Enam bulan tinggal di pelatnas Cipayung tanpa turnamen bukan hal mudah bagi pebulu tangkis nasional. Mereka harus menyeimbangkan kewajiban sebagai atlet dan individu dengan kepentingan pribadi di gelembung Cipayung.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·5 menit baca
Enam bulan tinggal di pelatnas Cipayung, Jakarta, tanpa turnamen bukan hal yang mudah dijalani tim nasional bulu tangkis Indonesia. Demi kepentingan negara, agar tetap siap saat bisa kembali bertanding, mereka harus menyeimbangkan kewajiban sebagai atlet nasional dan individu yang memiliki kepentingan masing-masing dalam ”gelembung” Cipayung.
Pekan ini, enam bulan setelah dunia bulu tangkis tanpa turnamen karena pandemi Covid-19, Greysia Polii dan kawan-kawan menjalani simulasi kejuaraan beregu, Piala Uber. Simulasi untuk para pemain putri, 8-10 September, ini menjadi lanjutan dari simulasi Piala Thomas yang berlangsung 1-3 September di Cipayung.
Simulasi yang diikuti empat tim putra dan empat tim putri ini menjadi bagian dari persiapan skuad ”Merah Putih” untuk mengikuti kejuaraan dunia beregu bulu tangkis paling bergengsi, Piala Thomas dan Uber. Tahun ini, kejuaraan di Aarhus, Denmark, itu akan bergulir pada 3-11 Oktober, mundur dari jadwal semula 16-24 Mei.
Jika tak ada kendala yang membatalkan, ajang tersebut akan menjadi kejuaraan bulu tangkis pertama setelah All England, 11-15 Maret.
”Saya senang ada simulasi ini setelah lama tak bertanding. Kami belajar lagi bertanding dalam kejuaraan beregu, karena atmosfer dalam kejuaraan ini berbeda dengan turnamen individu. Tanggung jawab pada kejuaraan beregu lebih besar,” ujar tunggal putra peringkat keenam dunia, Anthony Sinisuka Ginting.
Pemain ganda putra Fajar Alfian menambahkan, ia beradaptasi kembali dalam suasana kompetisi yang hilang sejak Maret. Hal ini karena atmosfer bertanding dalam latihan berbeda dengan pertandingan sesungguhnya.
Simulasi Piala Thomas dan Uber menjadi turnamen internal kedua yang diselenggarakan PP PBSI setelah turnamen per nomor yang diselenggarakan selama lima pekan pada Juni-Juli. Kedua turnamen menjadi variasi latihan bagi 103 atlet yang harus menjalani kehidupan pada masa pandemi Covid-19 di pelatnas.
Seusai mengikuti All England dan turnamen lain di Eropa, sepanjang Maret, pemain-pemain senior dan yunior hanya boleh berada di lingkungan pelatnas yang diresmikan pada 1992 tersebut. PBSI segera menjadikan tempat yang berada di kawasan perumahan warga tersebut sebagai ”gelembung”.
Karantina
Setelah semua atlet kembali ke Indonesia, tak ada satu pun yang boleh meninggalkan Cipayung, termasuk untuk pulang ke rumah pada libur akhir pekan yang biasanya berlangsung Sabtu siang hingga Minggu.
Skuad dari Eropa menjalani karantina selama dua pekan dengan ruang gerak sangat terbatas. Mereka hanya boleh berada di kamar, kamar mandi, dan tempat latihan di dalam serta luar ruangan.
Saat latihan pada masa karantina, yang hanya fokus pada latihan ringan untuk menjaga kondisi fisik, Anthony dan kawan-kawan harus berjauhan dengan atlet lain. Makan tak bisa dilakukan bersama di ruang makan, dan untuk mereka diantarkan ke kamar masing-masing.
Pemain ganda campuran Pitha Haningtyas Mentari mengatakan, ia dan rekan-rekannya yang kembali dari Eropa diasumsikan sebagai pembawa virus yang harus dijauhkan dari orang lain. Seperti negara yang pemerintahnya menerapkan karantina, atlet-atlet Cipayung mengalami hal sama.
Rasa khawatir pada dan dari keluarga di rumah hanya bisa dicurahkan melalui obrolan dengan perangkat komunikasi. Pertemuan dengan orangtua hanya bisa dilakukan di lapangan parkir, itu pun baru diizinkan setelah skuad Eropa melewati dua pekan karantina.
Adapun mereka yang telah berkeluarga dan tidak tinggal di asrama hanya diperbolehkan berkegiatan di pelatnas dan rumah. Peraturan ini dibuat untuk membatasi kontak dengan orang tak dikenal.
Jenuh tak terhindarkan, bukan karena mereka harus tinggal di Cipayung, melainkan karena tak ada turnamen yang menjadi wadah menguji kemampuan dan mencapai target. Dibandingkan dengan cabang olahraga lain di Indonesia, atlet bulu tangkis adalah yang paling sering mengikuti turnamen internasional. Rata-rata dua turnamen per bulan mereka ikuti di tengah padatnya jadwal latihan selama enam hari setiap pekan.
Kehidupan Anthony, Jonatan Christie, Kevin Sanjaya Sukamuljo, Greysia, Praveen Jordan, dan rekan lainnya berlangsung sistematis sejak pertama kali menginjakkan kaki di tempat latihan yang telah melahirkan atlet-atlet level dunia itu. Maka, ketika turnamen tak bergulir, mereka bagai kehilangan arah.
Pengurus, pelatih, dan atlet pun berupaya membuat suasana senormal mungkin dengan cara masing-masing. Program latihan dibuat rileks, tetapi tetap memenuhi target.
Kegiatan rekreasi atau makan bersama, yang menjadi kegiatan rutin beberapa nomor, dipindahkan ke Cipayung. Tim ganda putri, misalnya, memindahkan kegiatan makan bersama yang sering dilakukan di rumah pelatih mereka, Eng Hian, ke ruang makan asrama.
Pemain mengusir kejenuhan dengan menjalankan hobi yang selama ini sulit dilakukan karena kesibukan di lapangan. Greysia menekuni hobinya di bidang fotografi dan musik dengan bermain drum, gitar, dan menyanyi.
”Saat ada yang memulai beli sepeda, banyak yang ikutan beli sepeda juga. Asrama pemain putri jadi seperti tempat sewa sepeda,” cerita Pitha.
Sebagian besar atlet putra memilih bermain sepak bola hingga layangan di halaman belakang pelatnas. Hobi ”baru” di masa karantina, yaitu bermain video game PUBG, bahkan memunculkan lomba di saat perayaan 17 Agustus. Ini menjadi lomba baru selain perlombaan yang selama ini menjadi ciri khas perayaan kemerdekaan itu, seperti balap karung, memasukkan sumpit ke dalam botol, tarik tambang, dan makan kerupuk.
Namun, berbeda dari biasanya, perayaan pada masa pandemi ini tak melibatkan warga di sekitar pelatnas. Acara yang dilakukan di sela-sela jadwal latihan itu hanya melibatkan mereka yang selama ini berada dalam ”gelembung”.
Meski demikian, suasana tak kalah meriah seperti tahun-tahun sebelumnya. Dengan tak ada turnamen, hampir semua atlet dan pelatih berpartisipasi dalam setiap acara. Anthony, misalnya, ikut berlomba memasukkan sumpit ke dalam botol. Fajar Alfian, Mohammad Ahsan, dan pelatih putra bergabung dalam pertandingan sepak bola.
Ruang makan dan kantin disulap menjadi ajang persaingan PUBG yang diikuti hampir semua atlet. ”Alhamdulillah, dengan ada lomba 17 Agustus-an di pelatnas, kami bisa bergembira,” kata Fajar, dalam video yang diunggah dalam Instagram PBSI, setelah menjuarai pertandingan sepak bola bersama rekan-rekannya.
”Gelembung Cipayung” pun tak ubahnya seperti kehidupan dalam komunitas masyarakat umum. Lambat laun, atlet terbiasa dengan kehidupan baru mereka.
”Selama di Cipayung pada masa pandemi, saya tak mengalami kendala berarti karena PBSI menyiapkan semua kebutuhan kami. Saya rasa, (atlet lain) tidak banyak yang bisa seperti kami di sini, bisa tinggal dengan aman,” komentar Jonatan.