Naomi Osaka mendapat tambahan motivasi bertanding dengan mengenakan masker bertuliskan nama korban kekerasan rasial di Amerika Serikat. Hal itu menjadi bentuk kepedulian sosialnya pada situasi yang terjadi.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
Berganti masker dengan nama para korban kekerasan rasial di Amerika Serikat tak sekadar menunjukkan kepedulian Naomi Osaka pada masalah sosial. Hal itu juga menjadi tambahan motivasi bagi petenis Jepang tersebut untuk melangkah jauh dalam turnamen berlevel Grand Slam itu.
Selain gelar juara AS Terbuka 2018 dan Australia Terbuka 2019, status atlet putri terkaya 2019 itu telah mengukuhkan Osaka sebagai atlet elite dunia. Namun, hal itu tidak membuatnya puas baik sebagai atlet maupun sebagai individu.
Pada AS Terbuka 2020, yang digelar tanpa penonton pada masa pandemi Covid-19, Osaka memperlihatkan kepedulian sosialnya. Dia mengenakan masker hitam dengan nama para warga kulit hitam yang menjadi korban kekerasan polisi di AS. Sejak babak pertama hingga perempat final, lima masker dengan lima nama berbeda yang dia pakai.
”Kadang ada dorongan yang membuat saya memilih nama tertentu, kadang hanya ambil saja,” ujar Osaka setelah mengalahkan petenis AS, Shelby Rogers, 6-3, 6-4, pada perempat final, Rabu (8/9/2020). Dia mengenakan masker bertuliskan George Floyd, korban kekerasan polisi AS, satu dari tujuh masker yang disiapkan.
Selain mengenakan masker, solidaritas lainnya diperlihatkan dengan memutuskan tak bertanding pada semifinal turnamen WTA Cincinnati, sepekan sebelum AS Terbuka. Aksi itu dilakukan bersamaan dengan aksi boikot yang dilakukan oleh atlet liga profesional di AS, seperti NBA dan WNBA (bola basket), bisbol (MLB), dan sepak bola (MLS).
Osaka, yang akan bertemu Jennifer Brady pada semifinal AS Terbuka, tetap bertanding setelah panitia dan Asosiasi Tenis Putri (WTA) menunjukkan kepedulian pada masalah serupa. Mereka memundurkan jadwal pertandingan satu hari. Osaka lolos ke final, lalu tetap mundur sebelum laga melawan Victoria Azarenka karena cedera kaki kiri.
Keputusan Osaka untuk tidak bertanding pada semifinal WTA Cincinnati didukung timnya, termasuk Wim Fissette, yang menjadi pelatihnya sejak awal 2020. Pelatih asal Belgia itu pernah menangani para juara Grand Slam, seperti Kim Clijsters, Simona Halep, Azarenka, dan Angelique Kerber.
Fisette mengatakan, aksi sosial telah memberi tambahan energi pada Osaka. ”Tentu saja dia selalu memiliki motivasi. Dia juga ingin melangkah sejauh mungkin pada Grand Slam ini. Namun, ini menjadi semacam motivasi ekstra karena menjadi topik penting baginya. Dia melakukan aksi yang sangat berani pada turnamen Cincinnati. Kami mendukungnya karena tahu, itu sangat berarti baginya,” tutur Fisette, dikutip dari laman resmi AS Terbuka.
Fisette menilai, dengan aksinya, termasuk mengenakan masker bernamakan korban rasial, Osaka telah menjadi contoh bagi orang lain. ”Dia menjadi contoh di dalam dan luar lapangan. Saya sangat bangga padanya,” lanjut Fisette.
Unik
Meski demikian, pelatih berusia 40 tahun tersebut sangat fokus pada pertandingan ketika mendampingi Osaka di lapangan. Aksi sosial di luar lapangan menjadi keputusan Osaka. Namun, itu juga menjadi motivasi tambahan bagi tim pelatih.
Osaka dinilai unik karena memiliki ketenangan sebelum bertanding. Dikombinasikan dengan kemampuannya untuk fokus pada pertandingan, hal itu menjadi modal untuk tampil dalam panggung besar. Keistimewaan tersebut belum pernah dilihat Fisette saat melatih yang lain.
Kelebihan lain yang semakin berkembang adalah kekuatan fisik. ”Dia punya pukulan eksplosif. Serena seperti itu, tetapi dia berada dalam level lebih tinggi daripada petenis lain. Dalam persaingan putri saat ini, ada petenis yang dikenal dengan pukulan keras. Selain Osaka, ada Dayana Yastremska dan Camila Giorgi,” tutur Fisette.
Hal itu pula yang menjadi modal Osaka untuk berhadapan dengan Brady pada semifinal, Jumat. Brady mengalahkan Osaka pada pertemuan pertama di Texas, AS, enam tahun lalu. Osaka membalasnya di Charleston, empat tahun kemudian.
Dua tahun setelah pertemuan terakhir, Osaka meraih lima gelar juara, termasuk dalam dua Grand Slam beruntun, yaitu AS Terbuka 2018 dan Australia Terbuka 2019. Adapun Brady hanya dengan satu gelar, WTA Lexington, dua pekan sebelum AS Terbuka 2020.
”Saya tidak merasa sebagai favorit,” ujar Osaka tentang pertemuan dengan Brady. ”Saya merasa akan berhadapan dengan petenis yang sangat bertalenta. Dia adalah ancaman besar,” pungkasnya. (AP/AFP)