Bayern Muenchen menjadi tim pertama yang mampu memenangi semua laga di ajang Liga Champions selama satu musim. Kesempurnaan ini berawal dari perubahan besar yang dilakukan Hansi Flick.
Oleh
D HERPIN DEWANTO PUTRO
·5 menit baca
LISABON, SENIN — Kemenangan Bayern Muenchen atas Paris Saint-Germain, 1-0, pada laga final Liga Champions Eropa di Lisabon, Portugal, Senin (24/8/2020) dini hari WIB, telah membebaskan tim ”Die Roten” ini dari jebakan kedigdayaan semu. Mereka bukan lagi ”si jago kandang”, melainkan sudah kembali menjadi penakluk Eropa berkat kerja keras mereka mengejar kesempurnaan.
Sebelum berduel melawan Paris Saint-Germain di Stadion da Luz itu, Bayern merupakan tim yang selalu nyaman berada di puncak klasemen Bundesliga sejak musim 2013-2014 hingga 2019-2020. Tidak ada tim lain di Jerman yang mampu meruntuhkan dominasi mereka. Bahkan, mereka juga menyabet lima trofi DFP Pokal (Piala Jerman) selama periode tersebut.
Trofi-trofi kompetisi domestik dengan mudah dikumpulkan Bayern, tetapi mereka kehilangan taji ketika tampil di level yang lebih tinggi, seperti Liga Champions Eropa. Sejak 2014 hingga 2019, Bayern paling mentok hanya melaju sampai ke babak semifinal. Musim lalu, mereka hanya bisa melaju sampai ke babak empat besar sebelum disingkirkan Liverpool yang kemudian menjadi juara.
Itulah kedigdayaan semu yang dirasakan Bayern selama ini karena mereka hanya tampil perkasa ketika bertarung di kompetisi domestik. Begitu diuji oleh tim-tim dari liga Eropa lainnya, keperkasaan itu mendadak hilang. Bayern otomatis merepresentasikan kekuatan klub Jerman yang masih ada di bawah Spanyol dan Inggris.
Namun, citra sepak bola Jerman kembali naik daun pada musim ini. Tidak hanya karena muncul tim Jerman lain, seperti RB Leipzig, yang bisa melaju sampai ke semifinal. Bayern juga mengusung perubahan di bawah kendali Pelatih Hansi Flick sejak November 2019. Hanya dalam 10 bulan, Flick mampu menjadikan Bayern sebagai tim pertama yang bisa meraih kemenangan sempurna selama satu musim di Liga Champions.
Bayern memenangi 11 laga Liga Champions sejak fase penyisihan grup hingga final. Mereka tidak sekadar menang, tetapi juga meremukkan siapa saja yang berada di depan mereka. ”Kami tidak perlu membicarakan Bayern lagi karena lawan-lawan mereka tidak hanya dikalahkan, tetapi juga dihancurkan,” kata Direktur Utama Borussia Dortmund Hans-Joachim Watzke ketika Bayern melumat Barcelona, 2-8, pada laga perempat final.
Barcelona adalah salah satu saksi dari transformasi Bayern yang kini menjadi tim paling kolektif dengan serangan yang paling efisien. Dari 11 laga itu, Bayern hanya mencetak kurang dari tiga gol pada laga penyisihan grup melawan Olympiakos (2-0) dan pada laga final melawan PSG (1-0). Sembilan laga sisanya adalah mimpi buruk bagi sang lawan.
Bahkan, mereka yang meragukan kemampuan Bayern saat ini juga harus gigit jari ketika melihat Bayern mengangkat trofi ”Si Kuping Lebar” di Lisabon dan menyandang predikat treble winner alias tim yang menjuarai tiga kompetisi mayor dalam satu musim. Penyerang Lyon, Toko Ekambi, adalah salah satu yang sempat meragukan Bayern.
”Tidak mungkin mereka tidak bisa dikalahkan,” kata Ekambi setelah mereka dikalahkan Bayern, 0-3, pada laga semifinal. Prediksi Ekambi keliru karena trio serang PSG, yaitu Neymar, Kylian Mbappe, dan Angel Di Maria, ternyata tidak mampu melemahkan kolektivitas Bayern. Neymar, pemain termahal dunia, sampai dibuat menangis dan harus digandeng agar beranjak dari bangku untuk mengikuti seremoni penyerahan medali.
Mentalitas Flick
Awal transformasi Bayern itu terjadi ketika Bayern mendepak pelatih Niko Kovac pada awal November 2019 dan menunjuk Flick sebagai pelatih interim. Flick, yang semula menjadi asisten Kovac, naik jabatan untuk melakukan perubahan mendasar yang kini menunjukkan hasilnya.
Flick tidak hanya mengubah gaya bermain Bayern menjadi lebih atraktif dan efisien, tetapi juga menanamkan prinsip tim dan ambisi untuk mengejar kesempurnaan.
”Ketika saya menjadi pemain, hasil akhir adalah yang terpenting. Namun, sekarang kemenangan saja tidaklah cukup,” kata Flick.
Di tangan Flick, Bayern tidak boleh hanya sekadar menang. Mereka juga harus menunjukkan pesan bahwa mereka adalah tim terbaik. Standar yang lebih tinggi perlu digunakan agar tim tidak lagi terjebak pada kedigdayaan semu di Jerman. Kemenangan atas Barcelona atau pesta gol Bayern pada laga-laga lainnya di Liga Champions musim ini sudah menjadi buktinya.
Para pemain dipersenjatai dengan kepercayaan diri yang begitu tinggi. ”Kami merasakan punya kemampuan sebagai tim yang tidak bisa dikalahkan,” ujar bek Bayern, Joshua Kimmich, seperti dikutip Sueddeutsche Zeitung.
Pada awal tugasnya sejak menggantikan posisi Kovac, Flick masih sempat mencari batu pijakan sebelum akhirnya menemukan konsistensi. Pada Desember 2019, Bayern menelan kekalahan beruntun di Bundesliga dari Bayer Leverkusen dan Borussia Muenchengladbach dengan skor sama, 1-2.
Rupanya kekalahan dari Muenchengladbach itu merupakan kekalahan terakhir Flick sampai saat ini di semua kompetisi. Sejak saat itu mereka meraih 19 kemenangan dan 1 hasil imbang di Bundesliga dalam 20 laga. Setelah ditahan imbang Leipzig pada Februari lalu, Bayern di tangan Flick kemudian mencatat kemenangan beruntun dalam 21 laga di semua kompetisi, termasuk pada laga kontra PSG.
Tantangan berat
Pesta di Lisabon tentu menyisakan tantangan yang lebih berat bagi Bayern ataupun Flick pada musim 2020-2021. Jadwal Bayern praktis akan jauh lebih padat karena mereka juga akan tampil pada laga Piala Super UEFA melawan Sevilla sebagai juara Liga Europa dan mengikuti Piala Dunia Antarklub.
Pada musim 2020-2021, Bayern, seperti ditulis Kicker, akan menjalani setidaknya 53 laga dalam satu musim. Jumlah laga itu sudah meliputi laga-laga Bundesliga, Piala Jerman, dan Piala Super Jerman. Tantangan Bayern berikutnya adalah mempertahankan konsistensi yang telah mereka raih pada musim ini.
Bayern perlu ingat bahwa kedigdayaan semu pada 2014-2019 itu terjadi setelah mereka merebut status treble winner pertama pada musim 2012-2013 saat dilatih Jupp Heynckes. Mereka wajib mencari cara agar pola serupa tidak lagi terjadi.
Tim lainnya, seperti Liverpool, sudah memberikan gambaran mengenai tantangan yang berat itu. Setelah menjuarai Liga Champions musim 2019-2020, Liverpool juga menjalani jadwal super padat dan mereka kini hanya meraih satu trofi, yaitu Liga Inggris. Di Liga Champions, mereka langsung tersingkir pada babak 16 besar.
Demi menghadapi jadwal padat itu, Flick butuh menjaga keutuhan skuad. Namun, hal itu sangat sulit karena Flick menghadapi kenyataan bahwa pemain kunci pada laga kontra PSG, seperti Thiago Alcantara, sudah dikabarkan akan pindah ke Liverpool, sedangkan David Alaba masih belum menandatangani kontrak baru. Sementara itu, masa pinjaman Philippe Coutinho sudah habis dan pemain Brasil itu harus kembali ke Barcelona.
Beruntung, manajemen Bayern telah mendapat tanda tangan penyerang sayap Leroy Sane, yang kembali ke Bundesliga setelah empat musim berkelana di Liga Primer Inggris. Kehadiran Sane memastikan serangan Bayern tetap tajam. (AP/AFP/REUTERS/DEN)