Pemain, pelatih, pemilik tim, dan para legenda NBA turun ke jalan menyampaikan protes atas kasus rasialisme yang menewaskan George Floyd. NBA adalah entitas olahraga yang memiliki kekuatan menyuarakan perubahan.
Oleh
korano nicolash lms
·8 menit baca
STEPHEN MATUREN/GETTY IMAGES/AFP
Mantan pemain NBA, Stephen Jackson (kanan), berfoto di lokasi mengenang kematian George Floyd di Minneapolis, Minnesota, Rabu (3/6/2020). Jackson adalah salah seorang teman Floyd. Ia bergabung dalam aksi bersama keluarga dan teman Floyd agar para polisi yang menewaskan Floyd dituntut hukuman.
Hanya dalam hitungan hari, semua pemain, pelatih, pemilik tim, berikut legenda NBA ikut turun ke jalan untuk menyampaikan protes terhadap kasus rasial yang masih terus terjadi.
Kematian George Floyd, seorang warga kulit hitam AS, di jalan di Minneapolis, Minnesota, menjadi pemicu protes dan kerusuhan akbar di berbagai penjuru kota ”Negeri Paman Sam”. Kepergian Floyd, setelah lehernya ditindih lutut Derek Chauvin, seorang perwira polisi berkulit putih, merupakan salah satu tindakan rasial yang kerap berulang di AS.
Membicarakan rasial sama dengan mengurut perjalanan para imigran kulit putih dari Eropa ke wilayah Amerika Utara yang menjadi daerah kekuasaan suku Indian. Imigrasi tersebut kemudian bermetamorfosa menjadi kolonialisme.
Itu sebabnya, sekalipun Deklarasi Kemerdekaan AS ditandatangani 56 tokoh pada tahun 1776, keputusan Mahkamah Agung AS Dred Scott pada 1857 secara tidak langsung telah mengesahkan rasialisme di ”tanah sejuta impian” suku Indian yang dikuasai para pendatang tersebut.
Mahkamah Agung AS memutuskan bahwa orang keturunan Afrika tidak akan dianggap sebagai warga negara AS dan tidak memiliki kedudukan hukum di pengadilan. Keputusan tersebut juga berlaku bagi keturunan Afrika yang kakeknya bertugas sebagai serdadu di bawah pimpinan George Washington selama Perang Revolusi.
Sayangnya cerita panjang perbudakan di Negeri Paman Sam yang justru menjadi cikal bakal rasialisme ini hilang dari kurikulum sejarah yang diajarkan di sebagian besar sekolah menengah dan perguruan tinggi AS.
Hal tersebut disampaikan Clarence B Jones, yang merupakan salah seorang penasihat hukum pribadi Martin Luther King Jr, kepada wartawan dalam sebuah acara di Washington DC, Maret 2015.
Itu sebabnya, menurut Jones, tanpa pelajaran tersebut, orang AS tidak mungkin memahami dirinya mereka sendiri. Wajar kalau masalah rasialisme masih tumbuh subur di AS hingga abad milenium kedua ini. Mulai dari permusuhan antaretnis dari Arab dengan Yahudi, Inggris dengan Irlandia. Bahkan, permusuhan antaretnis itu kini juga mulai diembuskan di negeri kita tercinta.
Sementara AS yang selalu menggembar-gemborkan diri sebagai negara yang menjadi benteng kebebasan manusia, benteng hak asasi manusia, lembaga demokrasi, penjaga kesetaraan manusia, justru masih terperangkap dalam rasialisme.
Meski demikian, tekanan berbagai intelektual berikut protes besar-besaran yang menjurus ke kerusuhan mampu memberikan perubahan secara perlahan. Undang-undang yang bertujuan membatasi kekuatan suara minoritas rasial pun sudah dibatalkan Amendemen 24 pada tahun 1964 dari Konstitusi AS. Hasilnya, kaum minoritas bisa lebih bersuara.
Begitu juga lewat Undang-Undang Hak Pilih Federal tahun 1965, yang mengharuskan yurisdiksi dengan riwayat pemilih, sudah dihapus melalui keputusan Mahkamah Agung tahun 2013. Keputusan ini memberikan hak pilih bagi kaum minoritas.
Terpilihnya Barack Obama dalam dua periode, mulai 2009 hingga 2017, sebagai Presiden AS kulit hitam pertama, sempat menghapus citra AS sebagai negara rasialis.
Ternyata, ”debu” rasial itu masih tetap beterbangan hingga saat ini. Rasialisme oleh sebagian besar orang AS dianggap sebagai ”debu” karena tidak terlihat, tetapi masih ada. Namun, pelan-pelan rasialisme itu bakal runtuh.
Butuh pendorong
Kemajuan teknologi komunikasi kini bisa membuat setiap orang menyuarakan apa yang ada dalam pikirannya walau tetap saja dibutuhkan entitas tertentu yang bisa menjadi pendorong agar ”debu” rasialisme dapat dibersihkan.
Dalam hal ini NBA bisa menjadi salah satu entitas pilihan itu. Meskipun beberapa dari mereka yang terlibat di dalamnya telah menegaskan bahwa mereka tidak ingin tim NBA menjadi suatu gerakan politik, keberadaan NBA yang memiliki jutaan pencinta di seluruh dunia tentu bisa menjadi ”pembawa suara kebenaran”.
Menurut Dr John Coleman dalam buku Committee 300, olahraga yang disiarkan secara total oleh berbagai televisi menjadi salah satu opium (candu) bagi massa yang semakin tidak memiliki tujuan. Selain agama yang menurut Vladimir Lenin dan Karl Marx menjadi opium massa, sekarang kita memiliki opium lainnya.
Opium itu berupa olahraga yang menjadi tontonan massal, nafsu seksual, yang tak terkendali dan menyalahi norma yang berlaku, musik rock, berondongan film horor yang kejam dan sadis, hingga epidemi pemakaian narkoba.
Meskipun masuk dalam kategori negatif, tetapi dengan banyaknya orang terdidik di NBA, mulai dari para pemain yang berpendidikan universitas, pelatih, pemilik tim, hingga para legenda, tentu NBA dan unsur olahraga profesional lainnya di AS dapat mengambil peran sebagai salah satu motor derasialisme di AS.
AP PHOTO/CHUCK BURTON
Pemilik tim Charlotte Hornets, Michael Jordan, berteriak saat pertandingan NBA melawan New York Knicks di Charlotte, Senin (28/1/2019). Jordan adalah legenda NBA yang turut menyuarakan kesedihan dan kemarahan atas kematian George Floyd.
”Saya sangat sedih, benar-benar sedih dan sangat marah,” kata Michael Jordan (57), sang pemilik Charlotte Hornets sekaligus legenda NBA dari Chicago Bulls.
”Aku berdiri dengan mereka yang menyerukan penghapusan rasisme dan kekerasan yang mendarah daging terhadap orang kulit berwarna di negara kita ini. Mari kita akhiri,” pinta Jordan.
”Saya tidak punya jawaban atas kasus ini, tetapi suara kolektif kami menunjukkan kekuatan dan ketidakmampuan untuk dibagi oleh orang lain,” tambah Jordan, seperti dikutip Espn.com.
”Kita harus saling mendengarkan, menunjukkan belas kasih dan empati, serta tidak pernah berpaling dari kebrutalan yang tidak masuk akal itu,” tambahnya.
”Air” Jordan, salah satu pemain yang menjadi miliarder AS, menambahkan, ”Kita perlu melanjutkan ekspresi damai melawan ketidakadilan dan menuntut pertanggungjawabannya. Suara kita yang bersatu perlu memberi tekanan kepada para pemimpin kita untuk mengubah undang-undang kita. Dengan demikian, terjadi perubahan yang sistemik.”
Masing-masing kita, tambah Jordan yang film dokumenter The Last Dance tentang dirinya dan Chicago Bulls baru selesai diputar pertengahan Mei lalu, ”Harus menjadi bagian dari solusi. Kita harus bekerja bersama untuk memastikan keadilan bagi semua.”
Sebelumnya, sejumlah pemain NBA juga ikut turun ke jalan. Jaylen Brown dari Boston Celtics harus mengemudi selama 15 jam dari Boston ke Atlanta hanya untuk memimpin aksi damai. Lonnei Walker, guard San Antonio Spurs, menjadi sukarelawan untuk membersihkan sampah kerusuhan di San Antonio.
Begitu juga dengan Thabo Sefolosha yang kini bermain untuk Houston Rockets, yang pernah menjadi sasaran penangkapan polisi New York atau NYPD pada April 2015.
”Kami memiliki luka di negara kami yang belum pernah sembuh, yakni rasisme, kebrutalan polisi, dan ketidakadilan rasial. Luka itu masih tetap menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di Amerika, di mana hal ini tidak bisa diabaikan,” tegas Komisioner NBA Adam Silver.
AP PHOTO/BEN MARGOT
Pemain Golden State Warriors, Stephen Curry, dalam salah satu laga NBA. Curry ikut aksi turun ke jalan bersama sejumlah pemain Warriors di San Francisco, Rabu (3/6/2020) waktu setempat. Mereka menyampaikan protes atas kematian George Floyd akibat masih kuatnya rasialisme di AS.
Begitu juga Juan Toscano-Anderson, Klay Thompson, Stephen Curry, Kevon Loonei, dan Damion Lee, yang mengunggah kegiatan turun ke jalan sejumlah pemain Golden State Warriors bersama massa di San Francisco, di dekat Danau Merritt, Rabu (3/6/2020) sore waktu Amerika Serikat atau Kamis pagi WIB.
Secara historis, Golden State Warriors merupakan organisasi yang sadar isu sosial. Dalam beberapa tahun terakhir, pelatih mereka, Steve Kerr, mengajak para pemain untuk mendaftarkan diri sebagai pemilih dalam pemilu AS.
Pada acara The Ringer’s Flying Coach, Selasa (2/6/2020), bersama Pelatih Seattle Seahawks Pate Carroll dan pelatih gaek San Antonio Spurs, Gregg Popovich, Kerr menyampaikan keyakinannya bahwa anak muda siap membuat perbedaan yang lebih besar di dunia.
Dia percaya atlet profesional muda muncul untuk memiliki suara yang lebih besar daripada sebelumnya. Sebab, kombinasi dari kesadaran sosial mereka diikuti kekuatan dari berbagai platform media sosial mereka.
”Saya pikir kabar baiknya adalah generasi muda di belakang kami lebih beragam. Lebih toleran. Lebih sadar daripada generasi mana pun di atas mereka. Saya benar-benar percaya hal itu,” tutur Kerr yang kelahiran Beirut, Lebanon, 54 tahun lalu, itu.
”Anda menonton protes. Protes damai yang sedang terjadi. Dan saya tahu ada banyak kekerasan juga, banyak penjarahan. Ada banyak hal yang terjadi. Namun, jika Anda menyaksikannya, saya katakan bahwa aksi protes damai keberagaman itu sangat dramatis,” ujarnya kepada ESPN.
”Aku benar-benar percaya bahwa generasi muda di belakang kami sudah cukup. Selama mereka bertumbuh, untuk menjadi generasi saat ini, mereka pasti sudah siap. Mereka siap menghadapi beberapa perubahan,” tambah Kerr yang sudah mengantongi lima gelar NBA sebagai pemain dan tiga gelar sebagai pelatih.
Tentu entitas olahraga tidak bisa begitu saja memotong fungsi entitas politik patron yang justru sudah mendarah daging. Namun, sebagai satu-satunya entitas yang menjunjung tinggi ”sportivitas”, tidak salah kalau mereka menjadi rujukan untuk menyuarakan ”kesesatan” dan ”kesesakan” yang ada dalam masyarakat.
Sekalipun demikian, perlu diingat, seperti kata pemilik Houston Rockets, Tilman Joseph Fertitta, dalam pembicaraan dengan CNBC, Selasa (2/6/2020) waktu AS, ”Berbicara tentang masalah di Amerika dan berbicara tentang masalah di tempat lain, di dunia, adalah dua hal yang berbeda.”
”Di Amerika kami memiliki kebebasan berbicara dan kami dapat melakukan apa pun yang kami inginkan, dan tidak akan dihukum karenanya. Itu sebabnya, kami semua mencintai negara ini,” tutur Fertitta, salah satu miliuner Amerika yang memiliki 60.000 karyawan berikut 100 juta pelanggan.
”Saya suka protes. Karena itulah yang membuat Amerika hebat. Ingat, kami mendapatkan masalah di awal tahun ini, karena kami berkomentar tentang sesuatu yang sangat mengecewakan (protes masyarakat di Hong Kong). Namun, itulah yang membuat Amerika hebat,” tutur Fertitta.
Sayangnya, tambah Fertitta yang membeli Rockets pada 2017 seharga 2,2 miliar dollar AS, ”Kami justru dihadapkan dengan liputan dari beberapa hal negatif, ketika itu merupakan masalah besar untuk diprotes.” Mungkin itulah yang menjadi ”harga” sekaligus pengorbanan yang harus dibayar Tilman Joseph Fertitta (62) dan Houston Rockets ketika menyampaikan protes.
Tidak pernah ada protes yang tanpa ”biaya” serta pengorbanan sekalipun itu upaya mengungkapkan suatu kebenaran. Termasuk memerangi ”debu” rasial yang dikatakan tidak ada di AS. Namun, ”debu” itu tengah mengoyak kehidupan masyarakat AS yang masih didera wabah Covid-19. (AP)