Lecce merupakan salah satu klub di Liga Italia Serie A musim ini yang berani menampilkan gaya permainan menyerang. Itulah yang membuat mereka bisa tetap merasa bangga meskipun akhirnya terdegradasi ke Serie B.
Oleh
DOMINICUS HERPIN DEWANTO PUTRO
·4 menit baca
LECCE, SENIN — Para pemain Lecce tertunduk lesu seusai dikalahkan tamunya, Parma, Senin (3/8/2020) dini hari WIB. Kekalahan 3-4 pada laga itu menandai akhir petualangan singkat Lecce di Liga Italia Serie A musim 2019-2020.
Kekalahan itu mengantar Lecce kembali ke Serie B, liga kasta kedua di Italia yang jadi tempat mereka berjuang musim lalu. Lecce finis di peringkat ke-18 dengan 35 poin. Adapun Genoa, tim papan bawah lainnya, lolos dari degradasi setelah mengalahkan Hellas Verona 3-0.
Meskipun terdegradasi, Pelatih Lecce Fabio Liverani mengatakan, timnya seharusnya bangga karena mereka adalah tim pemberani. Dalam kiprah singkatnya di Serie A musim ini, Lecce adalah salah satu klub yang menyuguhkan permainan menyerang yang tidak lazim di Italia.
”Tim bisa bangga karena Lecce sudah tampil di semua stadion di Italia dan menyajikan gaya permainan menyerang. Kami tidak pernah tampil bertahan atau sekadar menurunkan tempo permainan,” ujar Liverani, dikutip Football-Italia.
Seperti filosofinya itu, Lecce bahkan nekat fokus menyerang dan ”mengorbankan” lini pertahanannya ketika menghadapi Parma. Lecce merasakan konsekuensi dari gaya menyerang yang mereka terapkan. Mereka tenggelam ke Serie B karena tidak mau bermain pragmatis.
Statistik pun menunjukkan Lecce sebagai tim yang mampu mencetak 52 gol dalam 38 laga musim ini. Jumlah koleksi gol mereka sama dengan yang dikumpulkan Cagliari (peringkat 14) dan Bologna (peringkat 12). Hellas Verona pun hanya mengoleksi 47 gol, tetapi bisa finis di peringkat ke-9.
Lecce bisa terdegradasi meski lebih produktif dalam jumlah gol karena mereka juga menjadi lumbung gol bagi tim-tim lainnya. Lecce, yang kebobolan 85 gol, adalah tim dengan pertahanan terburuk di musim ini. Sebagai perbandingan, sebagai tim dengan pertahanan terbaik musim ini, Inter Milan hanya kebobolan 36 gol dari 38 laga.
Gaya permainan Lecce ini mengingatkan prinsip yang dipegang Pelatih Atalanta Gian Piero Gasperini. Pada Mei lalu, Gasperini mengatakan bahwa ia belajar dari pepatah kuno China. ”Bertahan membuatmu tak terkalahkan. Namun, jika ingin menang, maka menyeranglah,” ungkap Gasperini mengutip pepatah yang mengilhaminya itu.
Tim bisa bangga karena Lecce sudah tampil di semua stadion di Italia dan menyajikan gaya permainan menyerang. Kami tidak pernah tampil bertahan atau sekadar menurunkan tempo permainan. (Fabio Liverani)
Generasi baru
Penulis sepak bola Italia, Susy Campanale, dalam artikelnya di Football-Italia mengatakan bahwa Lecce berada dalam satu barisan bersama Atalanta, Hellas Verona, Bologna, dan Sassuolo. Mereka adalah para tim penyerang, generasi baru dalam sepak bola Italia.
Mereka adalah para duta harapan untuk mengubah wajah dan stereotipe Serie A yang selama ini dikenal membosankan dengan gaya permainan bertahan dan pragmatis.
Atalanta tampil sebagai tim terdepan yang lebih matang dan terbukti berada di papan atas. Artinya, Atalanta mampu menyeimbangkan porsi menyerang dan bertahan dengan baik. Maka, Atalanta tidak kehilangan banyak poin seperti Lecce atau tim-tim yang memiliki karakter menyerang lainnya.
Lecce baru sampai tahap untuk membangun tim yang diharapkan bisa seperti Atalanta. Maka itu, mereka butuh waktu lebih banyak untuk mematangkan tim. Tak pelak, Liverani pun mengatakan, ia akan tetap bertahan di Lecce untuk menjalani misi membangun timnya itu.
”Saya masih muda dan sedang tidak buru-buru. Jadi, saya ingin menciptakan sebuah proyek yang memberi ruang untuk gaya permainan saya,” ujarnya.
Mereka akan kembali bertarung di Serie B bersama tim-tim lainnya yang terdegradasi musim ini, yaitu Brescia dan SPAL. Sama seperti Lecce, Brescia hanya menikmati petualangan singkatnya setelah musim lalu menjuarai Serie B dan lantas promosi ke Serie A.
Lecce, Brescia, dan SPAL merasakan atmosfer persaingan papan bawah Serie A yang selalu sengit. Bahkan, tim-tim tua yang pernah merajai kompetisi Italia, seperti Genoa dan Torino, nyaris terdegradasi musim ini. Genoa bertahan di Serie A dengan finis di peringkat ke-17, adapun Torino finis di peringkat ke-16 dengan 40 poin.
Genoa lolos dramatis di tangan Pelatih Davide Nicola. Pada musim 2016-2017, Nicola juga melakukan hal serupa terhadap Crotone. Sosok Nicola kini sangat dihormati para pemain Genoa yang merasa kepercayaan dirinya terus tumbuh.
”Statistik berbicara. Kami bisa meraih 28 poin sejak pelatih (Nicola) datang,” kata kiper Genoa Mattia Perin memuji Nicola. (AFP/REUTERS)