Jalan Kompetisi Basket Nasional Pincang Tanpa Penonton
Penyelenggara kompetisi basket IBL dan Piala Srikandi harus berpikir keras untuk mencari cara menjalankan pertandingan tanpa penonton. Selama ini penonton menjadi tulang punggung dari sisi finansial.
Oleh
Kelvin Hianusa
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kondisi normal baru di dunia olahraga membawa konsekuensi jalannya kompetisi tanpa penonton. Hal itu akan menjadi tantangan besar bagi Liga Bola Basket Indonesia (IBL) untuk melanjutkan kompetisi. Penonton tidak hanya menjadi sumber pemasukan utama operasional liga, tetapi juga sebagai daya tarik sponsor yang telah dijanjikan pada awal musim.
Berkaca dari kompetisi olahraga di negara lain, pada masa pandemi Covid-19, penyelenggaraan pertandingan berlangsung tanpa penonton, seperti liga sepak bola Jerman (Bundesliga). Ini merupakan konsekuensi dari peralihan masa pandemi sekaligus akibat belum ditemukannya vaksin Covid-19.
Industri olahraga nasional yang sedang dalam masa transisi, masuk ke fase normal baru, tidak bisa dimungkiri mengalami persoalan sama. Dalam kondisi seperti ini, hampir pasti kompetisi di Indonesia tidak mengizinkan kehadiran penonton.
Dari sisi keselamatan dan kesehatan, laga tertutup memang paling ideal. Namun, hal itu tidak berlaku bagi liga yang akan melanjutkan kompetisi. IBL, misalnya, peran penonton terhadap operasional kompetisi sangat besar.
”Untuk saat ini, tiket adalah nomor dua pemasukan kami setelah sponsor. Dari sisi penyelenggaraan, potensi tiket pasti hilang. Belum lagi pasti akan berpengaruh terhadap suasana pertandingan, ke pemain dan tim,” kata Direktur IBL Junas Miradiarsyah, Kamis (4/6/2020).
Tak hanya itu, IBL mendapat pekerjaan rumah tambahan. Mereka akan berurusan dengan para sponsor. Tanpa penonton, sponsor akan kehilangan sorotan yang seharusnya didapatkan sesuai kontrak di awal musim. Hal ini yang perlu dicari jalan tengahnya.
Beban IBL sebagai penyelenggara sangat berat. Mereka tidak seperti liga bola basket Amerika Serikat (NBA). Di NBA, semua pertandingan memainkan laga kandang dan tandang di arena milik klub masing-masing. Karena itu, biaya operasional pertandingan mayoritas ditanggung oleh klub, begitu pula pemasukan dari penonton.
Di IBL, keterbatasan arena basket dan ketimpangan finansial klub membuat laga berlangsung dengan format seri, dari kota ke kota. IBL sebagai penyelenggara pun menanggung beban utama operasional setiap seri. Oleh karena itu, operasional bisa terganggu tanpa uang dari tiket penonton.
Belum lagi tim-tim di NBA sedikit lebih tenang karena tiket penonton bisa ditutupi oleh uang dari hak siar televisi. Berbeda dengan IBL yang bisa ditonton gratis dari Youtube.
Tak ayal, pihak IBL pun dituntut berpikir keras menambal kepincangan tersebut. Menurut Junas, pilihan terakhir adalah melakukan efisiensi penyelenggaraan jika normal baru mensyaratkan tanpa penonton.
Konsekuensinya kita harus mencari format yang bisa menekan biaya sehingga bisa disubsidi. Bukan mengganti potensi uangnya (tiket), tetapi efisiensi, agar biaya tidak sebesar biasanya.
”Konsekuensinya kita harus mencari format yang bisa menekan biaya sehingga bisa disubsidi. Bukan mengganti potensi uangnya (tiket), tetapi efisiensi, agar biaya tidak sebesar biasanya,” jelas Junas.
Salah satu upaya efisiensi dilakukan dengan meringkaskan format kompetisi. IBL tidak akan memainkan dua seri yang tersisa di musim reguler. Sembilan tim akan langsung masuk ke babak penyisihan yang dijadwalkan mulai September 2020.
Untuk sponsor, IBL akan berupaya menawarkan sorotan yang bisa didapat dari luar pertandingan, misalnya dengan menarik orang lebih banyak menonton lewat Youtube. Intinya agar sponsor tetap menerima nilai tambah.
Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Marciano Norman dalam telekonferensi pada Rabu (3/6/2020) mengatakan, kompetisi awalnya berpotensi besar dimulai tanpa penonton. Baru dalam fase berikutnya penonton diizinkan dengan jumlah terbatas.
Kompetisi dengan penonton, menurut Norman, sangat realistis karena masyarakat sudah beradaptasi selama tiga bulan terakhir. Hanya saja, kapasitas harus dikurangi, misalnya hingga 50 persen. Adapun KONI masih menunggu masukan dari induk cabang olahraga untuk membuat petunjuk umum yang akan diserahkan ke Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Kehadiran penonton sangat diharapkan klub-klub IBL. Manajer NSH Jakarta Yusuf Arlan Ruslim mengucapkan, keberadaan penonton sangat berarti bagi pemain. Paling tidak, penonton bisa hadir dengan protokol ketat dalam jumlah terbatas.
”Saya berharap ada penonton. Sebab, kalau ada penonton, pemain semangat. Pastilah, kalau tidak (tanpa penonton), sudah seperti latihan saja. Paling pemain lemas-lemas karena tidak ada yang tepuk tangan dan teriak,” jelas Arlan.
Sementara itu, guard Amartha Hangtuah, Abraham Wenas, menyerahkan semuanya kepada pemerintah. Dia memang memilih laga dihadiri penonton, tetapi semua bergantung pada keputusan pemerintah dan penyelenggara liga.
Piala Srikandi
Tantangan melanjutkan kompetisi dalam normal baru juga dirasakan kompetisi basket putri Piala Srikandi. Dalam rapat virtual, Senin, kelanjutan musim 2019-2020 belum dapat dipastikan.
Kasus Piala Srikandi berbeda dari IBL. Kompetisi putri ini tidak bergantung pada tiket penonton. Penyelenggaraan kompetisi swadaya ini bertumpu dari gotong royong para pemilik klub.
Ketua Koordinator Piala Srikandi Deddy Setiawan mengatakan, hal tersebut yang menjadi persoalan. ”Akar bisnis setiap pemilik klub berbeda-beda dan pastinya dengan adanya wabah ini berdampak pada masalah finansial masing-masing. Namun, kami belum memutuskan secara final,” katanya.
Lebih lagi, menurut Deddy, biaya penyelenggaraan kompetisi akan membengkak dalam kondisi normal baru. Sebab, mereka harus mengadopsi protokol kesehatan yang dikeluarkan Federasi Bola Basket Internasional (FIBA).
Piala Srikandi baru memasuki separuh dari total empat seri yang dijadwalkan dalam musim reguler. Untuk memotong biaya, penyelenggara menyiapkan opsi tim-tim langsung bertanding di babak penyisihan.