Kemenangan Caleb Ewan pada etape ketiga Tour de France bak karya seni nan indah yang lahir dari ribuan kilometer mengayuh pedal sepeda. Seni ”perang” pebalap asal Australia itu merontokkan mimpi lawan-lawannya.
Oleh
AGUNG SETYAHADI
·5 menit baca
SISTERON, SENIN — Caleb Ewan menghilang dalam peloton begitu memasuki satu kilometer terakhir menjelang finis etape ketiga Tour de France. Dia mengambil risiko dengan turun ke belakang untuk sedikit mengistirahatkan kakinya yang mulai merasakan efek headwind yang kencang. Ini strategi berisiko karena dengan akan sulit melakukan serangan terakhir dari posisi belakang rombongan besar pebalap. Namun, pebalap tim Lotto-Soudal itu mampu menciptakan finis yang dramatis pada etape sepanjang 198 kilometer Nice-Sisteron itu.
Ewan tahu persis risiko dari pilihan strateginya itu. Namun, itu pilihan paling rasional dengan peluang terbesar untuk meraih kemenangan. Memaksa terus di depan akan menguras tenaga karena melawan embusan angin dari depan. Ini seperti filosofi perang Sun Tzu dalam magnum opus ”The Art of War”. ”Jika kamu mengetahui musuhmu dan mengenal dirimu sendiri, kamu tidak perlu takut pada hasil dari ratusan pertempuran,” bunyi filosofi itu.
Pebalap asal Australia itu mundur ke belakang untuk menghemat tenaga, juga menghindari godaan melakukan sprint terlalu awal. Pebalap di depan akan tergoda untuk melakukan itu, bahkan sprinter kawakan Peter Sagan (Bora-Hansgrohe). Sagan, yang tujuh kali meraih jersi hijau di Tour de France, terlalu cepat sprint sehingga kecepatannya anjlok sebelum finis. Ewan menunggu momentum yang tepat untuk menyerang. Dia sangat sabar hingga tak masuk dalam sorotan kamera televisi hingga 200 meter menjelang finis.
Ewan berada jauh di belakang peloton. Namun, dia tiba-tiba muncul, meliuk-liuk di antara para pebalap yang dia dahului, termasuk peraih jersi kuning etape pertama Alexander Kristoff (UAE Team Emorates), dan Sagan. Dia melesat dari sisi kanan saat sprinter andalan Deceuninck QuickStep Sam Bennett tinggal beberapa meter dari garis finis. Ewan meliuk ke kiri dengan kecepatan puncak 68,8 kilometer per jam dan mengungguli Bennet satu ban di garis finis. Ewan memetik buah strategi berisikonya untuk meraih kemenangan keempat di etape Tour de France.
”Kemenangan hari ini seperti sebuah karya seni seiring kemunculannya dari jauh di belakang menyingkirkan para pesaingnya dan mepet ke batas lintasan sebelum meluncur melewati Bennett,” tulis Adam Becket dari Cyclingnews menggambarkan perjuangan epik Ewan.
Menurut Becket, kemenangan epik Ewan mengingatkannya akan pesepak bola top dunia, Lionel Messi. ”Ini seperti menyaksikan (Lionel) Messi meliuk-liuk menggiring bola, sekali dia melaju tidak pernah muncul keraguan,” lanjut Becket.
Ini seperti menyaksikan (Lionel) Messi meliuk-liuk menggiring bola, sekali dia melaju tidak pernah muncul keraguan.
Ewan merupakan salah satu pebalap yang diunggulkan meraih jersi hijau, bersaing dengan para sprinter top, seperti Sagan, dan Wout van Aert (Jumbo-Visma), dan Giacomo Nizzolo (NTT). Namun, dia selalu menegaskan bahwa dirinya tidak mengincar jersi hijau ataupun kuning. Dia hanya fokus memenangi etape dan membantu timnya meraih kemenangan hinga Paris. Target itu kini semakin berat karena Lotto-Soudal sudah kehilangan dua pebalapnya, Philippe Gilbert akibat cedera lutut dan John Degenkolb yang tidak memenuhi catatan waktu minimal pada etape pertama.
”Dua hari pertama tidak bagus bagi kami. Pada hari pertama kami kecelakaan dan kehilangan dua orang sehingga kami tinggal berenam. Namun, semua orang tetap termotivasi dan kami semua tahu jika semua berjalan lancar, saya bisa memenangi sprint. Semua orang menjalankan tugasnya hari ini dan menutupi dua pebalap yang hilang. Ini berhasil,” ucap Ewan.
Ewan kini masih berada di posisi kelima klasifikasi poin (jersi hijau) dengan 50 poin. Sementara jersi hijau dikuasai oleh Sagan dengan 79 poin. Ini merupakan jersi hijau ke 126 bagi pebalap asal Slowakia itu. Dia gagal finis terdepan karena terlalu awal melakukan sprint pada etape ketiga.
”Ini sprint yang sangat kacau. Dalam tiga atau empat kilometer terakhir etape, kami mendapat angin depan yang sangat buruk dan semua orang di luar posisinya. Para pebalap ke depan dan kemudian ke belakang. Kacau,” ujar Sagan.
Ia pun menceritakan penyebab kegagalannya memenangi etape ketiga itu. ”Saya pikir kami terlalu awal melakukan sprint dan sekitar 150 meter menjelang finis saya didahului dari kanan. Namun, saya tetap senang dengan kaus hijau ini. Menyenangkan mengenakan ini dan saya akan melakukan yang terbaik untuk mempertahankan ini hingga ke Paris,” kata Sagan yang finis kelima di etape ketiga.
Klasemen umum
Pemimpin klasemen umum pebalap masih menjadi milik Julian Alaphilippe yang memenangi etape kedua. Dia menjaga keunggulan waktunya dengan finis dalam peloton pada etape ketiga. ”Saya sangat senang mengenakan jersi kuning. Kami mempertahankan ini, hari ini, dan kami akan melakukan lagi besok,” ujar pebalap Deceuininck QuickStep itu.
Namun, mempertahankan jersi kuning pada etape keempat akan sangat sulit. Ini merupakan etape dengan tanjakan terjal dan merupakan santapan para pebalap jago tanjakan. Alaphilippe perlu menjaga posisinya dengan baik untuk bisa mempertahankan keunggulan waktunya yang tipis. Dia hanya berselisih empat detik dari Adam Yates (Michelton-Scott) di posisi kedua, serta tujuh detik dari Marc Hirschi (Sunweb) di posisi ketiga.
Etape keempat akan finis di puncak pegunungan, dengan tanjakan sangat terjal di Orcieres-Marlete. Tanjakan dengan kemiringan rata-rata 6,7 persen sepanjang 7,1 kilometer itu dimulai dari ketinggian 1.348 meter di atas permukaan laut (mdpl) hingga finis di puncak pada ketinggian 1.825 (mdpl). Ini akan menjadi pertarungan para pebalap jago tanjakan yang belum menunjukkan pertarungan epik dalam tiga etape awal.
”Ini hari besar (etape ke-4). Ada tanjakan besar menjelang finis, tetapi saya harap kami bisa melalui ini. Kami akan menjalani dari hari ke hari dan melihat apa yang terjadi,” kata pebalap asal Perancis itu.