Tunjukkan Sikap untuk Jadi Panutan
Dengan mundurnya Tontowi Ahmad, tongkat estafet prestasi bulu tangkis di nomor ganda campuran menjadi tanggung jawab Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti dan Hafiz Faizal/Gloria Emanuelle Widjaja.
JAKARTA, KOMPAS - Setelah Tontowi “Owi” Ahmad pensiun, Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti dan Hafiz Faizal/Gloria Emanuelle Widjaja menjadi pemain paling senior di sektor ganda campuran pelatnas bulu tangkis. Selain prestasi, sikap mereka juga harus menjadi panutan pemain-pemain yang lebih muda.
Owi menyatakan mundur sebagai pemain pelatnas, melalui akun Instagram dan surat pada PP PBSI, pada Senin (18/5/2020). Dia mengakhiri kariernya sebagai pemain pelatnas bulu tangkis Cipayung selama 14 tahun.
Setelah meraih semua gelar juara dalam ajang besar, pada akhirnya Owi dihadapkan pada berkurangnya motivasi untuk bertanding. Padahal, dorongan dari diri sendiri untuk mencapai tujuan tertentu itu menjadi modal terpenting bagi atlet.
Selain itu, Owi juga ingin lebih dekat dengan keluarga. Selama ini, waktunya lebih banyak digunakan untuk berlatih berlatih di Cipayung dan bertanding di luar negeri, setidaknya dua pekan dalam sebulan.
Mundurnya Owi terjadi sekitar setahun setelah Liliyana “Butet” Natsir pensiun pada awal 2019. Indonesia pun kehilangan pasangan yang telah mempersembahkan berbagai gelar juara di ajang bergengsi, seperti All England 2012-2014, Kejuaraan Dunia 2013 dan 2017, serta Olimpiade Rio de Janeiro 2016.
Dengan prestasi itu, seperti dikatakan legenda bulu tangkis Indonesia, Christian Hadinata, Owi/Butet telah menjadikan ganda campuran sebagai nomor bergengsi, bukan lagi anak tiri.
Tanpa Owi/Butet, tanggung jawab memimpin ganda campuran ada pada Praveen/Melati dan Hafiz/Gloria. Kini mereka menjadi ganda campuran Indonesia berperingkat terbaik, masing-masing peringkat keempat dan kedelapan dunia.
Praveen/Melati bahkan telah masuk daftar pasangan elite dunia dengan menjuarai Denmark dan Perancis BWF Super 750 pada 2019, serta All England 2020.
Dari sisi usia, pemain-pemain dalam rentang 25-26 tahun itu, juga menjadi yang paling senior. Selain dari prestasi, mereka bertanggung jawab untuk memiliki sikap profesional di lapangan dan luar lapangan sebagai contoh bagi yang lain. Apalagi, Owi/Butet telah menunjukkan hal itu hingga menjadi panutan bagi yang lain.
Owi/Butet memiliki kedisiplinan dalam latihan, mengikuti semua program yang ditetapkan pelatih meski sangat berat. Dia pun selalu berusaha keras memperbaiki kekurangan, sejak pertama kali dipasangkan dengan Butet pada 2010.
Dalam menghadapi ajang penting, seperti Olimpiade, tak jarang mereka menambah porsi latihan sendiri. Richard pernah bercerita, menjelang Rio 2016, dia sering melihat Butet datang paling awal meski jam latihan belum dimulai. Tak jarang, Richard diminta menemani dalam latihan tambahan atas inisiatif Owi/Butet.
“Saya sangat senang saat diminta membantu dalam latihan tambahan. Sayangnya, itu tak dilakukan pemain lain di bawah mereka,” kata Richard pada satu waktu.
Owi/Butet juga disiplin dalam kehidupan di luar latihan. Sebelum pensiun, Butet bercerita bahwa dia membatasi waktu bergaul dengan teman-temannya. Hal itu dilakukan agar selalu memiliki waktu istirahat yang cukup hingga bisa berlatih dengan maksimal.
Sikap disiplin di luar lapangan ini sangat penting bagi Richard. Dia pun selalu menilai sikap itu dari anak-anak didiknya.
“Saat atlet bisa disiplin membersihkan lapangan, membereskan peralatan, dan membuang sampah setelah latihan, atau menjaga kerapian kamar, mereka juga akan terbiasa dengan nilai-nilai disiplin dalam latihan dan pertandingan,” tutur Richard.
Ini pernah menjadi persoalan bagi Richard ketika Praveen beberapa kali mendapat peringatan karena tak disiplin latihan. Selain tak datang tepat waktu, dia pun pernah berlatih tanpa sikap yang serius.
“Sekarang, semua sudah terlihat semakin dewasa dalam bersikap sebagai pemain elite senior karena mereka harus jadi contoh untuk adik-adiknya. Yang paling terlihat adalah Ucok (panggilan Praveen). Latihan selalu datang tepat waktu dan serius dalam menjalankan program,” kata Richard.
Kehadiran senior yang perilakunya bisa dijadikan contoh, dinilai Hendra Setiawan, sangat penting dalam karier atlet. Sejak sebelum dan pada masa-masa awal menjadi bagian dari pelatnas, Hendra meneladani sikap profesional Candra Wijaya dan Tony Gunawan.
“Saat saya masuk pelatnas, yang masih ada adalah Candra dan Sigit Budiarto. Tetapi, sejak sebelum menjadi atlet pelatnas, saya terbiasa menjadi lawan latih tanding para senior. Jadi, saya bisa melihat bagaimana mereka latihan, juga, dalam keseharian di dalam dan luar lapangan,” kata Hendra, yang kini dijadikan panutan pemain-pemain ganda putra.
Praveen pun menyadari tanggung jawabnya setelah ditinggalkan Owi/Butet. Dijumpai sebelum Owi mengumumkan pengunduran dirinya, Praveen menyebut tiga poin penting yang akan dicontoh dari seniornya itu, yaitu selalu mengikuti apa yang dikatakan pelatih, mati-matian di lapangan, dan tidak mau dinilai sebagai senior agar para yunior tak sungkan untuk berkomunikasi dengannya.
“Mau tidak mau, saya harus siap dengan situasi ini karena enggak ada lagi senior yang lain di ganda campuran. Sekarang, saya harus mencari jadi diri yang benar untuk menjadi panutan yang baik,” kata Praveen.
Status magang
Faktor lain yang membuat Owi mundur dari pelatnas adalah statusnya sebagai pemain magang yang diberikan PP PBSI. Setiap awal tahun, PBSI menetukan status setiap atlet pelatnas yang terbagi dalam Pelatnas Utama dan Pratama. Dalam setiap level, terdapat atlet dengan status magang selain yang diberi status utama.
Atlet magang adalah mereka yang menerima semua hak dan fasilitas berlatih, namun harus mengeluarkan biaya sendiri untuk mengikuti turnamen, seperti yang dijalani Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan. Ini berbeda dengan atlet utama yang mendapat semua hak berlatih dan bertanding secara penuh dari PBSI.
“Bukan enggak terima, saya berpikir status magang itu untuk atlet yunior di pelatnas. Kalau seperti saya, bisa dibilang senior, kok magang? Tahun lalu, saya masih nomor satu dan masih masuk final,” kata Owi.
Ketua Bidang Pembinaan Prestasi PP PBSI Susy Susanti pun menjelaskan persoalan tersebut. Diceritakan Susy, status itu diberikan karena sesuai program tim ganda campuran, yang disampaikan pada awal 2020, Owi belum diberi pasangan main.
Setelah berpisah dengan Butet, Owi dipasangkan dengan pemain muda, Winny Oktavina Kandow, pada 16 turnamen 2019. Adapun pada Indonesia Masters 2020, Januari, dia bermain bersama Apriyani Rahayu.
“Saat promosi dan degradasi awal 2020, Richard melaporkan bahwa Winny akan dipasangkan kembali bersama partner sebelumnya, Akbar Bintang Cahyono. Owi pun tidak punya pasangan main. PBSI tetap memberikan kesempatan kepada Owi, tetapi dengan status magang karena belum punya pasangan tetap," tutur Susy dalam laman resmi PBSI.
Dijelaskan pula, dalam situasi tersebut, PBSI masih memberikan kesempatan pengiriman ke turnamen untuk Owi dengan syarat disertai dengan target yang jelas. PBSI memberi kesempatan pada turnamen, tetapi bisa bertambah jika Owi dan partnernya memberi hasil baik.
“Pada 2020, PBSI harus bijak dalam mengatur prioritas hingga anggaran pengiriman pemain diutamakan bagi mereka yang diprogramkan untuk Olimpiade Tokyo 2020,” kata Susy.