Momen Pertama di Panggung Olahraga Terbesar
Bersaing di ajang Olimpiade bukan hal mudah, apalagi saat menjalani debut. Tak semua dari mereka yang akhirnya menjadi bintang, mengawali penampilan dalam panggung persaingan terbesar olahraga itu dengan sukses.
Bintang olahraga dunia memiliki pengalaman berbeda saat pertama kali tampil di Olimpiade. Pesenam Amerika Serikat, Simone Biles, adalah salah satu bintang olahraga yang menjani debut Olimpiade dengan sukses.
Sebagai salah satu dari lima pesenam putri AS untuk Olimpiade Rio de Janeiro 2016, Biles sebenarnya bukan bintang baru di arena senam. Dia datang ke Rio sebagai pemegang 10 gelar juara dunia. Namun, tampil di Olimpiade tetap memiliki makna lebih bagi pesenam yang saat ini berusia 23 tahun tersebut.
Di Rio 2016, pesenam dengan tinggi 142 sentimeter, berotot kekar tetapi lentur itu, meraih empat emas dan satu perunggu. Dia mengikuti jejak atlet putri senegaranya, perenang Katie Ledecky dan Missy Franklin, yang meraih lima medali dalam satu Olimpiade, masing-masing di Rio 2016 dan London 2012.
”Di luar dugaan dan sulit dipercaya apa yang didapat pada Olimpiade pertamaku. Aku sangat bangga. Entahlah, tetapi rasanya gila juga,” ujar Biles yang mendapat ucapan selamat dari legenda senam Romania, Nadia Comaneci, atas pencapaian itu.
Comaneci adalah pesenam pertama yang mendapat nilai 10 pada Olimpiade di Montreal 1976. Dengan hasil di Rio itu, Biles pun disebut-sebut akan menggantikan Comaneci sebagai pesenam terbaik.
Dalam wawancara secara langsung pada akun Instagram Olimpiade, akhir pekan lalu, Biles mengungkapkan antusiasmenya untuk tampil di Tokyo 2020 meski ajang ini mundur menjadi 23 Juli-8 Agustus 2021. Dia pun memulai kembali program latihannya sejak tujuh pekan terkahir.
”Prosesnya dimulai lagi dari awal. Senang rasanya punya target yang dituju dalam waktu setahun lagi,” katanya. Pesenam berusia 23 tahun itu menjadi salah satu atlet elite yang diundang mengisi program wawancara secara langsung untuk menandai satu tahun menuju Olimpiade (#1YearToGo).
Dimulai dengan kegagalan
Perjalanan berbeda dialami Michael Phelps, perenang AS yang akhirnya tercatat sebagai Olimpian dengan perolehan emas terbanyak. Sebelum mengumpulkan 23 emas dari empat Olimpiade (2004-2016), Phelps menjalani debut dengan kegagalan.
Di Sydney 2000, dia hanya finis pada urutan kelima final 200 meter gaya kupu-kupu. ”Saya sangat kecewa dengan penampilan saat itu. Mungkin orang menilai hebat karena saya mendapatkannya pada usia 15 tahun. Tetapi, setelah momen itu, saya tak ingin kembali ke Olimpiade hanya sebagai partisipan,” katanya dalam laman resmi Tokyo 2020.
Dengan tekad itu, saat perenang lain beristirahat selama satu hingga dua bulan setelah Olimpiade, Phelps langsung berlatih. Sebagai suntikan semangat, pelatihnya Bob Bowman mengatakan bahwa Phelps akan memecahkan rekor dunia dalam enam bulan.
Saya ingin melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan orang lain dalam olahraga. Saya ingin sesuatu yang berbeda, tidak ingin menjadi Mark Spitz yang kedua, tetapi Michael Phelps yang pertama.
Phelps mewujudkan ambisi pelatihnya itu dengan membuat rekor dunia 200 meter gaya kupu-kupu pada Kejuaraan Dunia Akuatik Fukuoka 2001. Sejak saat itu hingga pensiun setelah Rio 2016, perenang berjulukan ”Baltimore Bullet” itu membuat 39 rekor dunia (29 nomor individu dan 10 estafet).
”Saya ingat, pada usia 15 atau 16 tahun, duduk bersama agen saya. Saya katakan, ’Saya ingin melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan orang lain dalam olahraga. Saya ingin sesuatu yang berbeda, tidak ingin menjadi Mark Spitz yang kedua, tetapi Michael Phelps yang pertama’,” katanya.
Serupa dengan Phelps, Usain Bolt yang akhirnya menjadi atlet atletik fenomenal menjalani kesempatan pertama bersaing di Olimpiade dengan kekecewaan. Tampil di Athena 2004 dengan kepercayaan diri setelah menjadi juara dunia yunior 2003, pada nomor lari 200 m, Bolt justru bagai mendapat tamparan ketika bersaing di Athena.
Dia tersingkir pada babak penyisihan karena hanya finis kelima pada nomor 200 m. Bolt terganggu cedera kaki yang membuatnya tak tampil dalam Kejuaraan Dunia Yunior Atletik 2004, sebulan sebelum Olimpiade.
Namun, setelah itu, atlet yang selalu bergaya memanah ke langit setelah juara itu tak terhenti. Selalu tampil pada tiga nomor (100, 200, dan 4x100 m) di Beijing 2008, London 2012, dan Rio 2016, Bolt selalu mendapat emas. Namun, emas estafetnya dari Beijing 2008 dicabut karena kasus doping yang menimpa rekannya, Nesa Carter.
Emas bulu tangkis
Momen pertama bintang bulu tangkis Indonesia, Hendra Setiawan, tampil di Olimpiade datang pada Beijing 2008. Sebagai ganda terbaik dunia bersama Markis Kido sejak setahun sebelumnya, mereka pun diandalkan berdiri di podium tertinggi di Beijing University of Technology Gymnasium, tempat berlangsungnya persaingan para pebulu tangkis.
Apalagi, kesuksesan ganda putra Indonesia di Olimpiade telah dirintis Ricky Soebagdja/Rexy Mainaky yang mendapat emas di Atlanta 1996 dan diteruskan oleh Candra Wijaya/Tony Gunawan di Sydney 2000. Adapun di Athena 2004, Flandy Limpele/Eng Hian mempersembahkan medali perunggu.
Tony, yang menjadi juara dunia 2001 (bersama Halim Haryanto) dan 2005 (membela AS bersama Howard Bach), adalah idola Hendra. Kecepatan dan kepiawaian Tony sebagai pengatur permainan, juga penuntas serangan, menjadi sumber inspirasi Hendra.
Namun, kesempatan pertama Hendra tampil di Olimpiade diwarnai kekhawatiran. Sebelum bertolak ke Beijing, dia mengalami cedera pergelangan kaki kiri. Dokter mengharuskannya istirahat. Namun, Hendra memilih tetap berlatih yang tak membahayakan kondisinya, yaitu lebih banyak melatih kekuatan tangan.
Penampilan Kido/Hendra juga menurun, justru di saat Olimpiade kian dekat. Mengawali 2008 dengan menjuarai Malaysia Super Series, mereka tersingkir pada babak pertama All England dan Singapura Terbuka. Dalam situasi seperti ini, dukungan keluarga menjadi faktor terpenting.
Di lapangan, hasil undian menempatkan Kido/Hendra dengan Koo Kien Keat/Tan Boon Heong (Malaysia) pada satu bagian dan membuka skenario pertemuan pada pertandingan kedua (perempat final). Koo/Tan sebelum itu menjadi satu-satunya pasangan top dunia yang tak bisa dikalahkan Kido/Hendra.
Ketika kemenangan diraih dalam dua gim langsung, 21-16, 21-18, beban selalu kalah dari Koo/Tan sejak 2006 pun lepas. Karena merayakan kemenangan dengan berpelukan bersama pelatih Sigit Pamungkas, Kido/Hendra pun tak sempat bersalaman dengan Koo/Tan seusai pertandingan.
Debut Kido/Hendra—Beijing 2008 akhirnya menjadi satu-satunya penampilan Kido di Olimpiade—ditutup dengan medali emas. Di hadapan penonton yang mendukung pasangan tuan rumah di final, Fu Haifeng/Cai Yun, Kido/Hendra menang.
Senior Hendra, Susy Susanti, membawa tanggung jawab yang lebih besar ketika tampil di Barcelona 1992. Dia dan rekan-rekannya di tim bulu tangkis Indonesia, ketika itu, menjadi pembuka harapan bagi prestasi Indonesia di kancah Olimpiade. Hanya cabang bulu tangkis yang bisa diandalkan untuk itu. Setelah dipertandingkan sebagai cabang ekshibisi di Seoul 1988, bulu tangkis menjadi cabang resmi, empat tahun kemudian.
Seperti pernah diceritakan Susy, ketegangan dirasakan sejak memasuki perkampungan atlet. Susy merasa ”kecil” karena berada di sekitar atlet top dunia dari negara besar.
Tak ada yang mengenal Susy meski dia sangat populer di arena bulu tangkis dunia. Yang membuat Susy miris adalah tak ada yang mengenal Indonesia. ”Mereka selalu bertanya, Indonesia ada di sebelah mana Bali. Karena tidak tahu Indonesia, ada yang menolak saat diajak bertukar pin,” kata Susy.
Situasi berubah setelah dia menjadi atlet pertama Indonesia yang membuat lagu ”Indonesia Raya” berkumandang dalam pesta olahraga terbesar di dunia itu. Banyak orang mulai mengenalnya, juga mengenal Indonesia. Semangat untuk mengalahkan Bang So-hyun (Korea Selatan) di final terpicu dengan kebosanan Susy mendengar lagu kebangsaan negara lain saat upacara penyerahan medali.
Beban berat bagai terlepas dari pundaknya ketika emas diraih, apalagi, itu terjadi ketika bulu tangkis baru dipertandingkan secara resmi di Olimpiade.