AS Terbuka 2019, Daniil Medvedev, 6-2, 7-6 (7), 7-6 (5), pada semifinal, Sabtu. Adapun Zverev menang atas Pablo Carreno Busta setelah sempat kehilangan dua set awal, 3-6, 2-6, 6-3, 6-4, 6-3.
“Kesempatan di final nanti terbuka bagi saya dan Sascha (panggilan Zverev). Kami berteman, tetapi juga menjadi rival,” ujar Thiem pada John McEnroe yang mewawancarainya di lapangan.
Absennya Roger Federer dan Rafael Nadal, serta diskualifikasi yang didapat Novak Djokovic pada babak keempat karena bola pukulannya mengenai leher salah satu hakim garis, membuat AS Terbuka 2020 akan melahirkan juara baru Grand Slam. Petenis terakhir yang melakukan itu adalah Marin Cilic ketika menjuarai AS Terbuka 2014.
Final Thiem melawan Zverev juga akan menempatkan nama di luar Federer, Nadal, dan Djokovic, dalam daftar juara Grand Slam sejak Stan Wawrinka juara di Flushing Meadows pada 2016.
Sebelum AS Terbuka, Thiem telah mendapat kesempatan pada tiga final Grand Slam, yaitu di Perancis Terbuka 2018 dan 2019, serta Austalia Terbuka 2020. Di Roland Garros, Paris, dia selalu ditaklukkan Rafael Nadal, adapun di Melbourne pada awal tahun ini, Thiem kalah dari Djokovic.
Besarnya tekanan
Tiga final Grand Slam akan menjadi bekal Thiem untuk menghadapi besarnya tekanan dalam laga perebutan gelar juara di panggung besar. Apalagi, dia berpengalaman tampil di final Australia Terbuka yang juga digelar di lapangan keras, sama seperti AS Terbuka. Meski kalah, Thiem memaksa Djokovic bermain lima set.
“Final Australia Terbuka tentu akan menjadi bekal bagi saya karena sama-sama berlangsung di lapangan keras. Main di lapangan berkarakter cepat, saya harus bermain lebih agresif. Ini menjadi kesempatan baik bagi saya. Jika menang, itu akan menjadi gelar pertama saya. Jika tidak, mungkin saya harus bertanya pada Andy Murray bagaimana melakukannya setelah kalah 0-4,” canda Thiem.
Thiem membandingkan dirinya dengan Murray yang meraih gelar Grand Slam pertamanya, di AS Terbuka 2012, setelah gagal pada empat Grand Slam sebelumnya. Namun, usia petenis kelahiran Skotlandia itu, saat menjadi yang terbaik di Flushing Meadows 2012, lebih muda dua tahun dari Thiem saat ini, yaitu 25 tahun.
Meski awalnya lebih dikenal sebagai spesialis lapangan tanah liat, Thiem kini juga tampil baik di lapangan keras. Dia menghasilkan groundstroke keras dan tajam, termasuk dari backhand satu tangan, untuk menyerang.
Gaya main yang memang diperlukan di lapangan berkarakter cepat itu bisa menyulitkan Zverev yang menang dengan cara bermain buruk dalam dua babak terakhir. Tampil monoton tanpa pukulan yang bisa menyulitkan Busta dari baseline, Zverev kehilangan set pertama dan kedua, serta tertinggal, 0-3, pada set ketiga.
Selain tak punya pukulan yang menjadi senjata, ekspresi dan gerak tubuh Zverev juga tak memperlihatkan motivasi untuk menang. Kesulitan keluar dari tekanan, dia banyak membuat kesalahan dengan mudah. Rasa frustrasinya dilampiaskan dengan memukul paha dan menggeleng-gelengkan kepala.
Zverev memenangi tiga set terakhir, itu pun lebih didominasi karena penampilan Busta yang menurun karena kelelahan. Dalam setiap set, petenis Jerman keturunan Rusia tersebut lebih banyak membuat kesalahan dibandingkan Busta. Total, Zverev membuat 57 unforced error, sementara Busta dengan 44.
Zverev juga membuat delapan double fault dibandingkan satu yang dibuat Busta. Namun, petenis Jerman itu bisa membuat 71 winner, jauh lebih banyak dari 37 winner lawannya.
“Sulit dipercaya. Saya tampil di semifinal dan seharusnya lebih difavoritkan untuk menang. Saya justru tertinggal dua set dan seperti tak memiliki peluang. Saya bermain sebegitu buruknya. Saya tahu harus bermain lebih baik dan konsisten,” tuturnya.
Hal serupa dia katakan setelah memenangi perempat final atas Borna Coric. Zverev menang, 1-6, 7-6 (5), 7-6 (1), 6-3. Melalui akun media sosial, Zverev pun dikritik penggemar tenis dan media internasional karena penampilan buruknya.
Dengan kemenangan atas Busta, Zverev menjadi petenis Jerman pertama yang mencapai final Grand Slam sejak Rainer Schuttler pada Australia Terbuka 2003.
Mantan petenis nomor satu Rusia, Yevgeny Kafelnikov, bahkan memberi pendapat betapa buruknya pertandingan semifinal Zverev melawan Busta untuk level semifinal Grand Slam.
“Saya akan tampil pada final Grand Slam untuk pertama kalinya, itu yang lebih penting. Saya tak bisa lebih bahagia dari ini, tetapi masih ada satu langkah lagi,” kata petenis berusia 23 tahun itu.
Dengan kemenangan atas Busta, Zverev menjadi petenis Jerman pertama yang mencapai final Grand Slam sejak Rainer Schuttler pada Australia Terbuka 2003. Namun, Schuttler ditaklukkan Andre Agassi pada perebutan gelar juara.
Sementara, final tunggal putri pada Minggu pukul 03.00 WIB mempertemukan Naomi Osaka dan Victoria Azarenka. Kedua petenis bersaing menuju gelar Grand Slam ketiga.
Dua gelar Osaka didapat dari AS Terbuka 2018 dan Australia Terbuka 2019, sementara Azarenka mendapat trofi juara dari Australia Terbuka 2012 dan 2013. (ap/afp)