Usaha Maurizio Sarri untuk mengubah gaya bermain Juventus menghadirkan petaka. Si Nyonya Besar telah membuang peluang meraih dua gelar di musim ini,
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·6 menit baca
ROMA, KAMIS — Keputusan Presiden Juventus Andrea Agnelli menunjuk Maurizio Sarri sebagai pelatih anyar ”Si Nyonya Besar”, musim panas 2019, adalah sebuah perjudian besar. Juventus sebagai penguasa Italia sudah terlalu identik dengan tim yang berorientasi kemenangan tanpa memedulikan keindahan cara bermain, sedangkan Sarri adalah sosok revolusioner sepak bola Italia yang berani menabrak batas orientasi gaya permainan bertahan khas ”Negeri Piza”.
Selama tiga musim menangani Napoli, Sarri memberikan penyegaran bagi Liga Italia dengan gaya permainan menyerang yang disebut ”Sarrismo”. Selama menangani klub kota kelahirannya itu, Sarri menghadirkan antitesis atas ”kegilaan” Italia terhadap pertahanan kokoh dan permainan efektif yang mengutamakan hasil.
Walaupun enak ditonton, permainan menyerang ala Sarri tidak mampu memberikan satu pun gelar juara kepada Napoli. Hanya dua kali Napoli menjadi runner-up Serie A. Selama 24 tahun menjadi pelatih, Sarri baru meraih satu gelar Liga Europa bersama Chelsea musim lalu.
Kemarau gelar Sarri di Italia berlanjut setelah satu tahun menangani Juventus. Si Nyonya Besar telah dua kali bertarung di laga perebutan gelar pada musim 2019/2020. Pertama, Juventus kalah 1-3 dari Lazio di Piala Super Italia, 8 Desember. Kedua, Kamis (18/6/2020) dini hari WIB, giliran Napoli memupus impian Sarri untuk mengangkat trofi pertama di negara asalnya. Juventus tumbang dalam drama adu penalti 2-4.
Selama 90 menit berlaga, kedua tim berbagi skor imbang tanpa gol. Seiring aturan khusus di musim ini yang meniadakan babak perpanjangan waktu 2 x 15 menit, maka penentuan gelar juara Piala Italia langsung dilanjutkan adu penalti. Semua penendang penalti Napoli, yakni Lorenzo Insigne, Matteo Politano, Nikola Maksimovic, dan Arkadiusz Milik, sukses menaklukkan kiper veteran Juventus, Gianluigi Buffon. Sementara itu, dua gol Si Nyonya Besar dihasilkan Leonardo Bonucci dan Aaron Ramsey, sedangkan Paulo Dybala dan Danilo gagal menaklukkan kiper Napoli, Alex Meret.
Seusai laga, Sarri menilai, Napoli menang karena lebih baik dalam mengeksekusi penalti. Ia pun mengakui anak asuhannya tidak berada dalam kondisi kebugaran maksimal serta kehilangan sejumlah pemain, seperti Gonzalo Higuain dan Sami Khedira, yang membuat Sarri tidak bisa menerapkan pola permainan yang diinginkan.
”Hasil ini menghadirkan kekecewaan bagi pemain, klub, dan seluruh fans. Tetapi, dalam kondisi saat ini, kami tidak bisa melakukan karena kehilangan ketajaman. Selain itu, para pemain juga tidak mampu menunjukkan karakter individu yang biasa mampu memberikan perbedaan,” kata Sarri kepada RAI Sport, Kamis dini hari WIB.
Dari dua laga setelah jeda kompetisi akibat wabah Covid-19, Juventus selalu gagal mencetak gol. Raihan tanpa gol di dua pertandingan di kompetisi domestik terakhir kali dialami ”I Bianconeri” pada Oktober 2015.
Padahal, dalam laga melawan AC Milan dan Napoli, Si Nyonya Besar menguasai jalannya laga dengan memegang kendali penguasaan bola rata-rata 60 persen di dua laga itu. Kemudian, Juventus melakukan rata-rata 631 operan selama 90 menit. Tetapi, akumulasi 39 tembakan di dua pertandingan itu tidak ada satu pun yang dikonversi gol.
”Kami telah bermain sesuai dengan keinginan pelatih. Tetapi, tim dengan pertahanan kuat, seperti Napoli, selalu memberikan kesulitan karena mampu menutup ruang untuk menembak,” kata pemain sayap Juve, Juan Cuadrado.
Di sisi lain, kegagalan merebut Piala Italia juga memberikan rekor baru bagi sang bintang, Cristiano Ronaldo. Di musim ini pertama kali dalam 17 tahun karier di sepak bola profesional, ”CR7” mengalami dua kekalahan beruntun di laga final perebutan gelar juara. Ronaldo telah memainkan 27 laga final di empat klub, yaitu Sporting Lisbon, Manchester United, Real Madrid, dan Juventus, dengan memenangi 23 titel juara.
Sementara itu, Gennaro Gattuso mengubah Napoli, yang dalam empat musim terakhir identik dengan sepak bola menyerang ketika dilatih Sarri dan Carlo Ancelotti, menjadi tim yang pragmatis dan efektif. Gattuso tidak lagi menekankan para pemainnya banyak memainkan operan pendek. Ia lebih memilih Napoli bermain bertahan sepanjang laga dan ”membunuh” lawan lewat skema serangan balik.
”Saya paham ketika tiba di Napoli kondisi tim tidak baik. Oleh karena itu, saya tiba untuk memberikan semangat kepada para pemain dan seluruh individu di klub untuk rela berkorban dan bekerja keras. Gelar ini adalah hasil yang pantas mereka terima,” ujar Gattuso.
Gelar Piala Italia itu adalah titel juara perdana bagi Gattuso sebagai pelatih. Bagi ”I Partenopei”, julukan Napoli, Piala Italia musim ini adalah gelar keenam sepanjang 83 klub berdiri.
Bersama Gattuso, I Partenopei telah dua kali beruntun menumbangkan Juventus. Sebelum final Piala Italia, Napoli mengalahkan Juventus di pekan ke-21 Liga Italia dengan skor 2-1.
Tidak berjodoh
Juventus dengan permainan sepak bola indah ibarat kisah cinta yang bertepuk sebelah tangan. Sebelum Sarri, Juventus sempat dilatih Luigi Maifredi di musim 1990/1991. Maifredi hadir ke Turin dengan predikat sebagai pelatih yang memiliki skema permainan menyerang dan sepak bola indah yang disebut calcio champagne.
Kala itu, Juventus dihuni sejumlah pemain terbaik Italia berlabel tim nasional ”Gli Azzurri”. Mulai dari Stefano Tacconi, Roberto Baggio, Salvatore Schillaci, Paolo Di Canio, dan Pierluigi Casiraghi. Tetapi, Juventus puasa gelar di akhir musim. Maifredi hanya membawa anak asuhannya bertengger di peringkat ke-7 Liga Italia dan tumbang 1-5 dari Napoli di Piala Super Italia. Atas hasil buruk itu, kebersamaan Juventus dengan Maifredi hanya bertahan satu musim.
Atas hasil buruk itu, Presiden Juventus Vittorio Caisotti di Chiusano mengutuk keras filosofi sepak bola ala Maifredi. ”Juventus bukan sebuah laboratorium untuk melakukan eksperimen,” ujar Chiusano seperti dikutip majalah L’Ultimo Uomo edisi Agustus 2019.
Terkait pengalamannya menangani Si Nyonya Besar, Maifredi memberi peringatan kepada Sarri bahwa Juventus dan Napoli memiliki dua lingkungan sepak bola berbeda. Menurut dia, Napoli tanpa Diego Maradona bukanlah tim yang memiliki tradisi juara, sedangkan Juventus adalah tim yang selalu dihuni pemain besar sehingga setiap pelatih yang datang harus memberikan kemenangan.
”Di sebuah tim hebat, seperti Juventus, seorang pelatih tidak bisa memiliki ambisi yang berlebihan untuk menampilkan visi permainan sendiri, tetapi pelatih paling penting harus mampu memahami tim dan mengatur dengan baik pemainnya untuk meraih juara,” kata Maifredi kepada Radio Bianconera.
Sarri masih memiliki peluang untuk mempersembahkan dua gelar juara di musim perdananya sebagai pelatih Juventus. Hingga pekan ke-26, Juventus masih memimpin klasemen Liga Italia dengan 63 poin. Juventus akan melanjutkan petualangan mengejar gelar Liga Italia kesembilan beruntun ketika melawan Bologna, Selasa (23/6/2020) dini hari WIB. Selain itu, Si Nyonya Besar juga akan menjalani laga kedua babak 16 besar Liga Champions Eropa menghadapi Olympique Lyon, 8 Agustus, di Stadion Allianz. Pada pertemuan pertama, Juve kalah 0-1. (AFP)