Kompetisi sepak bola yang digelar di kala pandemi ini memiliki paramater uji yang berbeda. Tim-tim yang bertahan adalah mereka yang juga lebih berhasil berkelit menyiasati terjangan Covid-19.
Oleh
D HERPIN DEWANTO PUTRO
·6 menit baca
LISABON, MINGGU — Kekalahan Manchester City dari Olympique Lyon, 1-3, pada laga perempat final Liga Champions, Minggu (16/8/2020) dini hari WIB, menorehkan sejarah baru di turnamen ini. Babak semifinal Liga Champions kembali dihuni empat tim dari dua negara, seperti yang pernah terjadi pada musim 2012-2013.
Lyon bersama Paris Saint-Germain akan mewakili Perancis untuk bersaing dengan dua wakil Jerman, Bayern Muenchen dan RB Leipzig. Menariknya, dua laga semifinal akan diisi dua tim dari negara berbeda, Lyon akan melawan Bayern, sedangkan PSG bertemu Leipzig. Dengan demikian, masih ada peluang dua tim dari negara yang sama akan bertarung di babak final.
Tujuh tahun silam, hal serupa pernah terjadi. Dua tim wakil Spanyol (Real Madrid dan Barcelona) bersaing dengan dua tim dari Jerman (Bayern dan Borussia Dortmund). Kebetulan Bayern dan Dortmund bisa melaju ke final, dan Bayern yang membawa pulang trofi ”Si Kuping Lebar”. Bayern pada musim 2012-2013 juga merayakan status sebagai treble winner, tim yang menjuarai tiga kompetisi mayor dalam satu musim.
Namun, kali ini bintang muda PSG, Kylian Mbappe, sudah mengeluarkan guyonan yang mewakili rasa percaya diri tim-tim dari Perancis. Sesaat setelah Lyon mengalahkan City, Mbappe langsung mengunggah tulisan ”Farmers League” melalui media sosial Twitter, @KMbappe. Ia juga mencolek akun resmi Lyon dalam cuitannya.
Kebetulan, akun resmi Lyon, @OL_English, juga mengunggah cuitan ”no farmer here” dengan foto dua pemainnya, Maxence Caqueret dan Houssem Aouar, sedang berpelukan. Cuitan Mbappe dengan Lyon sejatinya sama-sama menunjukkan perlawanan kelas dalam ranah sepak bola Eropa.
Istilah ”Farmer League” atau ”Liga Petani” merupakan olok-olok yang digunakan untuk menyebut Liga Perancis terkait posisinya di dalam daftar lima liga top Eropa. Liga Perancis dianggap sebagai liga dengan kualitas terburuk jika dibandingkan dengan Liga Inggris, Liga Spanyol, Liga Jerman, dan Liga Italia.
Dalam artikel Goal tahun 2019, istilah petani digunakan untuk mengejek bahwa Liga Perancis tidak lain sebagai kompetisi yang diikuti para petani. Para pemain ibarat para petani yang baru bisa bertanding pada malam hari setelah seharian bekerja di sawah. Kira-kira seperti itulah ejekan yang dilontarkan kepada Liga Perancis yang dianggap tidak punya kualitas.
Namun, Lyon dengan tegas mengatakan, ”tidak ada petani di sini” seusai mencabik-cabik tim sekelas City. Mereka semakin menegaskan bahwa ejekan ”Liga Petani” tidak relevan semenjak klub-klub Perancis mulai bersinar di Eropa dalam beberapa tahun terakhir dan PSG menjadikan Neymar Junior sebagai pemain termahal dunia pada 2017.
Bahkan, juru taktik sekelas Pep Guardiola yang menjadi manajer Manchester City sampai merasa seluruh kemampuan taktikalnya tidak berguna untuk menghadapi Lyon. ”Mereka (Lyon) sangat cepat, sedangkan bek-bek tengah kami kalah cepat. Jadi, saya tidak ingin membiarkan bek tengah bekerja sendirian,” ujarnya.
City yang mendapat banyak modal dari Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, bisa membeli banyak pemain bintang yang mereka suka. Mereka juga sudah memiliki pelatih sekaliber Guardiola yang sering mempersembahkan trofi kepada Barcelona dan Bayern Muenchen. Namun, superioritas itu tidak berlaku di hadapan Lyon yang terakhir kali tampil di semifinal Liga Champions pada musim 2009-2010.
Taktik siasati pandemi
Lalu, apa yang membuat Lyon, PSG, Leipzig, dan Bayern bisa melaju ke semifinal? Mengapa tim-tim raksasa Eropa seperti Real Madrid, Barcelona, Juventus, City, dan bahkan sang juara bertahan Liverpool lebih dulu tumbang?
Dalam konteks kepemilikan pemain bintang ataupun pelatih kelas dunia, jawaban dari pertanyaan tersebut sulit dicari. Barcelona sudah punya Lionel Messi, Juventus punya Cristiano Ronaldo, dan Real punya pelatih sejenius Zinedine Zidane. City sudah punya banyak teori taktik yang keluar dari kepala Guardiola. Namun, dengan senjata paling mematikan yang dimiliki sekalipun, tim-tim tersebut gagal melaju sampai jauh.
Teori yang bisa digunakan untuk menjelaskan fenomena ini lebih lanjut adalah bagaimana sepak bola Perancis ataupun Jerman menyikapi pandemi. Ketika liga-liga top Eropa lainnya masih bingung menyiapkan jadwal bergulirnya lanjutan kompetisi, Jerman dan Perancis sudah punya keputusan sendiri.
Jerman menjadi negara pertama dari lima liga top Eropa itu yang melanjutkan liga, sedangkan Perancis segera memutuskan untuk membatalkan kompetisi dan menobatkan PSG sebagai juara. Dua hal yang berlawanan, melanjutkan dan membatalkan, tetapi sama-sama memberikan keuntungan. Klub-klub Jerman dan Perancis memiliki lebih banyak waktu untuk mempersiapkan diri menghadapi turnamen Eropa.
Jerman memiliki pemerintah yang tanggap dalam mengantisipasi pandemi. Harian The New York Times menyebutkan Jerman sudah mengembangkan tes virus korona sejak pertengahan Januari sehingga ketika kasus pertama muncul di Jerman, pada Februari, semua laboratorium telah menyiapkan kit tes virus korona. Itulah mengapa pada pertengahan Mei 2020, Jerman berani menggulirkan kembali Bundesliga (Kompas, 17 Mei 2020).
Pemain kelelahan
Bundesliga tuntas pada akhir Juni ketika liga-liga lainnya baru saja dilanjutkan. Akibatnya, tim-tim dari Inggris, Italia, dan Spanyol juga terlambat menuntaskan liga dan turnamen domestik. Para pemain sudah sangat lelah dengan frekuensi laga yang begitu tinggi setiap pekan, dan tidak lama kemudian bertarung di level Eropa. Situasi ini menjadi santapan lezat bagi tim-tim Jerman ataupun Perancis yang relatif jauh lebih bugar.
Tidak mengherankan apabila Guardiola mengeluhkan para pemain Lyon yang bergerak begitu cepat dan punya energi lebih besar. Pada laga perempat final lainnya yang berlangsung Sabtu (15/8/2020) dini hari WIB, kecepatan juga menjadi faktor utama yang membuat Bayern begitu perkasa menaklukkan Barcelona dengan skor fantastis, 8-2.
Kecepatan juga menjadi bumbu dalam permainan di Liga Inggris. Namun, tim-tim Inggris tidak bisa lagi menggunakannya sebagai senjata seperti pada musim lalu ketika mereka bisa mendominasi final Liga Champions dan final Liga Europa. Di Liga Champions musim ini, tim-tim Inggris banyak yang bertumbangan pada babak 16 besar, yaitu Chelsea, Liverpool, dan Tottenham Hotspur.
Satu-satunya wakil Inggris di babak empat besar kompetisi Eropa kali ini adalah Manchester United, yang akhirnya juga tersingkir di tangan Sevilla, 1-2, pada laga semifinal Liga Europa, Senin (17/8/2020) dini hari WIB.
Manajer MU Ole Gunnar Solskjaer menyadari tidak mudah tetap tampil prima selama musim pagebluk. ”Kami tidak bisa mengeluh karena inilah dunia yang kita tinggali saat ini,” ujar Solskjaer dilansir MU dalam laman resminya.
Gara-gara pagebluk, semua harus beradaptasi, termasuk format fase gugur Liga Champions dan Liga Europa yang kini dimampatkan tanpa sistem kandang-tandang. Semua laga sejak perempat final dilakukan sekali agar bisa cepat tuntas akhir Agustus ini.
Setiap tim sejatinya sedang bertarung dalam turnamen yang jauh lebih luas cakupannya, yaitu ”Liga Pagebluk”. Kekuatan modal dan taktik tidak lagi cukup untuk menjamin kemenangan. Kemampuan negara masing-masing tim dalam menyikapi pandemi bisa jadi menyumbang peran yang jauh lebih penting. (REUTERS)