Meskipun masih menduduki peringkat pertama di Liga Italia, Maurizio Sarri gagal memberikan penampilan dominan bagi Juventus di kompetisi domestik. Juventus beruntung karena para pesaing juga bermain inkonsisten.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·5 menit baca
TURIN, JUMAT — Sejak mendominasi kembali Liga Italia pada musim 2011/2012, Juventus menyentuh catatan terburuk di musim ini. Meskipun hanya membutuhkan tiga poin dari tiga laga tersisa untuk meraih scudetto, perjalanan ”Si Nyonya Besar” pada musim 2019/2020 mengisyaratkan kekuasaan Juventus di ”Negeri Piza” tengah memasuki masa senja.
Dalam sembilan musim terakhir, Juventus telah melakukan tiga kali pergantian pelatih. Dimulai era Antonio Conte yang mengembalikan kejayaan Juventus untuk meraih scudetto di musim 2011/2012 setelah diterpa skandal Calciopoli pada 2006. Pada musim 2014/2015 giliran Massimiliano Allegri memimpin Si Nyonya Besar untuk melanjutkan dominasi di Italia hingga musim 2018/2019.
Di musim ini, Presiden Juventus Andrea Agnelli memercayakan estafet pelatih kepada Maurizio Sarri. Hingga pekan ke-35, Juventus memang masih memimpin klasemen dengan keunggulan enam poin atas Atalanta di posisi kedua. Kondisi itu membuat Juventus hanya membutuhkan satu poin untuk meraih gelar scudetto kesembilan secara beruntun.
Namun, capaian ”Si Putih Hitam” bersama Sarri tidak secemerlang di musim perdana Conte dan Allegri. Di musim 2011/2012, Juventus menjadi tim yang paling sedikit kebobolan dengan 20 gol dan tidak terkalahkan dalam 38 laga. Sementara itu, pada musim 2014/2015, Juventus menghasilkan gol terbanyak dengan 72 gol sekaligus memiliki pertahanan terkokoh dengan hanya kebobolan 24 kali. Si Nyonya Besar juga hanya mengalami kekalahan paling sedikit karena hanya tiga kali gagal meraih poin.
Di era Sarri, hingga laga ke-35, tidak ada catatan istimewa yang dihasilkan Juventus. Juventus gagal menyamai produktivitas gol yang dihasilkan Atalanta di musim ini dengan 95 gol, sedangkan Juventus hanya mampu mencetak 73 gol atau urutan ketiga di liga. Dari sisi pertahanan, Juventus, yang telah kemasukan 38 gol, hanya berada di peringkat kedua sebagai tim dengan pertahanan terbaik. Predikat tim dengan pertahanan terbaik dipegang Inter Milan dengan hanya 36 kali kebobolan.
Kemudian, musim ini Juventus menderita jumlah kekalahan terbanyak sejak musim 2011/2012. Juventus lima kali tumbang ketika menjalani laga tandang kontra Hellas Verona, Lazio, Napoli, AC Milan, dan Udinese. Kekalahan 1-2 dari Udinese, Jumat (24/7/2020) dini hari WIB, tidak hanya mengakhiri catatan kemenangan di markas Udinese, Stadion Dacia Arena, dalam satu dekade terakhir, tetapi juga menunda pesta scudetto Juventus.
Dalam analisis kolom Serie A di koran Italia, Corriere dello Sport, edisi Jumat, Alberto Dalla Palma menilai Juventus di era Sarri adalah tim terburuk dalam sembilan musim terakhir. Juventus kehilangan identitas sebagai tim yang bermain efektif sekaligus memiliki pertahanan kokoh.
”Andai Juventus berhasil meraih scudetto kesembilan beruntun, prestasi itu tidak murni dimenangi oleh kekuatan dan kualitas Juventus, tetapi disebabkan oleh ’hadiah’ yang diberikan para rival yang gagal menghadirkan persaingan yang kompetitif,” tulis Palma.
Menurut legenda Juventus, Alessio Tacchinardi, buruknya penampilan Juventus saat ini tidak bisa hanya dibebankan kepada Sarri. Tacchinardi menganggap para pemain Juventus juga gagal menampilkan permainan yang diinginkan Sarri. Ia menjelaskan, Sarri selalu menuntut tim bermain dengan zona pertahanan tinggi, sedangkan di masa Allegri, Juventus bermain lambat untuk mengontrol permainan dan akan bermain lebih dalam untuk menjaga keunggulan.
”Ketika tim bermain seperti keinginan Sarri, mereka bisa mengalahkan tim mana pun. Namun, ketika pemain menurunkan tempo dan tidak dalam kondisi terbaik, pola itu menjadi bencana,” kata Tacchinardi yang membela Si Nyonya Besar periode 1994-2007.
Perubahan pesaing
Penurunan tekanan kepada Juventus di musim ini tidak lepas pula dari perubahan peta persaingan di papan atas Liga Italia. Di delapan musim terakhir, Juventus hanya memiliki tiga pesaing, yaitu Napoli yang sempat menyaingi selama empat musim, lalu AS Roma yang memberikan persaingan di tiga musim, serta AC Milan yang sempat mencoba mengganggu dominasi Juventus di musim 2011/2012.
Namun, di musim ini, ketiga tim itu hanya memperebutkan posisi di zona Liga Europa. Alhasil, para pesaing Juventus di musim ini adalah tim ”baru” dalam persaingan scudetto. Atalanta, Inter, dan Lazio belum pernah menduduki peringkat kedua dalam sembilan musim terakhir.
Pada musim lalu, Atalanta mulai bersaing di posisi empat besar dengan menduduki peringkat ketiga. Kala itu, Atalanta mengumpulkan 69 poin dan berjarak 10 poin dari Napoli yang menduduki peringkat kedua. Adapun Juventus yang meraih juara mengemas 90 poin.
Sarri menuturkan, persaingan yang tidak biasa di Liga Italia musim ini tidak lepas dari kondisi kompetisi pascajeda kompetisi di masa pandemi Covid-19. Dengan memainkan laga setiap tiga hari, tambah Sarri, mayoritas tim kesulitan menemukan konsistensi di setiap laga. Dari sembilan laga di era pandemi, Juventus hanya meraih lima kemenangan, dua kekalahan, dan dua hasil imbang.
”Pertandingan setelah masa kuncitara sangat aneh. Keinginan kami untuk terus menang mengakibatkan kami kelelahan secara mental dan fisik. Namun, kami harus cepat mempelajari kondisi kompetisi saat ini untuk kembali ke bentuk terbaik,” ucap Sarri.
Juventus harus meraih kemenangan atas Sampdoria, Senin (27/7/2020) pukul 02.45 WIB, untuk mengunci scudetto. Di tiga laga tersisa, Juventus akan menghadapi Sampdoria, Cagliari, dan AS Roma.
Sementara itu, Inter akan menjalani laga pekan ke-36 dengan bertandang ke markas Genoa, Stadion Luigi Ferraris, Minggu (26/7/2020) pukul 00.30. ”Si Ular Besar” perlu meraih kemenangan untuk memperkecil jarak poin dengan Juventus sekaligus bersaing dengan Atalanta untuk minimal memperebutkan peringkat kedua. Inter telah mengumpulkan 73 poin sehingga berjarak tujuh poin dari Juventus yang memiliki 80 poin.
”Kami akan fokus untuk meraih kemenangan atas Genoa dan menyapu bersih tiga laga akhir dengan meraih tiga poin. Kami berambisi mengakhiri musim dengan posisi setinggi mungkin di klasemen karena kostum (Inter) ini pantas mendapatkan hasil yang baik,” tutur bek Inter, Diego Godin, kepada Inter TV. (AFP/AP)