Zinedine Zidane, ”Magnet” Trofi Real Madrid
Banyak pelatih sepak bola yang membutuhkan waktu bertahun-tahun dalam kariernya untuk bisa menyabet satu trofi. Namun, hanya Zinedine Zidane (48) yang mampu mengumpulkan 11 trofi untuk Real Madrid selama empat tahun.
Banyak pelatih sepak bola yang membutuhkan waktu bertahun-tahun dalam kariernya untuk bisa menyabet satu trofi. Namun, hanya Zinedine Zidane (48) yang mampu mengumpulkan 11 trofi untuk Real Madrid dalam waktu empat tahun. Jika diambil rata-rata, Zidane meraih satu trofi setiap memainkan 19 laga.
Sejak menjadi pelatih Real Madrid pada 4 Januari 2016, Zinedine Zidane seolah menjadi magnet yang mampu menarik trofi di kompetisi utama untuk masuk ke lemari klub. Dengan 11 raihan trofi yang telah dikoleksinya, ia mulai disejajarkan dengan pelatih legendaris Real era tahun 1960-an, Miguel Munoz, yang saat ini masih tercatat sebagai pelatih tersukses di Real dengan 14 trofi.
Koleksi trofi Munoz masih lebih banyak, tetapi Zidane mampu mengumpulkan 11 trofi itu dalam 209 laga, sedangkan Munoz membutuhkan waktu hingga 605 laga. Zidane pun masih punya banyak waktu untuk meraih tiga trofi berikutnya dan menyamai koleksi Munoz.
Trofi ke-11 itu berasal dari Liga Spanyol dan berhasil dipeluk Zidane seusai Real mengalahkan Villarreal, 2-1, Jumat (17/7/2020) dini hari WIB. Malam itu di Stadion Alfredo Di Stefano yang sepi tanpa penonton, Real meraih gelar juara La Liga ke-34 dan sekaligus trofi La Liga kedua bagi Zidane.
Pada tahun 2018, Zidane sebenarnya sudah mencatatkan diri sebagai pelatih pertama yang bisa meraih tiga trofi Liga Champions Eropa secara beruntun. Hanya ada dua pelatih lainnya yang bisa meraih tiga trofi Liga Champions tetapi tidak beruntun seperti Zidane, yaitu Bob Paisley (Liverpool) dan Carlo Ancelotti (AC Milan dan Real Madrid).
Pencapaian spektakuler itu membuat status Zidane berubah dari pelatih minim pengalaman menjadi pelatih yang bisa menaklukkan Benua Biru. Namun, seusai kemenangan atas Villarreal itu, Zidane mengakui trofi La Liga yang ia dapatkan memberikan kebahagiaan lebih besar dibandingkan dengan tiga trofi paling bergengsi di Eropa.
”Saya (sebelumnya) selalu mengatakan kami belum memenangi apa pun, tetapi sekarang sudah. Jadi Anda bisa melihat senyum terindah saya hari ini. Kami sangat bergembira,” kata Zidane. Sayangnya, kegembiraan itu dirayakan tanpa keramaian akibat pandemi Covid-19. Para pendukung pun tidak lagi berpesta di Plaza de Cibeles seperti biasanya.
Era tanpa Ronaldo
Trofi La Liga itu tidak sekadar menegaskan Real sebagai tim dengan poin terbanyak di klasemen, tetapi juga Zidane sebagai sosok yang berhasil mengobati tim yang sedang sakit. Hal itu yang membuat Zidane sangat bahagia karena Real bisa kembali menemukan kejayaan setelah era Cristiano Ronaldo.
Tidak dimungkiri, Zidane beruntung memiliki Ronaldo sebagai mesin gol tim pada saat awal ia melatih Real. Dengan kemampuannya berkomunikasi dengan para pemain bintang, Zidane membuat Ronaldo bisa menurunkan ego dan tim menjadi lebih seimbang. Ronaldo pun berperan besar dalam merebut tiga trofi Liga Champions.
Tidak dimungkiri, Zidane beruntung memiliki Ronaldo sebagai mesin gol tim pada saat awal ia melatih Real.
Namun, Real mulai goyah ketika Ronaldo memutuskan untuk membela Juventus pada awal musim 2018-2019 dan Zidane ikut mundur sebagai pelatih pada 31 Mei 2018. Tanpa Ronaldo, produktivitas gol Real menurun dari 94 gol musim 2017-2018 menjadi 63 gol pada musim berikutnya.
Presiden Real Madrid Florentino Perez berusaha keras mencari pelatih baru untuk mengubah wajah tim yang baru. Nyatanya, tugas melatih Real sangat berat sehingga pelatih sekaliber Julen Lopetegui dan Santiago Solari gagal dan dipecat. Padahal, Lopetegui sudah berharap banyak sehingga berani mundur dari jabatannya sebagai pelatih tim nasional Spanyol demi Real.
Di tangan Lopetegui ataupun Solari, Real kehilangan identitas. Para pemain yang semula bersinar seperti Marcelo atau Karim Benzema justru meredup. Ucapan penyerang Real asal Wales, Gareth Bale, bahwa kepergian Ronaldo bakal menjadikan Real sebagai panggung baginya untuk bersinar lebih terang juga tidak terbukti. Bale bahkan lebih sering duduk di bangku cadangan.
Setelah memecat Solari, Perez kemudian membujuk Zidane, yang beristirahat tidak melatih selama satu tahun, untuk kembali ke Valdebebas, melatih Real, pada 11 Maret 2019. Setiba di Madrid, Zidane menatap tugas yang berat. Selain mencari taktik terbaik, ia perlu segera memperbaiki moral para pemain. ”Hal terpenting adalah saya sudah kembali,” ujar Zidane pada waktu itu.
Menepis keraguan
Kedatangan Zidane untuk menjadi pelatih Real pada periode keduanya ini disambut dengan keraguan dari banyak pihak. Keraguan itu semakin besar ketika Real sulit bersaing dengan dua rivalnya, Barcelona dan Atletico Madrid, yang finis di peringkat pertama dan kedua La Liga musim 2018-2019. Real dan Zidane yang baru datang finis di peringkat ketiga.
Ahmed Hossam alias Mido, mantan penyerang Ajax, Celta Vigo, dan Tottenham Hotspur, mengibaratkan hubungan seorang pelatih dan tim ibarat sebuah pernikahan. ”Jangan menikahi perempuan yang sama untuk kedua kalinya. Saya rasa Zidane tidak akan memberikan sesuatu yang baru untuk Real,” ujar Mido dikutip AS.
Namun, Zidane adalah sosok yang sudah terlatih untuk menghadapi suara-suara negatif. Sebagai anak imigran dari Aljazair yang tinggal di La Castellane, Marseille, Perancis, ia kerap dicemooh, baik di luar maupun di dalam lapangan, sejak kecil. Ia sering disebut-sebut sebagai kaum teroris.
Meski membawa Perancis juara Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000 serta menjadi pemain penting di Juventus, Zidane tetap tidak luput dari cemoohan saat bergabung sebagai pemain di Real pada 2001, seperti yang termuat dalam buku biografi Zidane karya Patrik Fort dan Jean Phillippe. Muncul cemoohan, ”Tahu tidak mengapa Zidane memakai nomor punggung 5 di Real, sedangkan di timnas Perancis memakai nomor punggung 10? Ya karena dia memakai setengah kemampuannya di Real”.
Dalam beberapa kejadian, Zidane kerap tidak bisa menahan emosi terhadap orang-orang yang menghinanya. Jika hal itu terjadi di lapangan, Zidane akan menanduknya, seperti yang ia lakukan terhadap Marco Materazzi saat Perancis bertemu Italia pada laga final Piala Dunia 2006. Momen itu pun menandai akhir karier Zidane sebagai pemain sepak bola secara tragis, yaitu diganjar kartu merah dan Perancis kalah.
Saat ini, Zidane lebih banyak berdamai dengan suara-suara yang meragukan kemampuannya. Ia dengan enteng mengatakan bahwa Real adalah tim yang sangat besar dan penting sehingga semua orang pasti akan membicarakannya, entah tentang sisi baik atau buruk. Zidane lebih percaya terhadap apa yang ia kerjakan sendiri.
Seperti ketika masih bermain untuk Juventus, Zidane merasa sudah mendapatkan segalanya kecuali trofi Liga Champions. Setelah bergabung dengan Real, ia baru mendapatkannya secara heroik pada 2002 dengan tendangan volinya saat mengalahkan Bayer Leverkusen, 2-1, di laga final.
Zidane seolah bisa mendapatkan apa saja bersama Real Madrid, baik sebagai pemain maupun pelatih. ”Apa pun yang disentuh Zidane pasti akan menjadi emas,” kata kapten Real, Sergio Ramos.
Tantangan terdekat Zidane saat ini adalah kembali menjuarai Liga Champions musim 2019-2020. Ia masih memiliki banyak kesempatan untuk membungkam mereka yang selama ini meragukannya dan terus menjadi magnet trofi bagi Real. (AP/AFP/REUTERS)
Zinedine Yazid Zidane
Lahir : La Castellane, Marseille, Perancis, 23 Juni 1972
Istri : Veronique Fernandez
Anak : 4
Karier sebagai pemain :
- Klub: AS Cannes (1989-1992), Bordeaux (1992-1996), Juventus (1996-2001), Real Madrid (2001-2006)
- Tim nasional Perancis (1994-2006)
Karier sebagai pelatih :
- Real Madrid (2016-2018, 2019-sekarang)
Prestasi sebagai pemain :
- Pemain Terbaik Dunia FIFA (1998, 2000, 2003)
- Bola Emas Piala Dunia FIFA (2006)
- Ballon d’Or (1998)
Trofi selama melatih :
- La Liga (2016-2017, 2019-2020)
- Piala Super Spanyol (2017, 2019-2020)
- Liga Champions (2015-2016, 2016-2017, 2017-2018)
- Piala Super UEFA (2016, 2017)
- Piala Dunia Antarklub (2016, 2017)
Sumber biografi: AFP/REUTERS