Paris Saint-Germain boleh membayar mahal Neymar atau Kylian Mbappe dan menjadikan keduanya bintang utama. Namun, mereka tetap butuh kepiawaian Angel Di Maria untuk melaju ke final Liga Champions.
Oleh
D HERPIN DEWANTO PUTRO
·5 menit baca
LISABON, RABU — Penyerang sayap Paris Saint-Germain, Angel Di Maria, menjadi sosok utama di balik keberhasilan tim mencatat sejarah baru tampil di final Liga Champions. Pemain asal Argentina ini mencetak satu gol dan membuat dua asis saat PSG mengalahkan RB Leipzig, 3-0, pada laga semifinal di Stadion da Luz, Lisabon, Portugal, Rabu (19/8/2020) dini hari WIB.
Di Maria mengambil tendangan bebas pada menit ke-13 untuk memberikan umpan kepada Marquinhos yang mencetak gol pertama pada laga itu. Menjelang akhir babak pertama, Di Maria mencetak gol kedua setelah mendapat bola dari Neymar. Pada babak kedua, Di Maria kembali melakukan asis pada menit ke-53, yang membuat Juan Bernat bisa ikut masuk daftar pencetak gol.
Dalam diri Di Maria, PSG punya senjata yang mematikan, yaitu kemampuan melihat celah di depan gawang lawan dan memberikan umpan akurat dari sektor sayap. Dua kemampuan itu sangat penting untuk mengeksploitasi pertahanan Leipzig yang lemah dalam mengantisipasi bola-bola atas.
Di ajang Liga Champions, Di Maria telah mencatat enam asis pada musim ini dan total sebanyak 26 asis selama kariernya. Jumlah itu menyamai pencapaian mantan gelandang Barcelona, Andres Iniesta. Adapun pemain dengan asis terbanyak di Liga Champions adalah Cristiano Ronaldo (38 asis), Lionel Messi (33 asis), dan Ryan Giggs (27 asis).
”Saya akan kesulitan tidur malam ini karena laga final sudah ada dalam pikiran. Prioritas kami adalah menyiapkan laga final sebaik mungkin. Perancis dan Jerman saat ini pada level yang sama,” kata Di Maria, dikutip L’Equipe. Di Maria dan rekan-rekannya sudah penasaran siapa lawan mereka berikutnya, tim senegara Olympique Lyon atau lima kali juara, Bayern Muenchen, yang bertanding pada laga semifinal lainnya, Kamis (20/8/2020) dini hari WIB.
Sejak babak semifinal, hanya ada tim wakil Perancis dan Jerman yang bertarung. Lyon telah menyingkirkan para raksasa, seperti Juventus dan Manchester City, sedangkan Bayern baru saja mengalahkan Barcelona, 8-2. Wajar jika Di Maria sulit untuk tidur karena PSG menatap final pertama yang akan sulit dijalani.
PSG menjadi klub kelima Perancis yang lolos ke laga final Piala Champions/Liga Champions, setelah Reims (1956, 1959), Saint-Etienne (1976), Marseille (1991, 1993), dan Monaco (2004). Dari empat klub ini, hanya Marseille yang berhasil memboyong trofi Si Kuping Lebar ke Perancis dengan mengalahkan AC Milan, 1-0, pada tahun 1993.
Kebangkitan Di Maria
Di Maria sudah punya kenangan manis di final Liga Champions saat membela Real Madrid dan mengalahkan Atletico Madrid, 4-1, tahun 2014. Kebetulan, laga final itu juga berlangsung di Stadion da Luz, stadion yang juga menjadi markas Benfica, klub yang dibela Di Maria pada tahun 2007-2010.
Pengalamannya tampil di final Liga Champions bersama Real itu adalah masa-masa terakhirnya sebelum ia memasuki fase berikutnya yang agak suram. Di Maria bergabung dengan Manchester United yang ditangani manajer Louis van Gaal dan tidak mampu mengeluarkan kemampuannya yang sesungguhnya.
”Masa-masa itu (di MU) bukanlah masa terbaik dalam karier saya. Ada masalah dengan pelatih saat itu. Namun, syukurlah saya bisa bergabung dengan PSG dan kembali menunjukkan siapa saya sebenarnya,” kata Di Maria.
Bersama PSG, Di Maria terlibat dalam proyek ambisius yang dirancang sejak 2011 ketika klub dibeli Qatar Sports Investment, yaitu menjuarai Liga Champions. Proyek ini tidak mudah dijalankan karena langkah PSG selalu terhenti pada babak 16 besar. Baru kali ini PSG bisa melaju lebih jauh.
Bukan hanya bagi PSG, saat ini juga menjadi momen kebangkitan bagi Di Maria. ”Dia (Di Maria) menunjukkan kualitas dan kekuatan mentalnya setiap hari sehingga sangat bisa diandalkan. Dia selalu menjadi pemain pertama yang datang ke tempat latihan,” kata Pelatih PSG Thomas Tuchel.
Pertahanan solid
Selain memiliki kekuatan di lini serang, Tuchel juga menyebutkan, kunci kesuksesan PSG pada musim ini terletak pada pertahanan mereka yang solid. PSG hanya kebobolan lima kali dalam 10 laga Liga Champions.
”Bagaimana kami bertahan juga menjadi hal yang penting bagi kami. Kami punya kombinasi yang bagus antara determinasi, semangat, dan kualitas,” kata Tuchel.
Pertahanan menjadi cara bagi PSG untuk mengatasi tekanan yang begitu besar. Hampir selama satu dekade, setelah digelontor dana yang begitu besar, mereka masih kesulitan untuk menaklukkan Eropa. Pertahanan yang rapuh adalah kesalahan mereka di masa lalu.
”Sebelum berlaga (melawan Leipzig), kami merasakan tekanan itu. Namun, saya juga memiliki para pemain yang terbiasa menghadapi tekanan,” kata Tuchel.
Tekanan itu semakin besar karena Leipzig sendiri merupakan tim kuda hitam yang selalu menebar ancaman. Leipzig baru berusia 11 tahun sehingga PSG sangat malu jika kalah.
Tuchel sebelumnya sudah tahu Leipzig punya kemampuan mengubah taktik dengan sangat fleksibel, tetapi ia sudah tahu polanya. Dengan demikian, Tuchel tidak perlu melakukan perubahan taktik yang signifikan untuk melumpuhkan permainan atraktif Leipzig.
”Pada akhirnya lawan (PSG) jauh lebih baik daripada kami. Kami harus menerimanya,” ujar Pelatih RB Leipzig Julian Nagelsmann. Setidaknya, Nagelsmann dan Leipzig sudah meraih pencapaian luar biasa musim ini sebagai tim yang baru berusia 11 tahun.
Apalagi, Nagelsmann yang baru berusia 33 tahun tetap fenomenal sebagai pelatih termuda yang mampu menembus babak ini. Pada laga itu, ia dikalahkan Tuchel, sosok mentor yang menuntunnya menjadi seorang pelatih muda yang hebat seperti sekarang. (AFP/REUTERS)