Ferrari, tim tersukses di Formula 1, sedang mengalami krisis. Mereka tertinggal dari Mercedes serta Red Bull. Tim asal Italia itu kini fokus membangun fondasi untuk memulai siklus kemenangan mulai 2022.
Oleh
AGUNG SETYAHADI
·4 menit baca
MARANELLO, SELASA — Ferrari terjebak dalam bayang-bayang kesuksesannya di ajang Formula 1. Tim prestisius berjuluk ”Kuda Jingkrak” itu seolah tak boleh terpuruk karena memiliki rekor istimewa, yaitu 15 kali gelar juara dunia pebalap dan 16 kali gelar konstruktor.
Namun, dominasi tim asal Italia itu terus meredup di era mesin V6 turbo hibrida sejak 2014. Musim ini menjadi titik terendah Ferrari sehingga mereka tidak berharap meraih gelar juara hingga musim 2022.
Ferrari seolah sudah melepas musim 2020 dan 2021 karena mereka memiliki masalah yang sulit diselesaikan dalam kondisi pembekuan pengembangan mesin. Pandemi Covid-19 memaksa semua tim melakukan penghematan dan mesin 2020 akan dipakai lagi pada 2021.
Meskipun ada celah perbaikan melalui sistem token yang diterapkan FIA, Ferrari akan sulit mengatasi ketertinggalan dari Mercedes dan Red Bull. Bahkan, dengan tim lain yang memakai mesin Mercedes, khususnya Racing Point, mereka juga kesulitan bersaing.
Tim Kuda Jingkrak pun fokus mempersiapkan musim 2022 saat F1 akan menerapkan peraturan baru yang membuat persaingan menjadi lebih ketat. Ini menjadi peluang Ferrari untuk kembali mendominasi Formula 1.
Langkah awal yang dilakukan adalah merestrukturisasi departemen teknik untuk menyelamatkan musim ini sekaligus meletakkan fondasi untuk musim 2022. Jika langkah itu tidak dilakukan, Ferrari berpotensi semakin terpuruk pada musim 2021.
Keterpurukan Ferrari di ajang Formula 1 ini diakui oleh bos besar Ferrari, John Elkann, dalam wawancara dengan media Italia, La Gazetta dello Sport, Selasa (28/7/2020). Kepala perusahaan Ferrari itu bahkan menegaskan tidak berharap meraih gelar juara hingga 2022. Namun, dia tetap memberi kepercayaan kepada Kepala Tim Ferrari F1 Mattia Binotto untuk membangun tim yang mampu menjadi juara dunia.
”Hari ini, kami meletakkan fondasi untuk menjadi kompetitif dan kembali ke kemenangan saat perubahan aturan pada 2022. Saya yakin dengan itu,” kata Elkann.
Namun, dia juga masih sangat yakin Binotto bisa mengembalikan kejayaan Ferrari. ”Percaya sepenuhnya. Mattia Binotto, yang telah memimpin Scuderia selama setahun, memiliki semua kemampuan dan karakteristik untuk memulai siklus kemenangan baru. Dia telah di Ferrari bersama (Jean) Todt dan (Michael) Schumacher. Dia tahu cara untuk menang. Mulai tahun depan, dia akan bekerja dengan dua pebalap muda dan ambisius seperti kami,” lanjut bos berusia 44 tahun itu.
Ferrari sudah terlalu lama menunggu gelar juara, baik pebalap maupun konstruktor. Gelar juara pebalap terakhir kali diraih pada 2007 melalui Kimi Raikkonen. Sementara gelar konstruktor terakhir diperoleh pada 2008. Ini sangat kontras dengan masa kejayaan mereka di era Schumacher yang meraih lima gelar juara beruntun pada 2000-2004.
Jalan panjang menanti kami. Ketika Todt memulai siklus bersejarah itu pada 2000, kami datang dari puasa (gelar) yang berlangsung lebih dari 20 tahun, sejak 1979.
”Jalan panjang menanti kami. Ketika Todt memulai siklus bersejarah itu pada 2000, kami datang dari puasa (gelar) yang berlangsung lebih dari 20 tahun, sejak 1979,” ujar Elkann.
Ferrari juga pernah mengalami puasa gelar yang panjang pada era 1990-an. Setelah pebalap kelahiran Afrika Selatan, Jody Scheckter, meraih gelar juara pada 1979, Ferrari hanya menjadi penonton di era dominasi McLaren, Williams, dan Benetton saat itu.
”Ini membutuhkan waktu, mulai dia (Todt) datang pada 1993 hingga dia membawa Ferrari kembali ke kemenangan. Hal yang terpenting adalah bekerja di dalam dan di luar trek, menciptakan kohesi dan stabilitas, dan membangun Ferrari yang kita inginkan selangkah demi selangkah,” lanjut Elkann.
Jalan panjang itu sangat jelas terbentang di hadapan Ferrari. Hal itu terlihat dari posisi mereka saat ini di klasemen konstruktor, yaitu peringkat kelima, dengan selisih 94 poin dari Mercedes di puncak. Sementara posisi pebalap mereka yang paling tinggi adalah Charles Leclerc. Ia berada di posisi ketujuh dengan selisih 45 poin dari pemuncak klasemen yang merupakan pebalap Mercedes, Lewis Hamilton.
Elkann pun mengakui bahwa musim buruk ini terjadi akibat ada sejumlah kelemahan dalam pengembangan mesin. ”Kami memiliki serangkaian kelemahan struktural yang telah ada selama beberapa waktu dalam hal aerodinamika dan dinamika kendaraan. Kami juga kehilangan tenaga mesin. Kenyataannya adalah mobil kami tidak kompetitif. Anda melihat itu di trek dan Anda akan melihat itu lagi,” ucapnya.
”Kami harus realistis dan menyadari adanya kelemahan-kelemahan struktural yang telah kami jalani selama satu dekade dan semakin ditegaskan dengan transisi ke (mesin) hibrida,” lanjut Elkann.
Jadi tantangan
Dia berharap Ferrari akan kembali kompetitif pada 2022 dengan adanya aturan baru F1. ”Kami telah menyepakati aturan baru yang akan bergulir mulai 2022 karena kami yakin ini sesuatu yang benar. Ada daya saing yang lebih besar dalam F1. Kami tidak melihat pembatasan anggaran sebagai penghambat kemampuan kami untuk menang. Kami menjadikan itu sebagai tantangan,” tutur Elkann.
”Para ahli mesin, mekanik, dan para pebalap kami akan menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ikatan itu untuk mengangkat Ferrari kembali. Secara pribadi, saya tidak pernah melihat, dalam 10 tahun terakhir, kesatuan dan semangat yang kuat seperti saat ini,” katanya.
Dia mengakui semua kondisi Ferrari dengan jujur supaya para penggemar tim Kuda Jingkrak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Transparansi itu juga untuk membuat mereka tahu apa rencana Ferrari ke depan.
”Para penggemar sangat menderita, sama seperti kami, tetapi kami tahu, mereka dekat dengan kami. Inilah mengapa penting untuk jujur dan transparan kepada mereka. Jalan yang panjang menanti kami,” pungkas Elkann.