Ancaman Kerugian Para Raksasa Eropa
Pandemi Covid-19 memberi pukulan telak bagi klub-klub Eropa dalam hal finansial. Neraca keuangan negatif akan dialami mayoritas klub yang selama ini menikmati limpahan pundi-pundi uang di industri sepak bola “Benua Biru.
MANCHESTER, SELASA – Meskipun mayoritas liga besar Eropa dipastikan tetap dilanjutkan di tengah wabah Covid-19, sebagian besar klub sepak bola terancam mengalami kerugian finansial yang besar pada musim ini. Potensi kerugian itu terjadi akibat ketiadaan pemasukan dari tiket laga dan sumber lainnya seperti penjualan cendera mata dan tur ke stadion.
Masalah itu salah satunya dialami klub Liga Inggris, Manchester United. Dalam laporannya bertajuk Football Money League 2020, firma keuangan Deloitte menaruh “Setan Merah” di peringkat ketiga daftar 20 klub dengan pendapatan tertinggi pada musim 2018/2019. Total pemasukannya 711,5 juta euro (Rp 11,4 triliun).
Namun, pendapatan itu berpotensi akan berkurang di musim ini. Wakil Kepala Eksekutif Manchester United Ed Woodward memastikan, selama trimester pertama 2020, seluruh pemasukan klubnya turun drastis. Hak siar misalnya, anjlok 51,7 persen dari periode sama tahun lalu, yaitu senilai 53,8 juta pounds (Rp 974,8 miliar). Penurunan itu akibat penundaan dan perubahan jadwal laga.
Kemudian, pendapatan dari tiket laga juga menurun hingga 2,6 juta pounds (Rp 47,1 miliar). Satu-satunya sumber pemasukan yang meraih hasil hijau hanya pendapatan komersial yang naik 2 juta pounds (Rp 36,2 miliar) dibandingkan periode serupa tahun lalu, sehingga pos pemasukan itu telah mencatat tambahan dana segar mencapai 68,6 juta pounds (Rp 1,24 triliun).
Dari kondisi itu, pendapatan MU di trimester perdana 2020 ini menurun 28,4 juta pounds (Rp 514,6 miliar) menjadi hanya 123,7 juta pounds (Rp 2,24 triliun) dibandingkan periode sama 2019 lalu. Meski begitu, jumlah pendapatan itu masih berpotensi bertambah seandainya dua pemilik hak siar Liga Inggris, Sky Sports dan BT Sport, bersedia membayar subsidi hak siar tersisa yang mencapai 20 juta pounds (Rp 362,4 miliar).
Akibat pendapatan yang menurun, MU harus menanggung pula kenaikan utang bersih tahunan dari 127,4 juta pounds (Rp 2,3 triliun) menjadi 429,1 juta pounds (Rp 7,7 triliun).
Saya katakan tidak akan ada ‘bisnis seperti biasa’ dalam beberapa waktu ke depan. Sebab, kami harus menyadari krisis ini tidak akan hilang dalam semalam. (Ed Woodward)
Woodward menuturkan, krisis akibat pandemi tidak hanya melanda klub, melainkan juga berdampak ke seluruh komunitas sepak bola, seperti pemain, pendukung, pemilik hak siar, sponsor, dan para pemangku kepentingan lainnya.
“Masih ada tantangan besar di masa depan untuk seluruh aspek sepak bola. Maka, saya katakan tidak akan ada ‘bisnis seperti biasa’ dalam beberapa waktu ke depan. Sebab, kami harus menyadari krisis ini tidak akan hilang dalam semalam,” ujar Woodward dilansir The Guardian, pekan lalu.
Jumlah kerugian MU pada musim ini tentu akan semakin besar. Pasalnya, MU harus mengeluarkan uang untuk pembayaran gaji pemain dan staf serta biaya perjalanan klub di sisa pertandingan musim ini. Musim lalu, MU mengeluarkan dana hingga 540,2 juta Euro (Rp 8,69 triliun) untuk membayar gaji pemain. Kini, ongkos operasional itu sulit ditutupi karena laga-laga tersisa musim 2019/2020 akan dilaksanakan tanpa penonton.
Selain tidak adanya pendapatan dari tiket laga, sumber pendapatan komersial lainnya yang berada di kompleks Stadion Old Trafford, seperti Old Trafford Megastore serta Red Café and United Events, juga tidak akan memberikan pemasukan karena harus ditutup hingga waktu yang belum ditentukan.
Alhasil, sumber pendapatan MU hanya berharap pada uang prestasi yang didasari peringkat akhir Liga Inggris dan harapan untuk meraih gelar juara Liga Europa dan Piala FA. Uang hadiah bagi juara di dua kompetisi itu masing-masing berjumlah 8,5 juta euro (Rp 136,8 miliar) dan 3,6 juta euro (Rp 57,97 miliar).
Target Barca sulit tercapai
Kondisi serupa dialami klub dengan pendapatan tertinggi di dunia saat ini, Barcelona. Juara bertahan Liga Spanyol itu memiliki target di musim ini untuk menjadi klub sepak bola pertama yang meraih pendapatan tahunan 1 miliar euro (Rp 16,1 triliun). Seiring pandemi, Presiden Barcelona Josep Bartomeu bersikap realistis dan mengakui, target pendapatan 1,05 miliar euro (Rp 16,9 triliun) untuk musim 2019/2020 mustahil dicapai.
“Kami mendapatkan rekor pendapatan pada Februari lalu, tetapi setelah itu kami tidak memiliki pendapatan lagi dari penjualan tiket, hak siar TV, wisata klub, toko, dan museum. Hal itu menyebabkan penurunan signifikan pada pendapatan, sehingga kami harus beradaptasi dengan perubahan model (bisnis), mengurangi pengeluaran, dan menahan proyek klub,” ucap Bartomeu.
Berdasarkan laporan La Vanguardia, “El Barca” telah kehilangan 154 juta euro (Rp 2,47 triliun) akibat penghentian kompetisi sejak pertengahan Maret lalu.Total pendapatan Barca pada musim lalu mencapai 839,5 juta Euro (Rp 13,5 triliun). Penjualan tiket laga berkontribusi pada 35 persen pemasukan, hak siar TV sebanyak 21 persen, adapun pendapatan komersial lainnya seperti tur ke Museum Barcelonamenyumbang 44 persen.
Jumlah pemasukan yang menurun drastis berpotensi mengeruk kas Barcelona lebih dalam untuk biaya operasional. Pasalnya, 69 persen dari total pendapatan musim lalu digunakan untuk membayar gaji pemain. Tak hanya itu, total utang klub yang berjumlah 460 juta euro (Rp 7,4 triliun) diprediksi juga akan membengkak karena proyek ambisius klub untuk merenovasi besar-besaran Stadion Camp Nou yang disebut Proyek Espai Barca.
Di Italia, firma investasi perbankan, Banca IMI, Maret lalu juga mengeluarkan analisis keuangan terhadap penguasa Liga Italia, yakni Juventus, akibat pandemi Covid-19, “Si Nyonya Besar” diprediksi akan mengalami kerugian hingga 122 juta euro (Rp 1,9 triliun) di akhir musim ini. Jumlah itu bersumber dari kerugian 50 juta euro (Rp 805,1 miliar) dari pengurangan dana hak siar, 44 juta euro (Rp 708,5 miliar) dari iklan dan pendapatan komersial lainnya yang batal, dan 28 juta euro (Rp 450,8 miliar) akibat kehilangan pemasukan dari tiket laga.
Saham Juve tergerus
Selain itu, nilai harga saham Juventus juga tergerus karena wabah yang sempat memukul telak Italia. Pada penutupan transaksi bursa saham Italia, 12 Maret lalu, harga saham Juve anjlok 13,55 persen. Meski sempat naik 11,56 persen pada pertengahan Maret, nilai harga saham klub itu belum bisa menyentuh angka seperti sebelum pandemi terjadi.
Adapun Juventus adalah satu-satunya klub Italia yang masuk daftar 10 besar pendapatan terbesar versi Deloitte. Jumlah pendapatan mereka mencapai 463,6 juta euro (Rp 7,46 triliun).
Kekhawatiran terhadap neraca keuangan negatif juga dialami rival abadi Barca, yaitu Real Madrid. Di tengah ketiadaan pemasukan dari tiket laga, hilangnya pendapatan dari wisata klub, dan anjloknya pemasukan dari hak siar TV, uang dari sponsor menjadi satu-satunya harapan “El Real” menjaga keseimbangan finansial.
Real Madrid memiliki 14 kerja sama sponsor dengan berbagai macam perusahaan, di antaranya Adidas, Emirates, Audi, Hankook, Tecate, dan Sanitas. Sayangnya, seluruh sponsor itu mengalami pukulan telak pula dari sisi ekonomi. Padahal, pendapatan sponsor itu menyumbang 45 persen atau sekitar 333 juta euro (Rp 5,36 triliun) dari total pendapatan Real pada musim lalu senilai 740,3 juta euro (Rp 11,9 triliun).
“Apabila tidak ada sepak bola dalam waktu dekat, para sponsor mungkin berpotensi meminta pengembalian dana dari sebagian nilai kontrak untuk melakukan penyesuaian kerja sama,” tutur Direktur Sponsor Global Real Madrid David Hopkinson kepada AS.
Nanun, menurut Rory Stewart-Richardson, pakar bisnis olahraga Insider Sport, wabah Covid-19 tidak akan terlalu signifikan mengubah sikap sponsor terkait kerja sama kemitraannya dengan klub sepak bola. Sebab, mereka menganggap sepak bola, apalgi klub-klub besar, menyediakan target pasar yang sesuai dengan produk mereka.
“Meskipun pandemi adalah masa sulit bagi merek dan pemegang hak (klub sepak bola), kedua belah pihak akan bersikap fleksibel,” prediksi Stewart-Richardson kepada Forbes.
Di sisi lain, Kepala Eksekutif Asosiasi Klub Eropa (ECA) Charlie Marshall menjelaskan, krisis akibat pandemi sangat memukul klub-klub yang mengandalkan pendapatan dari antusiasme fans. Penyebabnya mulai dari pemasukan dari tiket pertandingan yang berhenti karena laga harus dilanjutkan tanpa penonton hingga penurunan penjualan cendera mata.
Ia menuturkan, dampak ekonomi akan menyerang klub di Eropa secara merata karena kelesuan ekosistem industri sepak bola. Salah satu efek negatif, misalnya hilangnya pendapatan tiket laga, akan memberikan efek masif bagi seluruh klub.
“Secara ekonomi, semakin lama krisis berlanjut, maka semakin sedikit tumpukan pendapatan bagi klub-klub besar. Alhasil, semakin serius dampak buruk yang dihasilkan pandemi, maka penderitaan yang akan dialami klub makin besar,” ujar Marshall kepada BBC. (REUTERS/AFP)