Harapan Negeri dari Sepak Bola Putri
Sepak bola putri Indonesia kini mulai menggeliat. Bahkan, beberapa pemain timbul menjadi bintang yang menyita perhatian publik. Dengan fenomena itu, sepak bola putri berpeluang populer dan jadi tren baru di masa depan.
Potensi sepak bola putri boleh jadi terwakili oleh Zahra Muzdalifah (19), penyerang timnas sepak bola putri sekaligus pemain klub Persija Putri. Pesepak bola kelahiran Jakarta, 4 April 2001, itu menjadi bintang sepak bola putri Indonesia. Dengan teknik yang mumpuni dan paras memikat, atlet bertinggi 163 sentimeter itu cepat menjadi idola baru dunia sepak bola dan olahraga nasional. Fenomenanya tak kalah dibanding bintang muda timnas putra, Egy Maulana Vikri.
Zahra, dalam bincang-bincang LKG Talks yang digelar pengelola Liga Kompas Kacang Garuda U-14, Selasa (16/6/2020), mengatakan, kemampuan pesepak bola putri di Tanah Air Indonesia tidak kalah jika dibandingkan dengan para pesepak bola dari negara lain, tidak terkecuali dari Eropa. Dia membuktikan itu ketika mengikuti uji coba di Eropa, termasuk melawan tim putri Tottenham Hotspur, tahun lalu.
Saat itu, Zahra dinyatakan lolos dan akan mulai bergabung dengan klub yang belum bisa diumumkannya kepada publik itu pada tahun ini. Namun, akibat munculnya wabah Covid-19, rencana tersebut tertunda. Ia pun harus menunggu memenuhi mimpinya berkarier di Eropa, setidaknya hingga pandemi itu berakhir.
”Ketika itu, pengamat klub bersangkutan menilai, skill saya tidak kalah dengan pemain-pemain putri Eropa. Saya juga bisa bersaing dalam kesempatan itu. Namun, kekurangan saya pada postur (tubuh). Saya dan mayoritas tubuh pesepak bola putri Indonesia kecil-kecil. Kurang berotot jika dibandingkan dengan pemain-pemain putri Eropa,” ujarnya.
Adapun Zahra pemain bertipikal cepat, sering melakukan dribling atau membawa bola penuh teknik tinggi. Di usia masih 17 tahun, dia sudah tergabung dalam timnas putri yang tampil pada Asian Games 2018 Jakarta-Palembang dan berlanjut menjadi bagian inti timnas pada SEA Games 2019 Filipina. Pada Liga 1 Putri Indonesia musim 2019 atau edisi pertama di Tanah Air, dirinya menjadi bagian dari skuad utama Persija Putri dan tampil memikat walau klubnya gagal berprestasi.
Menjanjikan
Rully Nere, pelatih timnas sepak bola putri Indonesia di SEA Games 2019 sekaligus legenda sepak bola nasional asal Papua, dihubungi dari Jakarta, Minggu (21/6/2020), menuturkan, kapasitas pemain putri Indonesia sejatinya menjanjikan. Buktinya, walau belum memiliki wadah kompetisi berkelanjutan dan permanen, para ”Srikandi Indonesia” mampu lolos dari putaran pertama kualifikasi Olimpiade Tokyo di Palestina pada 2018 silam.
Saat itu, timnas putri Indonesia duduk di peringkat kedua Grup D di bawah tim kuat, Jordania. Mereka mengumpulkan empat poin berkat kemenangan 3-1 atas Maladewa dan imbang 1-1 dengan tuan rumah Palestina. Mereka unggul produktivitas gol atas Palestina.
Sayangnya, pada putaran kedua kualifikasi Olimpiade Tokyo yang digelar di Myanmar, timnas putri Indonesia gagal melangkah lebih jauh. Mereka hanya menjadi juru kunci dari total empat peserta. Mereka selalu kalah dari tiga laga yang ada, yakni 0-2 dari India, 0-6 dari tuan rumah Myanmar, dan 1-2 dari Nepal.
”Lolos dari putaran kedua memang tidak mudah karena Indonesia bersaing dengan tim-tim yang kuat. Myanmar dan India sudah memiliki timnas putri yang lebih solid dan ada kompetisi berkelanjutan dan permanen di negaranya masing-masing. Namun, sudah bisa sampai ke putaran kedua itu sudah bagus sekali. Sebab, tim kita berisi pemain-pemain yang tidak rutin bermain dalam kompetisi. Bahkan, tidak memiliki klub sama sekali,” kata Rully kemudian.
Pesepak bola putri Indonesia memiliki keunggulan dalam kecepatan lari dan teknik mengiring ataupun mengolah bola. (Rully Nere)
Secara keseluruhan, Rully menilai, pesepak bola putri Indonesia memiliki keunggulan dalam kecepatan lari dan teknik mengiring maupun mengolah bola. Namun, pemain putri Indonesia kurang ideal dari postur tubuh dan pemahaman taktik atau strategi. Umumnya, tubuh pemain putri Indonesia tidak ramping sehingga kurang gesit atau lincah untuk menghalau ataupun melewati para pemain lawan.
Ketiadaan kompetisi
Di sisi lain, sebagian besar pemain putri Indonesia lahir dari futsal yang pola permainan dan penerapan taktik atau strateginya sangat berbeda dengan sepak bola. Butuh 3 hingga 6 bulan untuk mengubah pola bermain dari futsal ke sepak bola. ”Semua itu karena pemain putri Indonesia tidak ada kompetisi sepak bola rutin. Akibatnya, mereka tidak disiplin jaga makan ataupun mengolah tubuh. Mereka pun jadi tidak familier dengan pola bermain bola,” ucap Rully.
Kendala ketiadaan kompetisi sepak bola putri ini bukanlah hal baru, bahkan sempat menjadi fenomena global. Di sejumlah negara, sepak bola putri pernah dianaktirikan. Hal itu bahkan terjadi di negara-negara yang industri sepak bolanya maju, salah satunya Jerman. Kompetisi sepak bola putri yang resmi dan berkelanjutan di negara itu baru digelar pada awal 1970-an. Sebelum era itu, seperti ditulis Deutche Welle dalam laporannya, Desember 2019 lalu, perempuan bermain sepak bola adalah hal yang ”diharamkan”.
Menurut pandangan Federasi Sepak Bola Jerman (DFB) sebelum era itu, perempuan adalah ”alien” di dalam olahraga pertarungan dan penuh kontak fisik seperti sepak bola. Silke Rottenberg, legenda sepak bola putri Jerman yang dimasukkan ke dalam hall of fame oleh DFB beberapa waktu lalu, bahkan mengungkapkan sulitnya berkarier sebagai pesepak bola putri di negara itu.
Ia sempat dikeluarkan dari klub sepak bola putra, tempatnya mengasah sepak bola. Padahal, pada setengah abad lalu, bermain di klub putra menjadi pilihan banyak pemain putri karena tidak tersedianya klub-klub sepak bola khusus pemain putri, apalagi kompetisinya. Kini, sepak bola putri di Jerman telah melesat, yaitu menempati peringkat kedua dunia di bawah juara Piala Dunia Putri 2019 lalu, Amerika Serikat.
Pengalaman Rottenberg itu juga dialami Zahra. Pada usia kurang dari 14 tahun, ia bergabung dengan tim putra Sekolah Sepak Bola (SSB) ASIOP Apacinti untuk tampil di Liga Kompas U-14 musim 2015-2016. Zahra lantas menjadi pemain putri pertama dan satunya-satunya di Liga Kompas U-14 saat itu. Zahra mendapatkan sejumlah waktu bermain, mencetak satu gol, dan turut menghantar timnya menjadi juara di musim tersebut.
”Pengalaman bermain di LKG U-14 itu pengalaman berharga sekali. Itulah tahun terakhir saya bisa berkompetisi dengan pria. Lewat penampilan di sana, banyak mata menyorot saya sehingga turut membuat karier saya kian menanjak,” ujar Zahra kemudian.
Baca juga : Zahra Buktikan Sepak Bola Juga Milik Kaum Hawa
Inklusivitas
Diperbolehkannya Zahra bermain di Liga Kompas U-14 saat itu merupakan wujud inklusivitas dalam sepak bola. Direktur LKG U-14 Caesar Alexey mengungkapkan, ketika Zahra bermain di LKG U-14 musim 2015-2016, pihaknya ingin masyarakat Indonesia melihat bahwa pemain putri juga memiliki hak yang sama untuk tampil seperti halnya para pemain putra. Di sisi lain, kompetisi itu penting sebagai wadah pemain mengasah diri menuju timnas.
”Lewat ketekunannya, Zahra pun membuktikan bisa menjadi pemain timnas putri dan pemain profesional di Persija Putri. Semua itu bukti bahwa sepak bola putri bisa menjadi pilihan karier bagi remaja putri di masa depan,” pungkas Caesar.
Rully berharap, langkah Liga Kompas juga diikuti para pengelola kompetisi usia dini lainnya di Tanah Air. ”Kerja sama dengan swasta, seperti LKG U-14, bisa menjadi solusi jangka pendek. Apalagi, pada usia di bawah 14 tahun, pesepak bola putri dan putra masih bisa bermain bersama. Dengan itu, pesepak bola putri kita bisa menimba ilmu sejak muda sehingga lebih mudah dibentuk saat remaja ataupun senior,” kata Rully.
Namun, diakui Rully, iklim sepak bola putri Indonesia saat ini sudah lebih baik. Perhatian dari berbagai pihak, khususnya PSSI, mulai bermunculan. Hal itu salah satunya dibuktikan lewat keberadaan Liga 1 Putri yang digelar mulai tahun lalu. Para pelatih timnas pun kini lebih mudah mencari pemain untuk mengisi skuad ”Garuda Putri”.
Dia tidak lagi harus bergerilya mencari informasi mengenai keberadaan pemain putri dari satu tempat ke tempat lain, seperti ketika dirinya pertama kali menangani timnas putri pada 2015 silam.
”Dulu itu, perempuan main sepak bola masih tabu. Akibatnya, di satu kampung, belum tentu ada pemain apalagi satu tim sepak bola putri. Jadi, bisa dibayangkan betapa sulitnya mencari pemain untuk timnas putri. Kalau sekarang, terutama sejak ada Liga 1 Putri, klub sepak bola putri jadi kian banyak. Bahkan, SSB khusus putri juga sudah ada. Jadi, kami lebih mudah untuk mencari pemain untuk masuk timnas,” ujarnya.
Untuk itu, Rully berharap momentum itu bisa dijaga bahkan ditingkatkan. Dia ingin Liga 1 Putri terus dikembangkan dengan memiliki kasta-kasta di bawahnya. Kompetisi untuk pesepak bola putri yunior ataupun remaja juga patut digalakkan. Kemudian, PSSI harus lebih tegas mengatur pemain putri agar tidak berada di dua kaki lagi, yakni bermain futsal dan juga sepak bola.
Zahra pun ikut optimistis, sepak bola putri Indonesia akan semakin berkembang. Sebab, dewasa ini, animo terhadap sepak bola putri semakin tinggi. Sudah banyak perempuan yang tertarik berlatih sepak bola. ”Harapan saya, PSSI bisa lebih perhatian dan mendukung perkembangan sepak bola putri Indonesia,” ujar Zahra kemudian.
Perhatian lebih itu sangatlah penting. Lewat timnas putri, sepak bola Indonesia berkesempatan menaikkan gengsinya di mata dunia. Berdasarkan rangking FIFA, timnas putri Indonesia kini bertengger di peringkat ke-94 dari total 159 tim di dunia. Posisi ini jauh lebih baik dibandingkan dengan timnas putra Indonesia yang kini masih terjerembap di ”papan bawah”, yaitu peringkat ke-173 dari total 210 tim sejagat.