Cristiano Ronaldo, penyerang Juventus, bukan orang pertama yang masih subur mencetak gol di Liga Italia meskipun kini memasuki usia senja. Liga itu saat ini memang dikenal sebagai "surganya" para penyerang veteran.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
Munculnya penyerang Juventus, Cristiano Ronaldo (35), dalam perburuan gelar capocannoniere atau pencetak gol terbanyak di Liga Italia Serie A musim ini kian menahbiskan sepak bola Italia adalah "surga" para pemain senja. Kondisi ini tidak lepas dari gaya permainan sepak bola Italia yang cenderung lambat, sehingga menjadi "rumah" yang damai untuk pemain gaek menikmati ujung senja karirnya.
Dengan usia 35 tahun atau tergolong ujung karir pesepak bola, Ronaldo justru masih mampu mencetak 31 gol dan berada di urutan kedua daftar pencetak gol terbanyak Serie A musim ini hingga pekan ke-37. Dia hanya terpaut empat gol di bawah penyerang Lazio, Ciro Immobile, dengan 35 gol.
Pelatih Juventus Maurizio Sarri boleh saja berpendapat, performa apik Ronaldo karena fisiknya yang masih amat bugar. Bahkan, hasil tes medis menunjukkan, kondisi tubuh Ronaldo masih sangat bugar, tak ubahnya pemain berusia 25 tahun. ”Dia sangat termotivasi dan antusias ingin bermain. Dia merasa baik karena tahu tubuhnya lebih baik daripada siapa pun,” ujar Sarri dikutip Football-Italia.
Namun, capaian Ronaldo itu bukan sesuatu yang baru di Serie-A. Tren penyerang gaek yang kembali bersinar mendekati akhir karirnya kala berkiprah di liga utama sepak bola "Negeri Pizza" itu sudah terjadi sedikitnya dua dekade terakhir. Sebelum penyerang kelahiran Madeira, Portugal, 5 Februari 1985, itu, ada Fabio Quagliarella yang menjadi pencetak gol tersubur Serie A pada musim 2018-2019 dengan total koleksi 26 gol. Kala itu, ia berusia 36 tahun.
Sedikit lebih lama, Luca Toni justru menjadi bomber tersubur Serie A 2014-2015 saat berusia 38 tahun. Bersama Mauro Icardi, ia mencetak 22 gol kala itu. Pada dekade sebelumnya, ada Alessandro Del Piero yang menjadi pencetak gol tersubur Serie A musim 2007-2008 ketika berusia 33 tahun. Sementara itu, Dario Hubner merengkuh gelar top skor Serie A 2001-2002 ketika berusia 35 tahun.
Fenomena itu kemungkinan besar terkait budaya sepak bola Italia. Selama ini, ritme permainan sepak bola di negara itu dikenal lambat. Faktor itu membuat pemain tua lebih mudah beradaptasi dengan pola permainan yang ada. Tak bisa dipungkiri, dengan bertambahnya usia, pergerakan atlet akan semakin menurun.
Seni peran
Penulis Sam Griswold, dalam tulisannya berjudul "Kenapa Sepak Bola Italia Tidak Sesuai dengan Bahasa Inggris" yang dikutip The Guardian, 25 Januari 2018, menerangkan, sepak bola merupakan drama atau seni pertunjukan di atas lapangan hijau. Setidaknya, dalam bahasa Italia, pemain tidak memainkan posisi, melainkan peran. Itulah kenapa playmaker disebut ragista atau sutradara.
Pemain yang bertukar operan atau saling mengumpan disebut sedang berdialog. Gol tidak dicetak, melainkan dirangkai.
Pemain yang bertukar operan atau saling mengumpan disebut sedang berdialog. Gol tidak dicetak, melainkan "dirangkai". Pemain yang sedang beraksi atau paling menonjol dipanggil protagonista. Maka itu, pemain kreatif yang begitu dipuja juga dipanggil dengan sebutan fantasia. Pemain-pemain legenda, seperti Roberto Baggio, lantas dianggap maestro.
Meski sulit menyimpulkan gaya bahasa atau istilah-istilah yang muncul tersebut mencerminkan gaya permainan, setidaknya itu cukup menggambarkan sepak bola Italia tak melulu mengejar gol atau kemenangan, melainkan juga kualitas pertunjukkan atau proses permainan. Tak pelak, tempo laga di Liga Italia jauh lebih lambat.
Sepak bola Italia kian mendapat stereotipe lambat sejak demam pola catenaccio atau pertahanan gerendel di era 1960-an. Taktik "parkir bus" itu memicu tim harus bermain taktis, sabar membangun permainan dari belakang, sembari melihat celah untuk mencetak skor.
Faktor iklim
Pelatih legendaris asal Italia, Fabio Capello, menilai, gaya bermain juga dipengaruhi oleh iklim. Semakin hangat suatu negara maka semakin banyak waktu untuk berlatih strategi. Italia cenderung lebih hangat dibanding negara Eropa lainnya, seperti Inggris.
”Saya melatih pemain muda Skotlandia dan ingin mengajarkan hal yang sama seperti di Italia. Tapi, saya menyadari angin, hujan, dan dingin di sana tidak memungkinkan untuk melakukan cara yang sama seperti di Italia,” katanya dikutip Pandit Football, 15 Juni 2014.
Tak dipungkiri, faktor ekonomi juga yang membuat klub-klub Italia terpaksa memakai jasa pemain gaek hingga pengujung karirnya. Kalau pun punya pemain berkualitas yang masih muda, biasanya pemain itu tidak bertahan lama. Mereka harus dijual untuk membantu ekonomi klub masing-masing.
Sebagian besar, pemain muda itu diboyong tim-tim kaya raya di Liga Primer Inggris atau La Liga Spanyol. Situasi ini terjadi setidaknya dua dekade terakhir sehingga sepak bola Italia yang di era 1980-1990-an dianggap sebagai terbaik di Eropa, kini justru turun dan disalip liga lainnya, seperti Liga Inggris dan Spanyol.
”Bertahun-tahun yang lalu, ketika sepak bola Italia lebih kaya, sulit membayangkan klub menjual bintang-bintangnya. Sekarang, situasinya berbeda sehingga klub harus menjual beberapa pemain bernilai tinggi,” tutur pelatih legendaris Italia, Arrigo Sacchi, dikutip Bleacher Report, 30 Maret 2009.
Di Serie A bahkan tercatat ada 20 pemain yang bisa eksis hingga usia di atas 40 tahun. Mereka antara lain penjaga gawang Marco Ballota yang bermain hingga usia 44 tahun 38 hari, Gianluigi Buffon yang masih aktif bermain sampai usia 42 tahun 183 hari, atau gelandang Francesco Totti yang pensiun di usia 40 tahun 243 hari.
Terlepas dari itu, performa apik pemain gaek di sepak bola Italia bukan aji mumpung semata. Kehadiran mereka membuktikan pula bahwa kedisplinan menjaga kebugaran dan kemampuan merupakan kunci utama pesepak bola jika ingin punya karir yang panjang.