Pemain-pemain dari ajang olahraga populer di Amerika Serikat, yaitu basket, sepak bola, dan bisbol, menuntut kesetaraan rasial. Mereka memboikot pertandingan agar tuntutan mereka didengarkan.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
ORLANDO, KAMIS — Panggung olahraga Amerika Serikat bergejolak. Satu per satu ajang diboikot para atlet. Mereka tidak mampu lagi menahan amarah karena ketidaksetaraan rasial yang terus terjadi. Bersama-sama, pemain dari berbagai cabang olahraga menuntut keadilan dan perubahan.
Pemboikotan dimulai dari Liga Bola Basket AS (NBA), Kamis (27/8/2020) WIB. Skuad Milwaukee Bucks menolak masuk ke lapangan untuk melakoni gim ke-5 playoff. Sikap Bucks diikuti lawannya, Orlando Magic, dan empat tim lain. Total tiga pertandingan dibatalkan NBA.
Boikot berbuntut ke liga-liga lain. Mulai dari Liga Sepak Bola (MLS), Liga Bola Basket Wanita (WNBA), hingga Liga Bisbol (MLB). ”Hari yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah olahraga,” tulis ESPN.
Kemarin, atlet-atlet AS kehilangan hasrat berkompetisi. Jiwa kompetitif mereka seakan-akan meredup seusai penembakan warga kulit hitam, Jacob Blake, oleh seorang polisi di Wisconsin. Mereka datang ke lapangan bukan demi kemenangan, melainkan hanya ingin mencari kesetaraan.
Para atlet seperti sudah hilang kesabaran karena tindakan rasial kepolisian yang terus berulang. Tiga bulan sebelumnya, salah seorang polisi AS juga membunuh pria kulit hitam, George Floyd.
Aksi kampanye antirasial dari lapangan telah dilakukan setelah Floyd meninggal. Namun, tidak ada yang berubah. ”Oh, Anda tidak mendengar kami. Baik, sekarang Anda tidak bisa melihat kami bermain,” kata guard Los Angeles Lakers, JR Smith.
Bagi Smith dan pemain lain, aksi boikot ini bukan hanya gimik. Mereka percaya pemboikotan bisa menciptakan sebuah gerakan perubahan. Olahraga memang tidak berperan membuat keputusan politik, tetapi mereka bisa menggerakkannya.
Dari NBA saja, rata-rata ada 20 juta penonton di AS. Sejumlah penontonnya mungkin dari pemerintah. Para atlet seperti memberikan ultimatum. Jika tidak bisa menyelesaikan tindakan rasial, jangan harap bisa menonton ajang olahraga yang merupakan hiburan utama di ”Negeri Paman Sam”.
Dengan jumlah penonton sangat banyak, mereka juga bisa memunculkan gerakan besar di masyarakat. Gerakan itu yang akan turut mendorong perbaikan sistem politik di AS.
Sikap politis yang keluar dari panggung olahraga memang sudah jamak terjadi di AS. Sebelumnya pada 1967, legenda tinju dunia Muhammad Ali berkumpul bersama bintang-bintang basket seperti Bill Russel dan Kareem Abdul-Jabbar di Cleveland. Mereka menolak dikirim ke perang Vietnam.
Kala itu, Ali berkata, pemerintah seperti ingin melakukan genosida terhadap warga kulit hitam dengan mengirimnya ke medan perang. ”Kami diminta berperang dengan pria kulit coklat Vietnam, sedangkan orang negro (kami) di Louisville diperlakukan seperti anjing,” tegas Ali yang gelar juara dan izin bertinjunya dicabut setelah pernyataan itu.
Namun, kejadian kemarin merupakan peristiwa terbesar di panggung olahraga AS. Belum pernah sebelumnya empat liga besar menghentikan pertandingan untuk menuntut sebuah perubahan. Biasanya, protes-protes dari pemain hanya bersifat individu lewat pesan kesetaraan.
Protes masif para pemain NBA disambut baik oleh para penyelenggara liga. Seusai aksi boikot, NBA langsung menggelar rapat. LA Lakers dan LA Clippers menyatakan tidak mau melanjutkan musim lagi.
Megabintang Lakers, LeBron James, akan tampil lagi jika ada tindakan nyata dari para pemilik klub dan penyelenggara. ”Kami menuntut perubahan. Sudah muak dengan semua ini,” katanya.
Bucks, seusai menolak bermain, langsung meminta dihubungkan untuk telekonferensi dengan Gubernur Wisconsin Mandela Barnes dan Jaksa Agung Josh Kaul. Mereka butuh jaminan pemerintah untuk menuntaskan persoalan rasial yang sudah menjamur.
Aksi para pemain NBA mendapat dukungan dari Presiden ke-44 AS Barack Obama. “Saya memuji para pemain Bucks karena membela apa yang mereka yakini serta NBA dan WNBA karena telah memberikan contoh. Semua institusi kita harus mempertahankan nilai-nilai kita,” tulisnya di Twitter.
Bagi NBA, memperjuangkan kesetaraan rasial merupakan tanggung jawab mereka. Sebab, mereka adalah komunitas yang sukses menghancurkan perbedaan rasial dalam perjalanannya.
Mulai dari pembentukan NBA pada 1946. Saat itu, dari 11 tim, tidak satu pun ada pemain kulit hitam. Bola basket dianggap milik kelas atas, para kulit putih. Hingga akhirnya, pada 1950, Earl Lloyd menjadi pemain kulit hitam pertama di NBA. Lloyd mengawali jejak itu hingga sekarang NBA dihuni oleh 75 persen pemain kulit hitam.
Proses mencari kesetaraan itu berlangsung sangat lama. Para legenda seperti Russel dan Abdul-Jabbar masih melewati fase dihina karena keturunan Afrika-Amerika. Hingga akhirnya, masyarakat semakin terbuka ketika era Magic Johnson dan Michael Jordan.
Bagi individu pemain NBA, mereka juga punya tanggung jawab moral yang sangat besar. Misalnya saja, James. Sang megabintang dibesarkan hanya oleh seorang ibu berusia 16 tahun dalam kemiskinan di Akron, Ohio.
James menyadari, dirinya beruntung karena bisa menjadi pebasket terbaik di bumi saat ini. Jika tidak, mungkin saja nasibnya bisa berujung seperti Floyd ataupun Blake. Perlakuan buruk karena ketidaksetaraan pun mengancam teman-teman dan saudaranya sesama komunitas kulit hitam. (AP)