Sinergi Memperkuat Fondasi Prestasi
Para pemain muda Indonesia diakui banyak pihak, termasuk legenda sepak bola Inggris David Beckham, memiliki talenta besar menjadi bintang dunia. Sayangnya, mereka kurang berkembang akibat minimnya pembinaan usia muda.
David Bekham (45), legenda sepak bola Inggris, pernah mengungkapkan rasa takjub dan herannya saat menyaksikan dari dekat geliat sepak bola di Indonesia. Menurutnya, Indonesia sebetulnya punya potensi besar memiliki bintang sepak bola dunia seperti dirinya.
"Saya beruntung dibesarkan di Inggris. Namun, di sini (Indonesia) adalah tempat yang sulit (untuk berkarir sepak bola). Dengan dukungan infrastruktur dan investasi, saya yakin mereka punya masa depan yang baik. Banyak talenta bagus di sini," ujar Beckham dalam wawancara dengan Kompas, Maret 2018 lalu.
Dengan kata lain, seandainya Beckham terlahir di Indonesia, 2 Mei 1975 silam, bisa jadi ia tidak akan sukses dan sepopuler saat ini. "(Pemain asal Indonesia) orang-orang yang tangguh dan berani," ujar Beckham di sela-sela kunjungannya sebagai duta perusahan asuransi AIA untuk membantu mengembangkan sepak bola usia dini di Jakarta, saat itu.
Seperti dikatakan Beckham, Indonesia adalah anomali dalam sepak bola. Talenta semata bukanlah jaminan untuk sukses. Setelah Ramang, pemain nasional di era 1940-an, nyaris tidak ada lagi ada pemain Indonesia yang dipuji FIFA dan dikenal dunia. Padahal, Indonesia adalah negara penggila sepak bola dan memiliki jejak mentereng di pentas dunia cabang olahraga itu.
Indonesia (dulu Hindia Belanda) merupakan negara Asia pertama yang tampil di Piala Dunia, yaitu edisi 1938 silam di Perancis. "Negara ini memiliki hampir 300 juta penduduk. Banyak talenta (pesepak bola). Mustahil tidak bisa menemukan pemain berkelas dunia," ujar Erick Thohir, Menteri BUMN saat masih menjabat Presiden Inter Milan, dikutip Sempre Inter, 2014 lalu.
Optimisme Beckham dan Thohir cukup beralasan. Para pemain Indonesia memang punya talenta. Hal itu setidaknya ditunjukkan dari gelar juara Piala AFF U-19, 2013 silam. Tampil dengan semangat juang tinggi, tim "Garuda Muda" keluar dari bayang-bayang Thailand dan Vietnam. Mereka menjadi penguasa Asia Tenggara dalam turnamen yang digelar di Sidoarjo, Jawa Timur, itu.
Menariknya, keberhasilan Garuda Muda kala itu tidaklah terlepas dari metode janggal pelatihnya, Indra Sjafri, dalam hal seleksi pemain. Ia melakukan hal yang nampak aneh bagi negara-negara yang sepak bolanya maju, yaitu menemukan para pemain berbakat, seperti Evan Dimas Darmono, Putu Gede, dan Zulfiandi, lewat blusukan.
”Blusukan itu akibat tidak adanya sistem yang bagus, kompetisi (usia muda) yang berjenjang. Jika ada, pelatih tidak akan lagi blusukan mencari pemain berbakat. Kami tinggal menyeleksi dari kompetisi yang ada,” ujar pelatih asal Sumatera Barat itu beberapa waktu lalu.
Rapuhnya fondasi
Bukan lagi rahasia jika pembinaan sepak bola di akar rumput, yaitu khususnya di kelompok usia dini, di Tanah Air selama ini sangatlah lemah. Perhatian PSSI, organisasi paling bertanggung-jawab dalam pembinaan sepak bola nasional, terhadap pembinaan sepak bola usia dini sangat rendah. Selain konflik internal, mereka lebih banyak berkutat pada sepak bola level elite, yaitu liga profesional.
Padahal, pembinaan usia dini adalah fondasi sepak bola negara. Tanpa fondasi yang kuat, bangunan bernama timnas pun akan selamanya rapuh. Hal inilah yang sangat diperhatikan di negara-negara maju. Di Jepang misalnya, pengembangan usia muda menjadi bagian integral dalam pembangunan sepak bola bersama penguatan timnas dan peningkatan kualitas pelatih. Ketiganya disebut sebagai “trinitas sepak bola” yang tidak terpisahkan di Jepang.
Tidak ada timnas yang kuat tanpa (penguatan) akar rumput.(JFA)
Seusai Piala Dunia 1998 di Perancis, Federasi Sepak Bola Jepang (JFA) terus memperbanyak aktivitas di ketiga sektor utama itu, salah satunya menggelar banyak program dan kompetisi untuk anak-anak. Hasilnya, sejak saat itu hingga 2018, Jepang tidak pernah absen di Piala Dunia. Pada Piala Dunia edisi terakhir di Rusia, dua tahun lalu, tim "Samurai Biru" bahkan menjadi satu-satunya wakil Asia yang lolos ke babak 16 besar.
“Tidak ada timnas yang kuat tanpa (penguatan) akar rumput. Kami meyakini, keberadaan orang-orang yang mencintai sepak bola, anak-anak dan para keluarga sepak bola, menghadirkan konsistensi dan kekuatan penuh pada sepak bola di sebuah negara,” bunyi laporan pengembangan pemain sepak bola yang dibuat JFA.
Apa yang dilakukan JFA itu masih jauh panggang dari api di Indonesia. Namun, masih ada harapan. Di tengah minimnya peran federasi dalam pengembangan sepak bola usia muda, sejumlah pihak enggan tinggal diam. Seperti pernah dilakukan di Jerman dalam pembinaan sepak bola putri, setengah dekade lalu, inisiatif swasta lantas bermunculan untuk menghidupkan sepak bola akar rumput di Tanah Air.
Sejumlah turnamen atau kompetisi usia dini, yang diinisiasi dan dikelola swasta, seperti Liga Campina, Indonesia Junior League (IJL) U-9 dan U-11, Liga Kompas U-14, serta Liga TopSkor U-13 dan U-15, bermunculan di DKI Jakarta dan sekitarnya dalam kurun satu dekade terakhir. Kompetisi-kompetisi ini mengisi kevakuman pembinaan sepak bola usia muda yang sempat gencar dilakukan di era Perserikatan dan Galatama.
Hanya saja, karena dilakukan swasta, konsistensinya menjadi masalah terbesar. Selain itu, cakupannya juga sangat terbatas. Di luar Jakarta, nyaris sulit ditemukan kompetisi usia muda yang berkualitas dan konsisten. Kepedulian dan dana ikut menjadi kendala besar. Menggelar kompetisi sepak bola usia dini dan muda tidak lebih “seksi” dari mendukung sepak bola level elite dalam hal ekspos media.
Belum lagi, kendala infrastruktur atau sulitnya mencari lapangan sepak bola yang memadai. Tak ayal, sejumlah kompetisi ala swasta banyak yang berguguran. Seperti disebutkan Beckham, infrastruktur dan investasi menjadi masalah terbesar di Indonesia dan umumnya negara berkembang lainnya dalam upaya pengembangan sepak bola. Beruntung, masih ada segelintir pihak swasta yang tetap peduli.
Kepedulian itulah yang salah satunya membuat Liga Kompas U-14 tetap konsisten dan bertahan selama satu dekade terakhir. Eksistensi yang cukup lama ini tidak terlepas dari peranan para perusahaan swasta sebagai sponsornya, antara lain Garuda Food (Kacang Garuda), PT Suzuki Indomobil Sales (SIS), dan PT Freeport Indonesia. Secara rutin, nyaris tiap tahunnya, Liga Kompas juga didukung perusahaan manufaktur Swedia, SKF, untuk tampil di Piala Gothia (Piala Dunia usia dini di Swedia).
Direktur Pemasaran Garudafood Ferry Haryanto menuturkan, sistem berkualitas membuat pihaknya tertarik memberikan dukungan rutin terhadap Liga Kompas sejak 2015. “Kami menilai Liga Kompas bukan sekadar program pembinaan usia muda, melainkan menjadi pintu bagi para pemain yang terpilih untuk merintis karir sebagai pesepak bola profesional Indonesia,” ujarnya akhir Mei lalu.
Pijakan para bintang
Sesuai slogannya, “Start of The Stars”, Liga Kompas U-14 diharapkan menjadi pijakan awal para pemain sepak bola yang ingin merintis karir profesionalnya. Maka, menghasilkan tim juara bukanlah tujuan utama dari liga itu. Sebaliknya, kompetisi yang berlangsung selama 30 pekan setiap musimnya itu menjadi ajang penggemblengan teknik, sikap, dan mentalitas pemain belia sebelum menginjak ke level elite.
Tidak hanya menggelar kompetisi, pengelola liga ini juga rutin melakukan coaching clinic, penataran untuk pelatih, hingga talkshow untuk pengembangan pemain, misalnya menyangkut pentingnya nutrisi. Tak pelak, selama ini, liga itu ikut berkontribusi mencetak para pemain timnas Indonesia seperti Rendy Juliansyah, Egy Maulana Vikri, M Supriadi, Sutan Zico, Zahra Muzdalifah, dan Andre Oktaviansyah. “Banyak ilmu saya dapat dari Liga Kompas,” tukas Andre, Mei lalu.
Maka itu, meskipun Liga Kompas U-14 musim 2019-2020 terpaksa diakhiri dini akibat wabah Covid-19, para sponsor tetap berkomitmen memberikan dukungannya. “Kompetisi ini telah melahirkan para pemain muda yang sangat potensial. Dengan pembinaan yang konsisten dan berkualitas, kami optimis, bibit-bibit muda ini nantinya akan mampu menjadi pahlawan olahraga Indonesia," ujar Donny Saputra, Direktur Pemasaran 4W PT SIS.
Selain pihak swasta, kepedulian akan pembinaan sepak bola usia muda sebetulnya sudah ditunjukkan pemerintah. Kementerian Pemuda dan Olahraga misalnya, rutin menggelar turnamen sepak bola seperti Liga Pelajar U-14, Piala Menpora U-14 hingga U-18, turnamen antar Pusat Pendidikan Latihan Pelajar (PPLP), dan Liga Santri. Adapun Kementerian Pendidikan dan Budaya memiliki turnamen Gala Siswa untuk SMP dari tingkat kecamatan hingga nasional.
Tak hanya itu, akhir-akhir ini, PSSI pun mulai menaruh perhatian besar terhadap pembinaan usia muda. Salah satu terobosan terbesar PSSI adalah melahirkan kompetisi Liga Elite Pro Academy U-16 dan U-18 yang diikuti akademi klub-klub Liga 1 Indonesia. Hanya saja, sayangnya, tidak ada sinergi dari para pemangku kepentingan itu. Pada praktiknya di Liga Elite Pro misalnya, tidak jarang klub-klub Liga 1 “membajak” para pemain Liga Kompas atau Liga TopSkor yang selama ini dibina sekolah-sekolah sepak bola (SSB).
Semuanya berdiri sendiri-sendiri dan tidak memiliki arah atau tujuan yang jelas. Elite Pro misalnya, tidak punya semangat pembinaan.(Dede Sulaeman)
Cilakanya pula, tidak sedikit klub Liga 1 yang melakukan seleksi terbuka dengan tarif Rp 300.000 per orang demi mendapatkan pemain di Elite Pro secara instan. Padahal, idealnya, klub-klub profesional itu mencetak atau membina sendiri para pemain mudanya, seperti dilakukan di Jepang dan banyak negara maju lainnya.
“Karut-marut. Semuanya berdiri sendiri-sendiri dan tidak memiliki arah atau tujuan yang jelas. Elite Pro misalnya, tidak punya semangat pembinaan. Bahkan, ada indikasi transaksi pemain U-16. Padahal, FIFA melarang jual-beli pemain U-16 (di bawah umur),” ujar Dede Sulaeman, mantan striker timnas Indonesia yang kini rutin menjadi pemandu bakat di Liga Kompas.
Instruksi Presiden
Ke depan, sinergi itu bisa didorong berkat lahirnya Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional, satu-satunya Inpres di Tanah Air yang mengatur khusus satu cabang olahraga. Inpres itu bertujuan menyatukan seluruh potensi nasional yang dikelola kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk kemajuan sepak bola. Sebagai contoh, Kementerian BUMN ditugaskan untuk memaksimalkan peranan swasta di sepak bola lewat kerjasama atau sponsor.
Lalu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat berupaya menyediakan sarana-prasarana sepak bola, dalam hal ini lapangan dan stadion. Adapun Kementerian Keuangan diminta mendukung alokasi anggaran yang dibutuhkan untuk meningkatkan prestasi timnas di level internasional.
“Sejauh ini, Inpres itu belum berjalan karena wabah Covid-19. Namun, itu sudah menjadi modal besar untuk perbaikan sepak bola nasional di masa depan. Bukan tidak mungkin, nantinya ada liga usia muda seperti Liga Kompas U-14 di tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional,” ujar Sekretaris Kemenpora Gatot S Dewa Broto.
Berkat sinergi yang masih didambakan itu, niscaya, tim Garuda akan terbang tinggi dan memenuhi mimpinya tampil kembali di Piala Dunia, setidaknya 2034 mendatang. Semoga.