Spirit ”Mia san Mia” Bangkitkan Kejayaan Bayern
Bayern Muenchen mampu bangkit setelah mengalami masa buruk di awal musim untuk menutup perjalanan musim 2019-2020 dengan raihan "treble" gelar. Hans-Dieter Flick berhasil mengembalikan semangat kebersamaan di dalam tim.
LISABON, SENIN — Sempat terpuruk awal musim ini, Bayern Muenchen menutup musim dengan raihan fenomenal, yaitu treble gelar, termasuk Liga Champions Eropa. Diterapkannya kembali falsafah klub, yaitu ”Mia san Mia”, menjadi dasar Bayern kembali bersatu dan berjuang bersama untuk menyapu bersih gelar juara.
Tidak ada yang menyangka Bayern akan meraih tiga gelar mayor semusim, jika mengingat kembali capaian klub itu pada akhir 2019 lalu. Kala itu, mereka dipermalukan Eintracht Frankfurt 1-5 dan terjatuh ke peringkat ketujuh Bundesliga Jerman.
Klub berjuluk ”Die Roten” itu lantas memecat pelatih Niko Kovac dan mengangkat asistennya, Hans-Dieter Flick, sebagai pengganti. Kebijakan itu ternyata menjadi titik balik Bayern, tim asal Bavaria, Jerman.
Flick tidak hanya memberikan sentuhan modern dalam permainan Bayern yang menyerang sekaligus menghibur, melainkan juga menghidupkan kembali filosofi klub, ”Mia san Mia” yang diterjemahkan sebagai ”Kita adalah Kita”.
Flick merupakan bekas pemain Bayern di era 1980-an, yaitu ketika filosofi dari bekas Kerajaan Austria-Hongaria itu mulai diadopsi klub itu. ”Mia san Mia” di tubuh Bayern ditunjukkan lewat kekompakan seluruh pemain, termasuk saat membekap Paris Saint-Germain, 1-0, pada final Liga Champions di Lisabon, Portugal, Senin (24/8/2200) dini hari WIB.
Baca juga: Kingsley Coman Antar Bayern Muenchen Jadi Raja Eropa
Para pemain Bayern bekerja sebagai satu kesatuan dan rajin menekan lawan, karakter khas lainnya yang melekat di klub Jerman ini. Flick memberikan kepercayaan kembali kepada para pemain senior, Thomas Mueller dan Manuel Neuer, yang sempat dipinggirkan Kovac. Menurut Flick, peran setiap pemain sama pentingnya di tim itu, apalagi mereka yang punya pengalaman panjang.
Kepercayaan itu pun dijawab dengan kebangkitan performa kedua pemain itu. Neuer, yang sempat lama berkutat dengan cedera, bahkan menjadi salah satu penentu kemenangan Bayern pada final itu lewat dua penyelamatan gemilangnya.
Rela berkorban
Selain itu, Flick juga mampu mengeluarkan kemampuan terbaik para pemain muda, seperti Alphonso Davies, Serge Gnabry, dan Kingsley Coman. Bahkan, Flick mengubah Davies menjadi salah satu bek kiri terbaik di dunia saat ini. Ia meminta Davies berkorban di tim dengan tugas ekstra dalam bertahan. Padahal, ketika tiba pada Januari 2019 lalu dari klub Liga Amerika Serikat, Vancouver Whitecaps, Davies berposisi alami sebagai penyerang sayap, bukan bek.
Pengorbanan semacam inilah yang kurang terlihat pada tubuh PSG, tim yang dibentuk dari sejumlah individu penyerang terhebat sejagat, Neymar Jr dan Kylian Mbappe.
”Mia san Mia membentuk mentalitas pemenang yang dilandasi kepercayaan diri tingkat tinggi, tetapi tanpa rasa sombong. Tiada hal yang lebih penting bagi Bayern selain kerja keras dari setiap individu di dalam tim untuk mengejar kemenangan,” ungkap Mueller, yang telah dua kali meraih treble gelar bersama Bayern.
Mia san Mia membentuk mentalitas pemenang yang dilandasi kepercayaan diri tingkat tinggi, tetapi tanpa rasa sombong. Tiada hal yang lebih penting bagi Bayern selain kerja keras untuk mengejar kemenangan. (Thomas Mueller)
Sebelum musim ini, Bayern juga mampu meraih tiga gelar mayor semusim pada musim 2012-2013 bersama pelatih Jupp Heynckes. Meskipun mampu menyapu bersih 11 laga Liga Champion dengan kemenangan dan menjadi rekor baru di Eropa, Bayern adalah satu-satunya tim yang tidak sekalipun merayakan setiap langkah keberhasilannya di fase gugur Liga Champions musim ini.
Mereka tidak seperti PSG yang selalu melakukan ”pesta” kecil di ruang ganti pemain sejak mengalahkan Atalanta di babak perempat final hingga seusai menyingkirkan RB Leipzig di semifinal. Perayaan besar baru dilakukan Bayern setelah mampu menumbangkan PSG di partai puncak, kemarin.
”Perayaan baru pantas dilaksanakan setelah kami meraih trofi. Maka itu, saya tidak akan memberikan batasan waktu ke para pemain merayakan musim yang luar biasa ini,” kata Flick.
Meskipun namanya tidak setenar pendahulunya, seperti Jupp Heynckes, Pep Guardiola, dan Kovac, Flick membuktikannya lewat prestasi. Sebelum raihan trofi ”Si Kuping Besar”, Flick juga akhirnya berhasil memberikan dua gelar domestik untuk Bayern, yaitu juara Bundesliga Jerman dan Piala Liga Jerman, meskipun mereka awalnya sempat terpuruk.
Flick ternyata mampu menyerap dengan baik sejumlah pengalamannya sebagai pendamping pelatih berkelas dunia, seperti Giovanni Trapattoni (asal Italia) ketika menjadi pelatih Red Bull Salzburg di Austria pada 2006, lalu mendampingi Joachim Loew (Jerman) di tim nasional Jerman pada periode 2006 hingga 2014.
Baca juga: Adikuasa Bayern di Jerman
Titik terendah
Diakui Flick, Bayern berada di titik terendah ketika dirinya setuju menggantikan Kovac. Kala itu, lanjut Flick, seluruh pemberitaan media menunjukkan bahwa Bayern tidak lagi dianggap sebagai tim kuat di Eropa maupun Jerman sehingga tidak ada klub yang takut ketika melawan mereka.
”Sejak saat itu, pertumbuhan klub ini sangat gila, terutama setelah kami menjalani pemusatan latihan musim dingin pada Januari. Sebagai sebuah tim, kami sangat ingin meraih kemenangan. Mentalitas itulah yang amat dibutuhkan seorang pelatih,” ucap Flick.
Tidak heran, sejumlah pihak menyanjung Bayern dan Flick. Koran olahraga Italia, La Gazzetta dello Sport, misalnya, menilai, capaian Bayern pada musim ini adalah bukti metamorfosis supremasi Bayern di Eropa.
”Flick mampu membangun kembali tim yang mengalami krisis identitas. Hal itu serupa yang dilakukan Jupp (Heynckes) tujuh musim silam,” bunyi ulasan La Gazzetta dello Sport.
Penulis kolom olahraga Deutsche Welle, Janek Speight, menilai, kesuksesan Bayern di Liga Champions musim ini mirip dengan capaian Liverpool, juara musim lalu. Serupa Flick, Manajer Liverpool Juergen Klopp juga berasal dari Jerman. Keduanya menjawab krisis dengan pencapaian luar biasa.
”Flick mengenal baik pemainnya, di luar maupun dalam (lapangan). Ia nampak sangat bersahabat dengan mereka. Inilah gaya manajemen (sepak bola) modern,” ujar Chris Waddle, mantan gelandang Liga Primer Inggris, seperti dikutip BBC.
Lebih menakutkan
Bayern pun nampaknya tidak akan berhenti dengan capaian besar, kemarin. ”Musim depan, Bayern akan lebih menakutkan. Flick akan berambisi mempersembahkan lebih banyak trofi untuk sebuah tim yang akan sulit dikalahkan,” tulis Speight di Deutsche Welle.
Ambisis tersebut bukan tidak mungkin terwujud. Seperti dikatakan anggota Dewan Direksi Bayern, Oliver Kahn dan rekannya yang Direktur Olahraga Bayern Hasan Salihamidzic sempat bermimpi Bayern bisa meraih kembali trofi Si Kuping Besar pada November lalu. Menurut Kahn, ucapan Salihamidzic itu ada sebuah doa karena ketika itu Bayern baru saja memecat Kovac.
”Doa” itu pun akhirnya terwujud. ”Saya pikir, kekuatan tim adalah kunci dari keberhasilan kami di musim ini. Dan, yang paling penting adalah rasa lapar yang dimiliki seluruh pemain. Mereka tidak pernah merasa puas. Oleh karena itu, kami selalu bekerja keras untuk meraih trofi, fokus tingkat tinggi, dan sistem yang dijalankan dalam sebuah tim,” ucap Kahn, yang mempersembahkan gelar Liga Champions untuk Bayern pada musim 2000-2001, dilansir laman resmi klub itu. (AFP)