Pemain sepak bola dalam posisi lemah ketika mendapatkan perundungan dari para penonton atau publik. Bagi gelandang Tottenham Hotspur, Eric Dier, masalah ini masih sering diabaikan.
Oleh
DOMINICUS HERPIN DEWANTO PUTRO
·4 menit baca
LONDON, MINGGU — Gelandang Tottenham Hotspur Eric Dier menilai budaya perundungan terhadap pemain sepak bola terus dibiarkan dan sudah menjadi masalah serius. Dalam hal ini pemain berada dalam posisi yang lemah dan Dier pernah merasakannya.
Awal Maret lalu, Spurs menjamu Norwich City pada laga babak 16 besar Piala FA musim 2019-2020. Norwich, tim yang pertama terdegradasi dari Liga Primer musim ini, berhasil menyingkirkan Spurs melalui babak adu penalti. Sang tuan rumah sangat terpukul pada malam itu.
Di antara mereka adalah Dier, yang malam itu sebenarnya ingin menenangkan hati dan melupakan kekalahan itu. Namun, seusai laga ia tiba-tiba melompat ke arah tribune penonton dan berlari ke atas melewati bangku-bangku yang kebetulan sudah kosong. Sesampainya di atas tribune, ia beradu mulut dengan salah satu penonton.
Dier dan penonton tersebut tidak sampai saling pukul karena petugas keamanan dan penonton lainnya segera melerai. Dari rekaman video insiden tersebut, tampak muka Dier sudah memerah penuh amarah.
Menurut The Guardian, salah satu saksi mata kejadian itu menyebutkan bahwa penonton tersebut memaki-maki Dier. Kebetulan adik laki-laki Dier, Patrick Dier, berada di dekat penonton tersebut. Patrick sempat melabrak penonton tersebut dan Dier melihatnya. Naluri sebagai kakak membuatnya tidak bisa diam dan ingin melindungi adiknya.
Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) juga membenarkan hal itu setelah melihat sejumlah video rekaman yang diambil dari beberapa sudut. Setelah mempelajari kejadian itu, FA pada awal Juli lalu memberi sanksi larangan tampil selama empat laga dan denda 40.000 pounds (sekitar Rp 750 juta).
FA menyebut Dier telah melanggar salah satu aturan FA Nomor E3 Ayat 1. Dier dianggap melakukan tindakan yang tidak pantas dan mengeluarkan ancaman kepada orang lain. Setelah dijatuhi hukuman itu, Dier menerima, tetapi tetap membantah telah mengancam orang lain (penonton yang bersangkutan).
Dier lalu tidak bisa tampil ketika Spurs menghadapi Bournemouth, Arsenal, Newcastle United, dan Leicester City. Ia baru diperbolehkan tampil ketika Spurs menjalani laga terakhir musim ini melawan Crystal Palace, Minggu (26/7/2020).
Sebelum laga terakhir itu, Dier pun buka suara dan berharap budaya perundungan terhadap pemain itu segera ditangani secara serius. Jika dibiarkan, pemain akan menghadapi situasi yang sangat sulit karena harus bisa menahan emosi dalam keadaan apa pun, sedangkan penonton bebas merundung para pemain. Sanksi akan menunggu pemain jika gagal menahan emosi.
”Saya tidak punya masalah dengan seseorang yang mengkritik kemampuan saya bermain bola. Namun, ketika kritik itu tidak lagi berkaitan dengan sepak bola, itu adalah masalah besar,” ujar Dier.
Manajer Spurs Jose Mourinho, pada waktu itu, mencoba melihat persoalan secara obyektif. Ia melihat apa yang dilakukan Dier adalah sebuah kesalahan, tetapi ia sangat memahami yang dirasakan Dier.
”Saya tidak setuju jika klub memberi sanksi disiplin terhadap Dier, tetapi apa yang dia lakukan memang salah,” ujar Mourinho dikutip ESPN.
Tendangan Cantona
Permasalahan yang hampir sama sudah pernah terjadi sekitar 25 tahun yang lalu oleh Eric yang lain, tepatnya 25 Januari 1995 di Stadion Sellhurst Park. Laga antara Manchester United dan Crystal Palace itu diwarnai insiden bersejarah, yaitu tendangan kungfu yang dilakukan penyerang MU Eric Cantona.
Pada laga itu, Cantona diganjar kartu merah dan sedang berjalan ke kamar ganti. Namun, ada seorang penonton, yaitu Matthew Simmons, yang mengeluarkan kata-kata kasar kepadanya. Tanpa pikir panjang, Cantona langsung mengarahkan tendangan kungfu ke dada Simmons.
Setelah itu Cantona tidak diperbolehkan tampil selama 9 bulan dan nyaris dihukum penjara selama dua pekan. Tindakannya memang melanggar hukum, tetapi pengajuan banding Cantona pada akhirnya dikabulkan. Pemain berjuluk ”Sang Raja” itu hanya dikenai sanksi kerja sosial sebagai pengganti hukuman penjara.
Pro dan kontra terus bermunculan setelah insiden itu. Banyak yang mengecam tindakan itu karena sepak bola adalah hiburan yang ditonton keluarga. Pemain adalah panutan dan banyak anak-anak yang menonton sepak bola.
Di sisi lain, ada yang mendukung aksi Cantona dan bahkan merasa iri, seperti mantan pemain Arsenal dan Crystal Palace, Ian Wright. Sebagai pemain, Wright mengaku sering mendapat perlakuan kasar atau cercaan yang berbau rasial. Namun, ia tidak memiliki keberanian seperti yang dimiliki Cantona.
”Saya benar-benar merasa iri,” ujar Wright seperti dikutip The Sun.
Setelah 25 tahun sejak kasus Cantona, Dier merasakan bahwa penonton masih bisa seenaknya menyerang pemain di lapangan dengan kata-kata yang kasar. Hinaan yang berbau rasial pun masih kerap dilontarkan para penonton sehingga penyerang Manchester City, Raheem Sterling, semakin giat melakukan kampanye melawan rasisme.
Dier hanya bisa mengatakan bahwa sudah terjadi kerusakan di dalam masyarakat. Kerusakan itu semakin parah berkat peran media sosial, ketika para pemain tidak hanya mengalami perundungan di lapangan, tetapi juga di dunia maya. (REUTERS)