Gareth Southgate dan Tanda Tanya Akhir Krisis Pelatih Inggris
Sekian lama pelatih Inggris tidak berjaya di negeri sendiri dengan membawa klub setempat menjuarai Liga Inggris. Sedikit banyak, krisis Inggris ini dipengaruhi pola permainan ”kick and rush” yang makin jarang dimainkan.
Oleh
Adi Prinantyo
·5 menit baca
Inggris, yang menyebut dirinya sebagai negeri asal sepak bola, sudah lama diguncang kecemasan terkait makin jarangnya pelatih-pelatih mereka yang mendunia. Jangankan mendunia, bahkan membawa klub mereka menjuarai Liga Inggris pun, pelatih-pelatih Inggris tak mampu.
Kecemasan itu muncul lagi tatkala Liga Inggris musim 2019-2020 berakhir, dengan Liverpool sebagai juara. Siapa pelatih Liverpool? Dia adalah Juergen Klopp yang asal Jerman. Di posisi kedua klasemen akhir ada Manchester City, yang dilatih Pep Guardiola, asal Spanyol. Manchester United yang bertengger di urutan ketiga pun ditangani pelatih Norwegia, Ole Gunnar Solskjaer.
Singkatnya, dari tiga tim teratas di klasemen akhir Liga Inggris, tak satu pun dipandu pelatih Inggris. Baru di peringkat keempat ada pelatih Inggris, Frank Lampard, yang melatih Chelsea, dan Brendan Rodgers asal Irlandia Utara (untungnya termasuk Inggris Raya), yang membawa Leicester City di urutan kelima.
Sebelum era kekinian, ada sejumlah pelatih ternama yang tergolong fenomenal. Dari beberapa nama itu, hanya satu asal Inggris Raya (baca: Skotlandia), yakni Sir Alex Ferguson, yang melatih MU selama 27 tahun dan mempersembahkan 13 gelar Liga Inggris serta dua trofi Liga Champions.
Lainnya, yang penting disebut, tak lain Arsene Wenger asal Perancis yang 22 tahun di Arsenal dan membawa ”The Gunners” tiga kali merebut trofi Liga Inggris. Ada juga Jose Mourinho, pelatih dari Portugal, yang mengantar Chelsea tiga kali juara Liga Inggris dan memandu MU juara Liga Europa 2016-2017.
Ada memang pelatih-pelatih Inggris yang dipercaya menangani klub kontestan Liga Inggris. Namun, malangnya, mereka hanya membawa tim asuhannya ke tangga papan tengah. Setelah Lampard dengan Chelsea di peringkat keempat, kemudian Rodgers dan Leicester di posisi kelima, baru ada Chris Wilder yang membawa Sheffield United di peringkat kesembilan.
Di bawahnya ada Burnley yang dilatih pelatih Inggris lainnya, Sean Dyche, dan pelatih senior Steve Bruce dengan Newcastle United di tangga ke-13. Pelatih Inggris lain adalah Roy Hodgson dengan Crystal Palace di posisi ke-14, Graham Potter (Brighton and Hove Albion, ke-14), lalu Dean Smith yang menempatkan Aston Villa di tangga ke-17, satu tingkat di atas zona degradasi.
Dua pelatih Inggris lain, Eddie Howe (AFC Bournemouth) dan Nigel Pearson (Watford), malah gagal menyelamatkan tim asuhannya dari degradasi ke Divisi Championship.
Kehadiran Eriksson
Jika dicermati, krisis pelatih berkualitas Inggris sudah dirasakan sejak awal dasawarsa 2000-an. Tamparan riil bagi insan sepak bola Inggris salah satunya tatkala Federasi Sepak Bola Inggris (FA) mengontrak pelatih Swedia, Sven Goran Eriksson, sebagai pelatih tim nasional Inggris.
Publik Inggris secara skeptis bertanya, ”Kita negara asal sepak bola, mengapa mendatangkan pelatih tim nasional dari negara lain?” Kebetulan, negeri asal Eriksson, yakni Swedia, belum pernah menjadi juara dunia. Orang pun membanding-bandingkan prestasi sepak bola Inggris dan Swedia.
Namun, krisis itu bisa jadi juga bermula dari gaya bermain khas Inggris, kick and rush, yang makin tak laku di persepakbolaan dunia. Pola yang mengandalkan kecepatan dan umpan silang dari sayap, kebanyakan dengan bola lambung ke depan gawang lawan, mudah ditebak. Tak heran, bagi klub-klub Eropa non-Inggris, mengontrak pelatih Inggris sama saja mentransfer kick and rush yang usang.
Secara natural, Liga Inggris juga mengakui betapa kick and rush sudah lapuk. Mengingat, makin kekinian, makin banyak pula klub elite Inggris yang bermain tanpa mengandalkan kick and rush. Seiring dengan itu, makin banyak gelandang asal Spanyol dan Amerika Latin direkrut klub-klub elite Inggris.
Sebut saja beberapa contoh, David Silva, Yaya Toure, dan Fernandinho yang didatangkan ke Manchester City sejak 2010 serta Santi Cazorla yang hadir di Arsenal sejak 2012. Beberapa tahun sebelumnya, kurun 2004-2009, di Liverpool juga ada Xabi Alonso. Sejumlah pemain tengah asal Inggris juga dinilai berprestasi, seperti Steven Gerrard di Liverpool dan Frank Lampard di Chelsea.
Baik Silva, Cazorla, maupun Alonso jelas-jelas bukan gelandang dengan keahlian mengumpan silang. Mereka pemain lini tengah yang mahir melepaskan umpan-umpan terobosan yang kerap memperdaya lini belakang tim lawan. Umpan-umpan terobosan yang dipadu dengan aksi olah bola menawan ini gaya khas permainan Amerika Latin, seperti Brasil dan Argentina, atau beberapa tim Eropa, di antaranya Spanyol dan Perancis.
Pudarnya pamor sepak bola Inggris juga seiring dengan lahirnya juara-juara dunia sepak bola dari tanah Eropa sejak 2006, tetapi di luar Inggris Raya. Ada Italia yang kampiun Piala Dunia Jerman 2006, Spanyol di Afrika Selatan 2010, Jerman berjaya di Brasil 2014, dan Perancis juara di Rusia 2018.
Menanti Southgate
Kesuksesan sepak bola Inggris, termasuk di dalamnya tim nasional dan pelatih-pelatih mereka, bisa jadi akan sangat ditentukan perjalanan tim ”St George Cross” yang kini dilatih Gareth Southgate. Jika Southgate bersama tim Inggris bisa meraih prestasi menawan di level Eropa dan dunia, derajat sepak bola Inggris bakal terdongkrak.
Yang menarik, prestasi Inggris bersama Southgate cukup bagus di Piala Dunia Rusia 2018. Pencapaian signifikan pertama tim ”Tiga Singa” tak lain saat menang adu penalti 4-3 atas Kolombia pada babak 16 besar sekaligus menjadikan hasil itu sebagai kemenangan pertama Inggris dalam adu penalti di Piala Dunia.
Tak berhenti di situ, tim Inggris asuhan Southgate juga menundukkan Swedia dengan skor 2-0 pada perempat final. Kemenangan ini membuat Southgate menjadi pelatih Inggris pertama yang membawa timnya ke semifinal Piala Dunia, setelah terakhir kali prestasi itu diukir pelatih legendaris Sir Bobby Robson di Piala Dunia Italia 1990.
Inggris kemudian takluk kepada Kroasia di semifinal, tetapi itu tak mengendurkan pujian pendukung Inggris terhadap Southgate. Keberhasilannya membawa Inggris ke semifinal Piala Dunia mengalahkan pencapaian pendahulu-pendahulunya, termasuk dua pelatih non-Inggris, yakni Eriksson dan Fabio Capello (Italia).
Eriksson pada Piala Dunia 2006 hanya mengantar David Beckham dan kawan-kawan hingga perempat final. Sementara Capello yang memandu Inggris di Piala Dunia 2010 membawa Steven Gerrard dan rekan-rekannya sampai 16 besar.
Jika prestasi Inggris terus membaik, pujian terhadap Southgate bakal terus mengalir seiring dengan kebanggaan publik Inggris terhadap tim nasional mereka. Belum tentu ini bakal berjalan seiring dengan membaiknya popularitas pelatih Inggris, juga dengan pola kick and rush yang makin jarang terlihat di berbagai kompetisi Eropa. Namun, setidaknya akan memperbaiki citra yang sudah lama terpuruk.