Menapaki Upaya Kembali ke Standar Kompetisi
Mola TV PBSI Home Tournament ibarat oase di tengah kevakuman kompetisi bulu tangkis dunia akibat pandemi Covid-19. Turnamen itu menjaga kondisi dan motivasi para atlet nasional di tengah situasi sulit.
Bisa berlatih dengan fasilitas lengkap dan bahkan mengikuti turnamen pada masa pandemi Covid-19 menjadi keuntungan bagi atlet pelatnas bulu tangkis Indonesia. Penampilan dalam turnamen internal, selama sebulan terakhir, menjadi tolok ukur untuk mencapai standar yang dibutuhkan dalam persaingan level elite dunia.
Sejak turnamen bulu tangkis dihentikan seusai All England, 11-15 Maret, Anthony Sinisuka Ginting dan kawan-kawan diwajibkan tinggal di tempat latihan, pelatnas bulu tangkis Cipayung, Jakarta Timur. Mereka pun mengorbankan waktu untuk bertemu keluarga dan teman demi menjaga kesehatan dan keselamatan.
Ketika pebulu tangkis negara lain mengalami kendala dalam berlatih karena ditutupnya fasilitas latihan, tak demikian halnya dengan atlet pelatnas Cipayung. Mereka tetap berlatih meski dengan intensitas rendah hingga sedang untuk menghindari sakit agar imunitas tubuh tak menurun.
Sejak 24-26 Juni, setiap Rabu-Jumat, atlet dari setiap nomor bahkan merasakan kembali hawa kompetisi yang hilang. Atas inisiatif atlet dan pelatih, PP PBSI menggelar turnamen internal pelatnas bernama Mola TV PBSI Home Tournament.
Diasah kembali
Jiwa kompetitif, yang mutlak harus dimiliki atlet, pun diasah kembali meski ”hanya” melawan rekan latihan sehari-hari. Pemain yunior ingin menunjukkan potensi mengalahkan senior-senior mereka, sementara para senior punya semangat tak ingin dipermalukan adik-adiknya.
Dengan tekad itu, Gregoria Mariska Tunjung menjuarai nomor tunggal putri dengan mengalahkan Putri Kusuma Wardani pada final. Kemenangan itu didapat setelah Gregoria dikalahkan pemain yunior berusia 18 tahun tersebut pada penyisihan grup.
”Saya tidak mau kalah,” ujar Gregoria menegaskan kunci kemenangannya, 21-17, 21-10, Jumat (24/7/2020), dalam final itu.
Kemenangan dalam laga 34 menit itu didapat dengan lebih mudah dibandingkan ketika mereka bertemu sehari sebelumnya. Dalam penyisihan grup, Gregoria kalah, 23-25, 22-20, 11-21, selama 1 jam 20 menit dari Putri.
Dari laga melawan Putri dan pemain lain, Gregoria pun mendapat tolok ukur untuk menghadapi turnamen resmi. Direncanakan, turnamen bulu tangkis internasional dimulai kembali pada Agustus.
Akan tetapi, baru panitia kejuaraan beregu Piala Thomas dan Uber di Aarhus, Denmark, 3-11 Oktober, yang telah memberikan prospektus, yaitu detail penyelenggaraan turnamen.
Dari turnamen Mola TV PBSI selama tiga hari, Gregoria merasa kondisi fisiknya belum memenuhi standar untuk melawan pemain elite dunia. ”Fisik saya habis karena main dua kali sehari. Padahal, main dua kali sehari di sini sama seperti main sekali melawan pemain top,” ujar tunggal putri peringkat ke-21 dunia itu mengevaluasi penampilannya.
Baca juga: Tolak Ukur Menuju Turnamen Resmi
Putri, tunggal putri peringkat kelima dunia yunior, juga punya gambaran bertanding melawan pemain senior. Pemain kelahiran 20 Juli 2002 ini akan meninggalkan kompetisi di level yunior pada 2021. Sesuai peraturan Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF), turnamen yunior hanya diikuti pemain berusia di bawah 19 tahun.
Gambaran top dunia
Pemain-pemain muda ganda putra juga mendapat gambaran ketika harus berhadapan dengan pemain top dunia. Mereka beruntung karena memiliki kesempatan melawan para senior di level elite. Indonesia punya dua ganda putra terbaik dunia, yaitu Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon dan Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan.
Diberi kesempatan dengan berpasangan bersama senior oleh tim pelatih ganda putra, Leo Rolly Carnando dan kawan-kawan juga belajar menyerap cara Hendra dan kawan-kawan menghadapi tekanan dalam pertandingan.
Namun, pelatih kepala ganda putri, Eng Hian, menilai, pemain asuhannya belum memenuhi standar fisik untuk tampil kembali dalam persaingan top dunia. Dibandingkan empat nomor lain, ganda putri menjadi nomor yang paling menuntut daya tahan fisik dengan durasi pertandingan yang cenderung panjang.
Berdasarkan analisis dari kekurangan setiap atlet, Eng Hian membuat program latihan untuk dijalani atlet sebelum turnamen resmi bergulir kembali.
Faktor nonteknis
Selain fisik, faktor psikologis atlet juga diantisipasi. Ini bahkan menjadi faktor terpenting dengan kosongnya turnamen selama empat bulan terakhir. Tanpa turnamen, atlet ibarat ”menjalani hidup tanpa tujuan”.
Setiap atlet sebenarnya bisa menentukan target di tengah kekosongan turnamen, seperti mempertahankan kondisi fisik atau memperbaiki kelemahan masing-masing. Namun, tak semua bisa melakukannya sendiri tanpa dorongan dari orang lain atau situasi tertentu.
Apalagi, pandemi ini memunculkan ketidakpastikan bergulirnya kembali kompetisi meski BWF berencana memulainya kembali pada Agustus. Padahal, profesi atlet menjadikan mereka terbiasa dengan rutinitas dalam latihan, pertandingan, dan menjalani kehidupan sehari-hari. Setidaknya dua turnamen internasional dalam sebulan, menjadi penggerak mereka untuk terus memperbaiki diri.
Ketidakpastian situasi karena pandemi menghilangkan rambu yang membuat kehidupan atlet berjalan dengan sistematis.
Kesehatan mental
Mantan perenang dengan 23 medali emas Olimpiade, Michael Phelps, bahkan mengakui bahwa pandemi Covid-19 menjadi pengalaman paling menakutkan dalam hidupnya. Apalagi, dia pernah memiliki masalah dengan kesehatan mental.
Ketidakpastian situasi menjadi kecemasan Phelps. Dia pun berjuang mengatasinya dengan selalu aktif bergerak sejak bangun tidur, salah satunya dengan berolahraga.
Sehari saja melewatkan olahraga akan seperti bencana. Selalu ada pikiran negatif dalam diri saya.
”Ada kalanya saya tak ingin berada di tempat latihan, tetapi saya paksakan karena saya tahu kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Sehari saja melewatkan olahraga akan seperti bencana. Selalu ada pikiran negatif dalam diri saya,” kata mantan perenang AS berjulukan ”The Flying Fish” itu.
Pandemi Covid-19 juga telah memundurkan panggung terbesar olahraga, yaitu Olimpiade Tokyo 2020 yang juga menjadi target skuad pelatnas Cipayung. Apalagi, bulu tangkis masih menjadi satu-satunya cabang andalan peraih medali emas dalam ajang empat tahunan itu. Tuntutan ini memicu tumbuhnya target mereka.
Baca juga: Fisik dan Mental Sama-Penting
Namun, pemunduran jadwal selama setahun, dari 24 Juli-9 Agustus 2020 menjadi 23 Juli-8 Agustus 2021, tidak bisa diterima semua atlet, terutama mereka yang dibatasi usia atau memiliki riwayat cedera panjang yang membatasi masa aktifnya.
Mengubur mimpi
Pebulu tangkis China, Lin Dan, misalnya, mengubur mimpi tampil pada Olimpiade kelimanya karena usia dan riwayat cedera. Akan berusia 37 tahun pada 14 Oktober 2020, Lin Dan mengundurkan diri sebagai atlet karena menyadari tak bisa bersaing lagi dengan generasi muda untuk mencapai posisi podium Olimpiade.
Eng Hian pun mengantisipasi faktor psikologis itu pada atlet ganda putri, termasuk Greysia Polii yang paling senior. Meski tak meragukan komitmen pemain berusia 32 tahun itu untuk tampil di Tokyo 2020, suasana hati dan motivasi atlet di tengah pandemi menjadi faktor krusial yang harus dipantau.
Situasi yang penuh ketidakpastian bisa memunculkan gangguan kecemasan, seperti yang dialami Phelps, hingga bisa mengganggu latihan yang seharusnya dijalani. Padahal, proses persiapan ini menjadi salah satu penentu kesuksesan atlet.
Baca juga: ”Super Dan” Pun Mengucapkan Selamat Tinggal
Seperti dikatakan mantan petenis putri nomor satu dunia, Martina Hingis, menjalani masa di luar lapangan lebih sulit dibandingkan menghadapi ketatnya persaingan dalam turnamen. Mantan petenis Swiss ini dua kali kembali ke arena kompetisi setelah pensiun pada 2003 dan 2008, masing-masing karena cedera dan kasus doping.
”Bermain di Lapangan Utama Wimbledon adalah tugas mudah. Masa persiapan menuju ke sana menjadi bagian sangat sulit. Banyak upaya dan kerja keras yang harus dilakukan,” kata Hingis yang akhirnya benar-benar pensiun sebagai atlet sejak 2017.