Perjalanan penuh luka Liverpool selama tiga dekade terakhir menawarkan inspirasi tentang harapan. Liverpool membuktikan ada kekuatan yang bisa menggandeng siapa saja untuk berjalan bersama melalui rintangan yang ada.
Oleh
DOMINICUS HERPIN DEWANTO PUTRO
·4 menit baca
LIVERPOOL, JUMAT - Liverpool bisa bersukacita merayakan gelar juara Liga Inggris yang telah dinanti selama 30 tahun, Jumat (26/6/2020). Di balik pesta semalam suntuk para pemain dan pendukung klub itu, ada kisah mengenai ketegaran dan kesabaran ”Si Merah”.
Kisah itu bermula ketika Liverpool meraih gelar juara liga pada musim 1989-1990, yaitu ketika Liga Inggris belum memakai format baru seperti saat ini. Mayoritas pemain Liverpool saat ini, seperti Mohamed Salah (28), Virgil Van Dijk (28), dan Trent Alexander-Arnold (21), belum lahir kala itu.
Setelah itu, mereka kerap terjatuh dan terluka karena peluang untuk kembali menjadi juara tiba-tiba lenyap menjelang akhir musim. Kegagalan pada musim 2018-2019, misalnya, membuktikan betapa sialnya Liverpool.
Saat itu, mereka sudah tampil fenomenal dengan mengoleksi 97 poin, tetapi dilewati Manchester City yang menjadi juara dengan keunggulan satu poin.
Namun, Liverpool memiliki manajer seperti Juergen Klopp yang sejak kedatangannya pada 2015 menyerukan misi utama untuk membuat orang-orang yang semula ragu, menjadi percaya. Kegagalan demi kegagalan dipakai sebagai cambuk untuk tampil lebih baik pada musim ini dan akhirnya berhasil.
”Pesan saya adalah (gelar juara) ini untuk Anda di luar sana. Ini sungguh untuk Anda dan saya harap Anda menikmatinya,” kata Klopp mengenai gelar juara timnya seperti dilansir laman resmi Liverpool.
Pesan ini terasa lebih universal karena Klopp tidak spesifik menyebut “Anda” sebagai pendukung Liverpool. Pesan ini bisa berlaku untuk siapa saja jika memaknai sepak bola dalam konteks yang lebih luas.
Penulis senior The Independent, Miguel Delaney, melihat kejayaan Liverpool hampir selalu berdekatan dengan tragedi di kehidupan nyata. Sebelum mereka juara pada 1990, terjadi tragedi Hillsborough yang menewaskan 96 orang ketika Liverpool berlaga kontra Nottingham Forest pada semifinal Piala FA, April 1989.
Lalu, sebelum meraih gelar juara ganda, yaitu Liga Inggris dan Piala FA pada musim 1985-1986, Eropa diguncang tragedi lainnya, kericuhan di Heysel yang melibatkan suporter Liverpool dan Juventus. Sebanyak 34 suporter tewas akibat tragedi yang terjadi pada 29 Mei 1985 silam itu.
Didahului tragedi
Tiga setengah dekade kemudian, gelar juara mereka lagi-lagi didahului tragedi besar, yaitu pandemi Covid-19. ”Pada satu sisi, kita diingatkan betapa berharganya kehidupan, dengan segala kerapuhannya. Namun, di sisi lain, kita diingatkan untuk apa kita hidup, berikut segala kesenangannya,” tulis Delaney.
Klopp, lewat pesannya serta kiprah Liverpool musim ini, seperti sedang mengajak siapa saja untuk tidak menyerah pada masa-masa sulit seperti saat ini. Hal itu persis seperti lirik You’ll Never Walk Alone, lagu mars Liverpool yang dinyanyikan Gerry and The Pacemakers. Lewat lagu itu, mereka mengingatkan, tidak ada penderitaan yang abadi karena seseorang tidak akan pernah sendirian, termasuk pada masa-masa sulit.
Ketika badai berlalu, tampaklah langit keemasan. Kami berhasil! Mimpi menjadi kenyataan.
Van Dijk juga meminjam lirik lagu itu guna mengungkapkan kebahagiannya saat ini. ”Ketika badai berlalu, tampaklah langit keemasan. Kami berhasil! Mimpi menjadi kenyataan,” tulis pemain asal Belanda itu melalui akun Twitter pribadinya.
Kegagalan bertubi-tubi ”The Reds” serta penantian tiga dekade akan trofi juara Liga Inggris menebalkan tekad dan motivasi, bukan justru menghancurkannya. Tak pelak, Liverpool mematok standar baru dengan memenangi hampir semua laga yang mereka jalani sejak awal musim hingga akhirnya bisa dikalahkan Watford, Maret lalu.
Dari 31 laga yang telah dijalani hingga saat ini, Liverpool baru kalah sekali dan dua kali imbang. Di puncak klasemen, mereka telah mengantongi 86 poin dan masih berpeluang meraih maksimal 107 poin, yaitu batasan baru yang belum pernah ditembus klub mana pun sepanjang sejarah Liga Inggris.
Ujian kesabaran
Ujian kesabaran bagi Liverpool ternyata belum usai ketika mereka bisa tampil menggila. Kompetisi sempat terhenti akibat pandemi Covid-19 pada pertengahan Maret. Saat itu, muncul wacana untuk membatalkan musim. Liverpool, yang tinggal membutuhkan dua kemenangan untuk mengunci gelar juara, mulai cemas. Siklus kesialan yang seolah-olah jadi kutukan bagi mereka dalam tiga dekade terakhir, nampak belum usai.
Apalagi, Januari lalu, Gary Lineker, legenda Everton (klub ”musuh sekota” Liverpool) berkicau hal meresahkan. Ia berkata, hanya bencana yang bisa menggagalkan Liverpool juara. Munculnya Covid-19, yang dinyatakan sebagai pandemi global pada Maret lalu, membuat ramalan Lineker nampak nyata bagi para pemain dan pendukung Liverpool, tiga bulan lalu.
Namun, api harapan mereka masih tetap menyala “(Selama kompetisi terhenti) kami harus tetap fokus, berpikir positif, dan selalu berdoa agar kami bisa kembali berlatih dan menyelesaikan musim ini,” ujar kapten Liverpool, Jordan Henderson, dikutip Liverpool Echo.
Doanya pun terkabul. Pemerintah Liga Inggris mengizinkan Liga Inggris musim kembali bergulir, 17 Juni lalu. Henderson pun mengunggah pesan di media sosial yang berbunyi, ”sekarang, Anda semua akan memercayai kami.”
Gelar juara Liga Inggris yang ke-19 ini praktis menggenapi predikat Liverpool sebagai tim terbaik dalam dua tahun terakhir. Tahun lalu, mereka menguasai Eropa dan dunia melalui trofi Liga Champions serta Piala Dunia Antarklub. Namun, tugas yang lebih sulit adalah mempertahankan gelar juara ini agar tidak lagi menunggu 30 tahun. (AP/AFP/REUTERS)