Pemain bintang Juventus, Cristiano Ronaldo, dua kali gagal melaju ke babak perempat final Liga Champions Eropa dalam satu dekade terakhir. Tim yang berada di balik kegagalan Ronaldo itu tidak lain adalah Olympique Lyon.
Oleh
DOMINICUS HERPIN DEWANTO PUTRO
·4 menit baca
TURIN, SABTU — Juventus mengalahkan Lyon, 2-1, pada babak 16 besar Liga Champions di Stadion Allianz Turin, Sabtu (8/8/2020) dini hari WIB. Namun, kemenangan itu tidak cukup untuk mengantarkan ”Si Nyonya Besar” ke babak perempat final. Hasil ini sangat menyakitkan bagi Cristiano Ronaldo yang malam itu mencetak dua gol.
Jika saja laga itu adalah sebuah laga final, Ronaldo bisa menjadi pahlawan karena mampu membalikkan keadaan. Lyon sudah unggul lebih dulu melalui tendangan penalti Memphis Depay pada menit ke-12 sebelum Ronaldo mencetak dua gol itu pada menit ke-43 dan ke-60. Satu golnya itu dari titik penalti, sedangkan gol keduanya tercipta melalui tendangan dari luar kotak penalti.
Namun, itu adalah laga kedua pada babak 16 besar ini. Pada laga pertama yang berlangsung akhir Februari lalu, Lyon menang 1-0 di kandang mereka. Alhasil, laga kedua ini berakhir dengan jumlah agregat gol 2-2 tetapi Lyon berhak melaju ke babak perempat final karena unggul satu gol tandang, yaitu tendangan penalti Depay bergaya ”panenka” itu.
Depay menendang bola itu tepat ke tengah gawang dengan sedikit melambung dan menipu sang kiper. Biasanya kiper akan mengira bola mengarah ke samping mendekati tiang, seperti yang terjadi pada kiper Juventus, Wojciech Szczesny. Teknik ini dipopulerkan oleh pemain Ceko, Antonin Panenka, sehingga disebut tendangan panenka.
Akibat tendangan panenka itulah luka lama Ronaldo pada musim 2009-2010 kembali terbuka. Waktu itu, Ronaldo juga gagal melaju ke babak perempat final saat masih membela Real Madrid. Lawan mereka pada babak 16 besar saat itu adalah Lyon.
Kisahnya hampir mirip dengan musim ini ketika Lyon memenangi laga pertama dengan skor 1-0. Pada laga kedua kala itu, Ronaldo mampu mencetak gol dan membuat Real unggul lebih dulu. Namun, Lyon bisa menyamakan kedudukan berkat Miralem Pjanic yang kini menjadi rekan Ronaldo di Juventus.
Bagaikan aib
Bagi pemain sekaliber Ronaldo, gagal melaju ke babak perempat final itu bagaikan sebuah aib. Apalagi, Ronaldo adalah pemain yang diharapkan bisa membawa Juventus kembali berjaya di level Eropa setelah terakhir kali menjuarai Liga Champions pada 1996.
Juventus berharap Ronaldo bisa memberikan keajaiban seperti yang telah ia lakukan untuk mengantarkan Real Madrid menjuarai Liga Champions selama tiga musim beruntun pada 2016-2018. Selain itu, ia juga meraih dua trofi Liga Champions lainnya bersama Real pada 2014 dan di Manchester United pada 2008.
Ronaldo sudah mengemban ”tugas” itu sejak musim 2018-2019 dan berarti ini adalah musim keduanya yang berakhir dengan kegagalan. Praktis, dominasi Juventus di level domestik, yaitu menjuarai Liga Italia selama 9 musim beruntun, belum berlaku di Eropa.
Sebaliknya, Lyon seolah masih tidak percaya bisa menyingkirkan Juventus. ”Kami melawan tim yang memiliki pemain dari planet asing dalam skuadnya,” ujar Pelatih Lyon Rudi Garcia menyinggung kehebatan Ronaldo sebagai pemain dan tumpuan Juventus.
Deja vu Lyon
Uniknya, ini adalah kali pertama Lyon bisa melaju ke babak perempat final sejak mereka mengalahkan Ronaldo dan Real Madrid satu dekade silam. Mereka bak mengalami deja vu. Lyon kini menjadi wakil Perancis pertama yang mencapai babak tersebut setelah AS Monaco pada musim 2016-2017.
Garcia pun mengingatkan bahwa Lyon tetaplah tim yang tidak difavoritkan saat mereka melanjutkan pertarungan di Portugal, tempat kelahiran Ronaldo. Mulai babak perempat final mendatang, semua laga dimainkan di Portugal dan tidak lagi menggunakan sistem kandang-tandang.
Para pemain Juventus memiliki lukanya masing-masing setelah menjalani laga ini seperti yang dirasakan Pjanic. Gelandang asal Bosnia-Herzegovina itu tidak punya lagi kesempatan untuk berjaya di Eropa bersama Juventus. Ini adalah laga terakhirnya bersama Si Nyonya Besar, tim yang ia bela sejak 2016.
Akhir Juni lalu, Pjanic telah resmi bergabung dengan Barcelona. ”Hasil ini sangat mengecewakan karena tim ini layak mendapatkan hasil yang lebih baik di Eropa. Namun, saya tetap yakin tim ini akan bisa tampil lebih baik lagi,” katanya.
Presiden Juventus Andrea Agnelli akan kembali mengevaluasi tim dan belum mau berkomentar banyak tentang Pelatih Maurizio Sarri.
Kekecewaan manajemen
Kekecewaan Pjanic adalah juga kekecewaan manajemen Juventus. Presiden Juventus Andrea Agnelli akan kembali mengevaluasi tim dan belum mau berkomentar banyak tentang Pelatih Maurizio Sarri. ”Tentu saja ini membuat kami kecewa. Seperti yang sering saya katakan, dulu gelar juara Liga Champions adalah sebuah mimpi, tetapi sekarang adalah sebuah target,” ujar Agnelli dikutip Football-Italia.
Surat kabar Italia pada edisi hari ini sudah menampilkan tulisan utama yang provokatif. Tuttosport, misalnya, menulis ”Sarri Out”. Adapun Corriere dello Sport menulis ”Adieu, Maurizio” yang berarti ”selamat tinggal Maurizio”. Kandasnya Juve di babak 16 besar semalam dianggap sebagai kegagalan karena target mereka sesungguhnya adalah kembali berjaya di Eropa.
Adapun Sarri masih mengatakan, timnya sudah bermain dengan baik. ”Malam ini kami tampil luar biasa. Kami menciptakan tiga atau empat peluang gol,” ujar Sarri. (AP/AFP)