Final Liga Champions antara Bayern Muenchen dan Paris Saint-Germain mempertemukan dua pelatih Jerman, Hansi Flick dan Thomas Tuchel. Mereka mewakili generasi baru pelatih Jerman.
Oleh
Sindhunata
·5 menit baca
Liga Champions 2020 ini istimewa. Bukan hanya karena diselenggarakan di stadion bisu akibat pandemi Covid-19. Juga karena sampai semifinal, Jerman menempatkan tiga pelatih kebangsaannya di sana. Dan, pada laga final, Senin (24/8/2020) pukul 02.00 WIB, dua pelatih Jerman akan berebut piala.
Rupanya tahun ini pelatih Jerman sedang naik daun. Julian Nagelsmann menyalip pelatih-pelatih besar, José Mourinho dan Diego Simeone, setelah membawa RB Leipzig berturut-turut menggulingkan Tottenham Hotspur dan Atletico Madrid. Hansi Flick menghancurkan mitos tiki-taka ketika Bayern menggulung Barcelona, 8-2.
Thomas Tuchel mengantar Paris Saint-Germain ke final Liga Champions, impian yang belum pernah dialami oleh klub kaya raya dari Paris itu. Belum lagi Juergen Klopp, yang telah membuat Liverpool juara Premier League setelah menanti 30 tahun lamanya.
Selama 20 tahun terakhir, pelatih Jerman banyak dicibir. Mereka miskin taktik. Strateginya klasik. Permainannya lebih mengandalkan sifat utama rasnya yang rajin dan pantang menyerah. Bahkan, legendanya, Franz Beckenbauer, dianggap masih picik pandangan bolanya. Dogma permainannya, kuasailah bola dan keluarlah dari sarang sebisanya. Atau, seperti dikatakan rekan Beckenbauer, Guenther Netzer, taktik yang baik adalah tidak membuat kebobolan yang bodoh.
Sekarang pelatih Jerman membuat orang terperangah. Mereka membuat anak-anak asuhnya selalu lapar akan bola. Tak mudah bagi lawan untuk segera merebut bola. Lincah dan luwes menggiring dan memainkan bola. Kuat dalam menekan, dan pandai menutup ruang, sambil selalu tajam dan cermat mengorientasikan bola.
Senin dini hari nanti, kita akan menyaksikan bagaimana dua pelatih Jerman, Flick dan Tuchel, berhadapan. Bersama Flick, Bayern sangat beralasan apabila mereka optimistis memegang trofi ”Si Kuping Lebar”. Selama Liga Champions ini, mereka belum terkalahkan. Bayern sudah juara Bundesliga dan Piala Liga Jerman. Dengan kemenangan di Liga Champions nanti, berarti sukses treble ada di tangan. Jika mereka berhasil, berarti mereka akan mengulang prestasi di bawah pelatih legendaris Jupp Heynckes, yang tujuh tahun lalu juga meraih treble.
Kehebatan Bayern tampak amat istimewa ketika mereka menjungkirkan Barcelona, 8-2. Kemenangan itu bukan sekadar kemenangan, melainkan juga penghancuran mitos yang melekat pada Barcelona. Més que en club, lebih dari sekadar klub, itulah predikat Barcelona. Karena kekalahan memalukan itu, semboyan ini diplesetkan menjadi més que una derotta: lebih daripada sekadar kekalahan belaka.
Memang Barcelona bukan sekadar klub bola kebanggaan rakyat Katalan. Mereka juga bagaikan prajurit-prajurit tak bersenjata yang ikut memperjuangkan kemerdekaan rakyat Katalan. Ternyata, di Liga Champions ini, mereka runtuh. Keruntuhan ini menambah luka pada krisis organisasi dan keuangan mereka pada masa pandemi Covid-19 ini.
Celakanya, runtuhnya Barcelona dibarengi dengan tersingkirnya Manchester City bersama Pep Guardiola. Meskipun Guardiola adalah ikon bagi Barcelona. Meski sudah bukan pelatih mereka, Guardiola adalah peletak dasar tiki-taka, gaya bermain dengan umpan pendek dan pergerakan dinamis serta penguasaan bola, yang menjadi ciri khas Barcelona.
Ternyata Guardiola banyak menemui kegagalan akhir-akhir ini. Ia dianggap terlalu intelektualis dalam strategi bolanya. Kata filsuf dan pengamat bola Wolfram Eilenberger, dengan kemenangan Barcelona di Stadion Wembley pada 2011, Barcelona berlaku sebagai ideal utama bagi sepak bola di seluruh dunia dan pelatihnya dianggap sebagai seorang visioner yang nyaris tak tercela. Sekarang, Barcelona adalah reruntuhan dan Guardiola adalah trainer dengan masa lalu, bukan trainer dengan masa depan.
Bayern memang hebat ketika menghancurkan Barcelona. Namun, kehebatan serupa tak bisa mereka ulang meski di semifinal mereka mengalahkan Lyon, 3-0. Kendati itu, mereka tetaplah fantastis, lebih-lebih karena pemainnya, Serge Gnabry.
”Gol Serge adalah gol berkelas Liga Champions. Dicetak dengan tempo yang amat tinggi dan teknik yang cerdik sekali,” puji Oliver Kahn, kiper legendaris Bayern.
Bayern juga klub yang berhasil melakukan regenerasi. Selain Gnabry, mereka juga mempunyai Joshua Kimmich (25), Leon Goreztka (25), dan Niklas Suele (24). Pemain-pemain muda ini sangat berenergi serta mempunyai semangat dan cita-cita amat tinggi. Bayern memang sedang hampir sempurna. Namun, bukan berarti mereka tidak mempunyai kelemahan sama sekali.
”Bayern hebat di depan, tetapi di belakang mereka harus menjadi lebih stabil,” kata Lothar Matthaeus mengkritik pertahanan Bayern. ”Mereka harus berhati-hati juga, jangan terlalu bermain ke depan, dan berada jauh dari lini pertahanan mereka,” tambahnya.
Lebih berkelas
Flick sendiri mengakui, pertahanan Bayern beberapa kali kedodoran karena gempuran mendadak pemain Lyon. Di final nanti, keteledoran itu tak boleh terulang kembali. Sebab, gempuran para superstar PSG, Neymar, Kylian Mbappe, dan Angel Di Maria, kiranya akan jauh lebih berkelas dan mengerikan daripada gempuran pemain-pemain Lyon yang terbukti sempat membuat repot pertahanan Bayern.
PSG bukanlah lawan yang mudah bagi Bayern. Di bawah Tuchel, PSG lain daripada sebelumnya. Tuchel berhasil membuat PSG menjadi sebuah tim. Ia menjauhkan pemainnya dari individualisme dan egoisme. Neymar dan Mbappe jadi saling mengerti dan mau saling berkorban demi tim. Mereka rajin bergerak ke belakang untuk membela pertahanan dan tidak hanya menghabiskan ambisinya bermain hebat di depan.
”Sejujurnya, kami telah berhasil membentuk sebuah kesebelasan. Kami mengenal kelebihan masing-masing, tetapi masing-masing juga tahu kelemahannya sendiri-sendiri. Kami akan berkeringat bersama-sama dan menang bersama-sama,” kata Mbappe.
Bagi Tuchel, Bayern bukan lawan baru. Ketika menjadi Pelatih Dortmund, berulang kali anak-anak Tuchel berhadapan dengan Bayern. Dengan disiplin yang sama seperti di Dortmund, Tuchel melatih PSG. Di bawah Tuchel, PSG menjadi kesebelasan yang sangat efisien.
”Kami tak hanya menunjukkan mutu. Kami juga lapar akan gelar. Sekarang saatnya usaha kami mendapat ganjarannya,” kata Tuchel.
Sulit memastikan siapa yang menjadi juara. Bayern atau PSG. Namun, siapa pun juaranya, pelatih Jerman akan menjadi pemenangnya. Bisa Flick, bisa Tuchel, yang akan ikut mengangkat Piala Champions 2020, menyusul Juergen Klopp, yang tahun lalu juara bersama Liverpool.