Keberlangsungan kembali kegiatan kompetisi bola basket bergantung kepada izin dari daerah. Belum ada waktu pasti kapan latihan dan kompetisi bisa digelar lagi.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kegiatan bola basket Tanah Air masih belum mendapat lampu hijau meski induk cabang telah mengeluarkan protokol normal baru. Kewenangan memberikan izin kegiatan basket diserahkan kepada daerah masing-masing. Hal itu pun menghadirkan dua sisi bagi penyelenggara kompetisi profesional seperti Liga Bola Basket Indonesia (IBL).
Pengurus Pusat Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia (PP Perbasi) telah menerbitkan protokol normal baru berisi tahapan menggelar latihan hingga kompetisi. Protokol mengacu pada surat edaran dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dan Federasi Bola Basket Internasional (FIBA).
Ketua Umum PP Perbasi Danny Kosasih mengatakan, dengan adanya protokol itu, bukan berarti aktivitas basket kembali diperbolehkan. Mereka selaku induk cabang hanya membuat tahapan sebagai pedoman kesehatan dan keselamatan, tetapi tidak menentukan kapan akan kembali diizinkan beraktivitas.
”Izin itu dari daerah. Harus minta izin ke daerah dulu kalau mau menyelenggarakan (aktivitas) apa pun. Kami hanya beri protokol dan mengontrol saja. Saat ini, kami fokus kesehatan daripada pertandingan,” kata Danny dalam telekonferensi Rabu (17/6/2020).
Perbasi menyerahkan perizinan terhadap daerah karena perbedaan tingkat darurat pandemi di setiap wilayah. Karena itu, daerah dinilai lebih mengerti kondisi masing-masing untuk bisa menggelar kompetisi.
Aturan itu membuat setiap penyelenggara kompetisi akan berhubungan langsung dengan satuan gugus tugas Covid-19 di daerah untuk perizinan. Tahapan latihan dan kompetisi sesuai protokol Perbasi akan ditentukan oleh mereka.
Keputusan Perbasi pun membawa dua sisi bagi IBL. Di satu sisi, rencana penyelenggaraan hanya di satu kota akan lebih mudah dalam urusan perizinan. Sebab, mereka tinggal memilih kota yang cenderung aman dan masuk zona hijau, misal Yogyakarta.
Namun, IBL akan kesulitan untuk mendapatkan izin menggelar latihan tim. Adapun tim-tim IBL tersebar di lima kota di Pulau Jawa. Dua kota di antaranya berada dalam zona merah pandemi, yaitu DKI Jakarta dan Surabaya.
Hal tersebut menjadi tantangan karena penyelenggara akan sulit memadukan tahap-tahap latihan sesuai protokol dengan serentak. ”Gugus tugas setiap daerah punya pandangan sendiri terhadap wilayahnya. Tantangannya di situ. Kita menghindari ini jalan duluan ini belum,” kata Direktur Utama IBL Junas Miradiarsyah
Kesamaan tahap ini menjadi penting bagi IBL untuk menentukan waktu dimulainya kompetisi. Adapun dalam protokol Perbasi, latihan dibagi menjadi empat tahap. Tahap pertama latihan daring, tahap kedua latihan dalam kelompok kecil, tahap ketiga dalam kelompok besar tanpa sparing, dan tahap keempat berlatih normal.
Junas mengatakan, sejauh ini mereka sedang melihat kebijakan termasuk tahapan normal baru di setiap daerah. Setelah itu, mereka baru akan membuat formula untuk jadwal pasti latihan dan kompetisi.
Seandainya ada daerah yang belum mengizinkan berlatih, IBL menyiapkan opsi agar tim tersebut berlatih di daerah lain. ”Zona di setiap provinsi, kan, terbagi-bagi lagi. Misal Surabaya belum boleh. Kita akan cari kota terdekat untuk tim itu yang sudah boleh latihan,” kata Junas.
Adapun IBL menargetkan latihan tim akan berlangsung normal pada Agustus 2020 dan kompetisi dilanjutkan lagi pada September 2020. Terdapat dua opsi kota penyelenggara, Jakarta dan Yogyakarta.
Sekretaris Jenderal PP Perbasi Nirmala Dewi mengatakan, tim atau penyelenggara kompetisi wajib menunjuk seorang penanggung jawab. Dia akan bertugas mengawasi protokol dilakukan dari berangkat hingga pulang latihan. Penanggung jawab itu juga yang akan berkoordinasi dengan gugus tugas Covid setempat.
PP Perbasi juga mengeluarkan protokol menjalankan kompetisi dengan penonton. Pada tahap pertama, pertandingan disarankan tanpa penonton. Tahap selanjutnya, penonton hanya diizinkan sekitar 30 persen yang merupakan tamu undangan.
Tahap terakhir, penonton umum maksimal 60 persen dari kapasitas diperbolehkan dengan syarat berusia tidak lebih dari 45 tahun dan membawa bukti tes reaksi rantai polimerase atau PCR. ”Penonton juga harus berdasarkan izin dari daerah,” kata Nirmala.