Mencari Titik Kompromi
Pandemi Covid-19 memaksa insan olahraga hidup bak katak dalam tempurung. Sebagian dirinya hilang karena isolasi dan ketiadaan panggung prestasi. Diperlukan kompromi norma kehidupan guna memulihkan jati diri ini.
Tidak pernah terbayangkan sebelumnya di pikiran Andre Octaviansyah (17) tentang sulitnya kehidupan sebagai atlet di tengah pandemi Covid-19. Namun, pemain tim nasional sepak bola Indonesia U-19 itu kini harus mengakrabi situasi asing ini.
Seiring dihentikannya semua kompetisi sepak bola nasional sejak 16 Maret lalu menyusul status darurat Covid-19 di Tanah Air, nyaris tidak ada kegiatan produktif yang bisa ia lakukan, kecuali sekadar berlatih menjaga kebugarannya.
Aktivitas rutin itu pun tidak mudah dilakukan di tengah pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Karena butuh tempat luas guna berlari joging, alumnus program Garuda Select di Inggris itu suatu ketika nekat keluar rumah.
”Kebetulan, tidak jauh dari rumah di Depok ada lapangan sepak bola. Nah, waktu ingin joging, saya didatangi penjaga lapangan. Saya dimarahi dan diusir dari lapangan. Alasannya, tidak boleh masuk lapangan karena Covid-19,” ujarnya.
Berbeda dengan kebanyakan profesi lain yang masih bisa dikerjakan di rumah, para atlet, khususnya pesepak bola, tidaklah demikian. Bagi mereka yang terpaksa berlatih di rumah, berlatih joging yang sebelumnya lumrah kini nyaris mustahil dilakukan.
Pengalaman ini juga dialami pemain timnas Indonesia lainnya, Egy Maulana Vikri (19), yang kini berkarier di klub Polandia, Lechia Gdansk. Ia nyaris ditahan polisi ketika tengah berjoging di luar kediamannya.
”Saat itu, Polandia tengah melakukan lockdown (karantina wilayah). Jalanan pun sepi. Saat berlari, saya dihentikan polisi. Kalau lari lagi, kamu akan saya tahan,” ujar Egy menirukan kalimat polisi Polandia itu dalam bincang-bincang dengan Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali di Instagram Live, 10 Mei lalu.
Jeruji besi
Berbagai pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19 telah memaksa para atlet, termasuk di Tanah Air, bak hidup dalam jeruji besi. ”Bingung mengungkapkan rasanya seperti apa. Bosan, hilang, sampai bosan lagi. Saking jenuhnya, saya pernah membayangkan mengubah pelatnas Cipayung jadi kebun binatang. Isinya gajah, harimau, dinosaurus, pokoknya binatang-binatang yang enggak umum,” ujar Pitha Haningtyas Mentari (20), pemain ganda campuran bulu tangkis Indonesia yang sempat menjalani karantina di Cipayung seusai mengikuti turnamen All England di Inggris, Maret lalu.
Kebosanan Pitha terjadi karena ia dan rekan-rekannya tetap tidak diperbolehkan meninggalkan markas bulu tangkis nasional itu, termasuk saat libur latihan, meskipun waktu karantina telah berakhir. Sedikit beruntung, ia memiliki banyak teman senasib di sana. Fasilitas di Cipayung pun sangat lengkap dengan trek lari, ruang latihan kebugaran, hingga kantin makan.
Namun, tidak semua cabang di Tanah Air memiliki fasilitas lengkap seperti di bulu tangkis. Cabang atletik, misalnya, terpaksa ”merumahkan” para atlet. Latihan mereka pun tidak optimal karena penutupan fasilitas umum serta kerap diganggu hujan dan sebagainya. Hal itu, antara lain, dialami pelari cepat kebanggaan Indonesia, Lalu Muhammad Zohri (19). Ia terpaksa pulang dan menyepi ke kampung halamannya di Nusa Tenggara Barat. Padahal, Mei-Juni ini semestinya waktu padat baginya.
(Karena berbagai keterbatasan) Zohri kini lebih banyak berlatih di dalam ruangan atau rumah.
Ia harus meningkatkan kemampuan langkah kakinya guna bersaing dengan para pelari cepat kelas dunia lainnya. Juli mendatang seharusnya menjadi momen karier terpenting juara dunia yunior lari 100 meter tahun 2018 itu. Ia atlet atletik nasional pertama yang dipastikan lolos ke Olimpiade Tokyo 2020. Perhelatan akbar itu telah ditunda ke Juli 2021.
”(Karena berbagai keterbatasan) Zohri kini lebih banyak berlatih di dalam ruangan atau rumah. Latihannya praktis hanya untuk menjaga kebugaran dan penguatan otot inti,” kata Fadli, asisten pelatih lari cepat Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI), dihubungi pada Jumat (29/5/2020) di Jakarta.
Bagi atlet seperti Zohri, yang terbiasa hidup dengan berlari, harus melakukan latihan di rumah ibarat ikan menggelepar di daratan. Maka itu, diperlukan kompromi keadaan, salah satunya lewat norma baru, agar para atlet bisa kembali bangkit dan menjalani jati diri mereka seutuhnya.
Pelonggaran PSSB membuka peluang terciptanya kondisi normal baru, yaitu berdamai dan hidup berdampingan dengan pandemi Covid-19. Dibukanya kembali fasilitas umum olahraga dengan norma baru, misalnya pembatasan jarak, bisa membantu atlet mengasah diri dan menjalani kembali kehidupannya yang hilang.
”(Pelaku) Olahraga harus pelan-pelan mulai beradaptasi (dengan kondisi normal baru). Ini penting untuk menumbuhkan kembali kepercayaan diri, khususnya para atlet. Itu juga bisa membantu menjalankan kembali roda perekonomian di olahraga,” ujar Fritz Simanjuntak, pengamat olahraga.
Periuk nasi
Status darurat pandemi dan berbagai pembatasan tidak hanya menyulitkan aktivitas latihan atlet. Terhentinya semua kegiatan olahraga, khususnya kejuaraan atau kompetisi, telah mengancam periuk nasi para atlet profesional, seperti pemain sepak bola dan basket.
Selama masa pandemi, akibat dihentikannya kompetisi Liga 1 Indonesia, para pemain sepak bola profesional hanya mendapatkan gaji maksimal 25 persen dari nilai kontrak atau pendapatan normal mereka. Pendapatan mereka itu bahkan terancam nol jika Liga 1 diputuskan diakhiri dini dan tidak ada turnamen pengganti.
Kecemasan ini salah satunya dialami kiper klub Madura United, Muhammad Ridho (28). Selain berlatih ringan, di tengah kevakuman kompetisi, ia terpaksa menjadi ”asisten rumah tangga” dadakan, yaitu membantu istrinya memasak dan berjualan makanan ringan selama bulan Ramadhan lalu.
Ridho dan istrinya berjualan makanan di Bangkalan, Madura, Jawa Timur, seraya mengisi waktu luang sekaligus mendapatkan tambahan uang selama masa pandemi. Keduanya juga mengelola akun Youtube, Muhridho Djazulie.
”Itu untuk menghibur diri sekaligus menghilangkan kejenuhan saat libur kompetisi (Liga 1),” ujar Ridho, kiper timnas sepak bola Indonesia.
Bagi pemain sepak bola profesional seperti Ridho, kevakuman kompetisi bukan hal asing. Pada 2015, ribuan pesepak bola, wasit, dan pelatih juga pernah menganggur lama menyusul ditiadakannya liga akibat perselisihan PSSI dengan pemerintah.
Pada masa kevakuman liga yang juga diwarnai pembekuan PSSI oleh Badan Sepak Bola Dunia (FIFA) itu, banyak pesepak bola profesional yang terpaksa bermain tarkam atau turnamen sepak bola antarkampung. Padahal, bayarannya, yaitu Rp 200.000 hingga Rp 500.000, tidak sebanding dengan risiko cedera yang ditanggung.
Tidak sedikit pula yang banting setir menjadi pedagang musiman dan pengemudi ojek daring. Tak heran, Asosiasi Pesepak Bola Profesional Indonesia (APPI) sangat berharap kompetisi sepak bola nasional musim ini bisa dilanjutkan, tidak ditiadakan seperti 2015 silam.
Menurut dia, Liga 1 bisa dilanjutkan sepanjang ada norma tegas yang melindungi para pelakunya dari ancaman penularan virus korona baru. Norma itulah yang disebut dengan protokol normal baru, yang saat ini tengah dinanti-nantikan para pemangku kepentingan di olahraga dan bidang lain.
Mereka tidak ingin pembukaan kembali kegiatan olahraga demi alasan ekonomi justru mengundang masalah besar lain, yaitu penyakit Covid-19, ke rumahnya. ”Jika kompetisi dilanjutkan, perlu ada protokol kesehatan yang wajib diterapkan saat di tempat latihan, stadion, dan rumah,” kata Firman Utina, Presiden APPI.
Protokol kesehatan
Hal serupa disampaikan para pengelola klub. ”Manajemen Persija sangat berharap liga dapat berjalan kembali. Tetapi, kami ingin situasi keselamatan dan keamanan telah kondusif. Apabila liga bergulir lagi, protokol kesehatan Covid-19 harus dipahami semua pemangku kepentingan dan dapat diimplementasikan dengan baik,” tutur Direktur Olahraga Persija Jakarta Ferry Paulus.
Menyikapi hal itu, Menpora Zainudin Amali mengungkapkan, pihaknya kini tengah berupaya menyusun protokol normal baru itu dengan melibatkan para pihak terkait, seperti Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), Komite Olimpiade Indonesia (KOI), dan Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (FORMI).
Jumat lalu, mereka menggelar rapat daring membahas protokol itu. ”Kami ingin protokol ini segera disahkan karena akan menjadi bahan masukan kepada Presiden ketika ada rapat terbatas,” ujar Amali.
Protokol itu bisa menjadi kunci kompromi, yaitu hidup di tengah pandemi. Syaratnya, sepanjang para pelakunya konsisten dan disiplin menegakkan norma itu. (YULIA SAPTHIANI/ MUHAMMAD IKHSAN MAHAR)