Barca yang Bukan Tim ”Alien” Lagi
Barcelona pulang dari Lisabon dengan rasa malu setelah dibantai Muenchen. Keterpurukan tersebut menjadi momentum perubahan total bagi sang raksasa Spanyol itu.
Kekalahan memalukan Barcelona dari Bayern Muenchen, 2-8, menyadarkan mereka bukan lagi tim ”alien” yang dominan seperti pada dekade lalu. Barca sudah saatnya melakukan perombakan besar dari skuad hingga struktur manajemen untuk bangkit dari keterpurukan ini.
Kisah klasik bagi Lionel Messi dan rekan-rekan terulang di Liga Champions. Kekalahan dari Muenchen memperpanjang rekor buruk mereka yang sudah lima musim gagal juara, setelah terakhir kali meraih trofi ”Si Kuping Lebar” pada 2014/2015.
Musim-musim sebelumnya juga berakhir mengecewakan. Mulai takluk kepada AS Roma pada 2018 hingga kalah telak dari Liverpool pada 2019. Semua itu menunjukkan ada yang salah dari tim pengoleksi empat gelar juara Liga Champions tersebut.
Keterpurukan di Lisabon, saat dibantai Muenchen, Sabtu (15/8/2020), menjadi alarm penanda. Kekalahan besar itu tidak bisa dimaafkan untuk tim sebesar Barca. Mereka kebobolan delapan gol dengan bermain tanpa gairah.
”Ini adalah sebuah bencana. Permainan yang sangat buruk. Aib kata yang tepat untuk menggambarkan ini. Bukan pertama, sudah kedua atau ketiga kali terjadi pada kami. Kami semua perlu merenungkan hal ini,” ucap pemain veteran Barca, Gerrard Pique, setelah laga.
Pique menuntut perubahan pada keseluruhan struktur tim, dari pemain, pelatih, hingga kepengurusan. Bek berusia 33 tahun itu bahkan menawarkan diri meninggalkan Barca jika manajemen bisa menghadirkan pemain muda yang lebih baik darinya. Semua itu demi tim bisa berjaya lagi.
”Kejatuhan” Barca memang sudah bisa diprediksi. Terlihat dari mesin tim mereka yang sudah usang. Jika dicermati, skuad ”Blaugrana” tidak banyak berubah dibandingkan pada 2015, ketika mereka menaklukkan Muenchen yang dilatih Josep Guardiola lewat agregat 5-3 di semifinal.
Ketika itu, Barca mengandalkan trio terhebat di dunia, Messi, Luis Suarez, dan Neymar (MSN). Di tengah, mereka ditopang gelandang berkelas, seperti Andres Iniesta, Ivan Rakitic, dan Sergio Busquets. Sementara Pique melindungi lini belakang.
Lima tahun berselang. Skuad itu tidak banyak berubah. Barca masih menjadikan Messi, Suarez, Rakitic, Busquets, dan Pique sebagai tulang punggung tim. Situasi itu memburuk karena selain pemain-pemain tersebut semakin tua, tidak ada pengganti sepadan dari Iniesta dan Neymar.
Sebagai gambaran, 7 dari 11 pemain inti Barca berusia setidaknya 31 tahun. Jumlah itu sangat kontras dibandingkan hanya dua pemain Muenchen yang berusia lebih dari 31 tahun. Itu pun satu di antaranya adalah kiper Manuel Neuer.
Pemain dalam usia emas seperti Antoine Griezmann dan Ousmane Dembele justru duduk di bangku cadangan. Sementara itu, gelandang muda yang didatangkan musim ini, Frenkie de Jong, tampil sejak menit awal. Namun, dia masih belum menyetel dengan skuad Barca. Performa De Jong tidak seperti saat di klub lamanya, Ajax Amsterdam.
Semua ini menandakan ada yang salah dari proses regenerasi Blaugrana. Dalam lima tahun terakhir, mereka jalan di tempat dengan tidak mampu memunculkan pemain baru yang bisa diandalkan.
Muenchen seolah memberi contoh, bagaimana penyegaran skuad yang benar. Setelah masa emas pada 2012/2013, saat juara Liga Champions, Muenchen terus membangun ulang skuadnya. Mereka sukses mengombinasikan pemain muda dengan pemain berpengalaman.
Skuad Muenchen masih berisi pemain yang turun di 2015, seperti Lewandowski dan Mueller. Meski begitu, kepercayaan mereka pada pemain muda menghasilkan tiga layer dalam tim asuhan Hans-Dieter Flick tersebut.
Pemain veteran diisi Lewandowski dan Mueller. Pemain dalam usia emas, 25-28 tahun, diisi Serge Gnabry, Leon Goretzka, dan Joshua Kimmich. Sementara itu, pemain muda berbakat juga mendapat tempat, seperti bek kiri Alphonso Davies yang masih berusia 19 tahun.
Kombinasi itu membuat ”Die Roten” sangat komplet. Mereka bisa mengandalkan teknik dan pengalaman para pemainnya, sekaligus bisa bermain intens dengan kecepatan dan fisik yang lebih dominan.
Bisa dikatakan, Muenchen versi Flick merupakan evolusi lebih baik dari skuad 2012/2013 ala Jupp Heynckes. Mereka punya segalanya untuk membuat tim lawan terluka.
Kebijakan buruk
Kejatuhan era ”alien” Barca disebabkan oleh buruknya keputusan manajemen di era Presiden Josep Maria Bartomeu. Strategi pembelian pemain, pemilihan pelatih, hingga visi tim menjadi tidak jelas.
Kasus Philippe Coutinho, pemain yang dipinjamkan dari Barca ke Muenchen, menjadi cermin keburukan strategi transfer. Coutinho dibeli Barca dari Liverpool dengan banderol 145 juta euro pada Januari 2018.
Gelandang kreatif asal Brasil itu hanya bermain satu setengah musim di Barca. Setelah itu, dia dipinjamkan ke Muenchen pada awal musim ini. Kemarin, Coutinho justru mencetak dua gol dan satu asis ke gawang tim yang mengontraknya.
Situasi ini sangat membingungkan bagi Barca. Mereka membeli pemain dengan harga bombastis hanya untuk dipinjamkan ke tim lain. Coutinho bahkan jarang tampil pada musim pertamanya. Situasi serupa berulang pada Griezmann yang datang di awal musim hanya untuk menghangatkan bangku cadangan.
Pemilihan pelatih juga jadi masalah sendiri bagi manajemen Barca. Sejak ditinggalkan Guardiola, pada 2012, mereka sudah mencoba lima pelatih dalam delapan tahun terakhir. Di antara itu, hanya Luis Enrique yang bisa melatih hingga tiga tahun.
Pergantian pelatih ini membuat visi bermain Barca menjadi tidak jelas. Contohnya saja, di era Quique Setien, dia ingin tim bermain lebih menyerang dengan penguasaan bola dominan.
Padahal, di era sebelumnya, Ernesto Valverde, Barca bermain lebih efektif. Mereka tidak terlalu frontal menyerang terutama saat berhadapan dengan tim-tim besar.
Kursi kepelatihan yang sangat dinamis tidak dimungkiri membuat inkonsistensi permainan Blaugrana. Kabarnya, Setien yang baru melatih setengah musim juga telah dipecat seusai kekalahan di Liga Champions.
Seringnya pergantian pelatih sendiri tak lepas dari keberadaan Messi. Dia dianggap lebih berharga dari siapa pun di Barca. Kekuasaannya mutlak. Ketika tidak suka terhadap pelatih, kemauan itu akan dituruti pihak manajemen.
Pertanyaan pun tertuju terhadap Barca. Messi, dengan usia 33 tahun, apakah masih masuk dalam cetak biru masa depan mereka. Kemampuan Messi memang tidak perlu diragukan, tetapi ego pemain terbaik sepanjang masa itu sangat sulit untuk ditangani.
Selama ini, pelatih di Barca lebih mirip seperti puppet (boneka yang digerakkan dengan tali). Di belakang itu, ada Messi yang menjalankan klub dengan segala kemauannya. Mulai dari strategi tim hingga pemain mana yang harus bermain dengannya.
Pengamat sepak bola Spanyol, Julio ”Maldini” Maldonado, berkata, momentum ini pasti akan membuat Barca merombak keseluruhan tim musim depan. Semua pemain bisa dibuang, termasuk Messi. ”(Hasil) ini akan menghasilkan tsunami yang akan menyapu semua orang keluar dari klub,” ucapnya, seperti dikutip Marca.
Ibarat gula, Messi memberikan rasa manis kepada Barca. Namun, gula itu telah melampaui batasnya akhir-akhir ini. Keseimbangan Barca pun mulai rusak karena sesuatu yang berlebihan itu.
Barca mungkin bisa melirik ke rival abadinya, Real Madrid. Mereka sukses menjalankan klub tanpa hanya mengandalkan satu orang. Setelah ditinggalkan megabintang Cristiano Ronaldo, mereka justru sukses meraih gelar La Liga dan memasuki era baru bersama Pelatih Zinedine Zidane. (AP/REUTERS)