Selama 24 jam, kelanjutan musim NBA dipenuhi ketidakpastian. Gelombang kemarahan pemain sempat membuat liga lebih dekat menuju pembatalan.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
Cuaca di Orlando, Florida, sedang panas-panasnya pada akhir Agustus, mencapai 28 derajat celcius. Namun, cuaca itu tidak sebanding dengan tensi panas selama 24 jam yang ada di dalam “gelembung” NBA, sejak Rabu (26/8/2020), waktu setempat.
Setelah Milwaukee Bucks memboikot laga playoff, situasi dalam ”gelembung” berubah jadi sangat tegang. Nada tinggi hingga wajah panik, ada di setiap sudut ruangan, seperti digambarkan jurnalis Yahoo Sports, Chris Haynes.
Sikap spontan Bucks, terpicu kasus penembakan warga kulit hitam Jacob Blake oleh polisi Wisconsin, memantik pemain lain yang sudah muak dengan sistem rasial pemerintah. Saat itu, batal atau lanjutnya musim NBA hanya terpisah satu garis tipis.
Ada yang ingin pulang bertemu keluarganya. Ada yang ingin keluar “gelembung” untuk memimpin barisan demonstrasi di jalanan. Sisanya masih ingin tinggal karena berpikir NBA sebagai platform paling tepat untuk mengirim pesan kesetaraan.
Pukul 20.00, empat jam usai Bucks membatalkan laga, pemain perwakilan seluruh klub berkumpul. Rapat dipimpin oleh tiga veteran. Chris Paul sebagai Presiden Asosiasi Pemain (NBPA), LeBron James sebagai pemain paling berpengaruh, dan Udonis Haslem sebagai pemain tertua, berusia 40 tahun.
Baru saja dimulai, emosi dalam ruangan langsung membuncah. George Hill, pemain Bucks yang memimpin aksi boikot, menyarankan semuanya pulang dari “gelembung”. Dia menyebutkan, tidak ada gunanya tetap tinggal dan menggaungkan pesan kesetaraan. Sebab, tindakan rasial terus terjadi.
Haslem tidak sependapat. Menurut dia, sikap Hill egois dan tidak bertangung jawab. Jika pulang, yang dirugikan adalah pemain muda. Mereka belum mapan. Pemain veteran bisa mendukung protes di jalan dengan kehadiran dan bantuan uangnya, sedangkan pemain muda harus berpikir keras hidup tanpa gajinya.
Di tengah rapat, Direktur Eksekutif NBPA Michele Roberts mencoba menghitung kehilangan uang yang akan disebabkan pembatalan musim. Namun, pemain Los Angeles Clippers Patrick Beverley tidak tertarik dengan pembicaraan uang Roberts.
Situasi semakin panas karena penghinaan Beverley. Ketika Roberts meminta izin melanjutkan bahasan finansial, pemain yang terkenal bengal itu menolaknya. “Tidak perlu, akan saya bayar gaji kamu jika perlu,” katanya yang setelah itu mendapat teguran karena tidak sopan dari Paul dan Haslem.
Haslem mendesak James, sebagai representasi wajah liga, mengambil keputusan. Ketika itu, James berkata, “Kami keluar.” Dia bersama rekan timnya, diikuti pemain Los Angeles Clippers, keluar dari rapat. Dua tim ini menyatakan mundur dari kelanjutan musim.
Keesokan harinya, Kamis, rapat dijadwalkan pukul 11.00 untuk mengambil keputusan final. Namun, pertemuan itu batal karena LA Lakers, bersama James, terlambat hadir hingga 45 menit.
Tidur agaknya sedikit meredakan amarah para pemain. Di luar pertemuan, James memainkan perannya. Dia bersama pemain Clippers Lou Williams, memutuskan akan kembali bermain.
Namun, ada syaratnya. Para pemain ingin berbicara langsung dengan para pemilik klub. James mau ada aksi nyata dari pemilik klub dalam menghilangkan sistem yang rasial, terutama di Kepolisian AS.
Sang megabintang berpikir, itu adalah cara terbaik. Mereka tetap bisa menyampaikan pesan kesetaraan dari lapangan, sedangkan pemilik klub yang merupakan “orang penting” bisa mendorong lewat aksi nyata.
Pilihan ini jauh lebih baik dibandingkan turun ke jalan. Di jalan, mereka bukanlah atlet yang punya panggung khusus untuk bersuara. Mereka hanyalah individu yang sama dengan masyarakat lain.
Peran Jordan
Paul, Haslem, dan James, memang figur penting. Namun, peran terbesar dalam kesepakatan ini datang dari sosok legenda hidup NBA, Michael Jordan. Sebagai mantan pemain, pemilik mayoritas Charlotte Hornets, dan pria kulit hitam, Jordan jadi penengah yang paling tepat. Dia dihargai oleh semua pihak yang terlibat.
“Saat ini, mendengarkan lebih baik daripada berbicara. Saya berada dalam telepon ini, bukan sebagai pemilik, ataupun mantan pemain, tetapi hanya sebagai pria kulit hitam,” kata Jordan dalam telekonferensi pada Kamis sore.
Jordan meminta pemilik klub mendengarkan terlebih dulu permintaan dari pemain, sebelum memberi solusi yang mereka punya. Lewat mediasinya, pemain dan pemilik klub akhirnya saling bersepakat. Liga akan terus berjalan, sementara perjuangan nyata kesetaraan rasial akan jadi prioritas pemilik.
Setelah 24 jam yang melelahkan, musim NBA pun kembali. Playoff akan berlanjut pada Sabtu ini. “Mereka (para pemain) mengira musim sudah selesai. Ini adalah hari yang berat untuk kita semua. Emosi seperti ada di mana-mana,” ucap pelatih Clippers, Doc Rivers yang juga mengutarakan kekecewaannya kepada negara karena penembakan Blake, seperti dikutip ESPN.
Jordan lagi-lagi menjadi penyelamat NBA. Setelah mempopulerkan NBA ke seluruh dunia, saat masih bermain, pada era 90-an, dia kini menjadi penengah terwujudnya kelanjutan musim. Padahal sang “Dewa Basket” bukanlah penengah yang baik, mengingat jiwa kompetitif yang tak ada tandingannya.