Jordan Taklukkan Zaman
Legenda NBA, Michael Jordan, bertarung melewati zaman untuk memperebutkan status yang terhebat sepanjang masa alias ”GOAT”. Sang pesaingnya yang jauh lebih muda, LeBron James, kini harus mengakui keunggulan Jordan itu.
Hadirnya film serial dokumenter The Last Dance merupakan bentuk pertahanan Michael Jordan terhadap dinastinya sebagai terbaik sepanjang masa atau disingkat ”GOAT”. Setelah seri itu tuntas, Jordan memenangi pertarungan status itu menghadapi LeBron James, pemain aktif yang kini membela LA Lakers.
James adalah ancaman terbesar bagi takhta Jordan sebagai GOAT. Dengan perbedaan dua dekade, kehebatan MJ yang pensiun pada 2003 hanya menyisakan cerita-cerita dari generasi ”tua”. Sementara itu, kehebatan James, yang masih aktif bermain, nyata di mata generasi muda saat ini.
Namun, The Last Dance, yang telah selesai tayang selama 10 episode, mengembalikan realitas siapa sosok Jordan sebenarnya. Pertarungan keduanya pun kembali mencuat dan ramai diperbincangkan publik, khususnya dari beda generasi.
Jordan pun tampaknya berhasil mempertahankan takhtanya. Pekan lalu, ESPN merilis daftar 74 pemain terbaik di NBA berdasarkan penilaian para pengamat basket. MJ menyandang status GOAT di posisi pertama daftar tersebut, disusul James di posisi kedua.
ESPN juga merilis tanggapan penggemar basket soal Jordan vs James. Ternyata, The Last Dance mendorong 73 persen penggemar meyakini bahwa MJ pebasket terbaik sepanjang masa, mengungguli James.
Namun, semua itu merupakan penilaian subyektif. Karena itu, penilaiannya tidak lepas dari pro dan kontra. Banyak yang tidak puas dan menilai ”Raja” James lebih baik dari Jordan. Itu salah satunya datang dari mantan pebasket NBA, Kendrick Perkins.
Bicara soal statistik, James memang pemain yang lebih komplet. Meskipun jumlah poin setiap pertandingannya lebih rendah dari Jordan, efisiensi tembakannya lebih tinggi. Kelengkapannya ditunjukkan juga dengan unggul jumlah rebound dan asis.
Angka menawan James mendukung keunggulan atletisme dan IQ basket miliknya. ”Angka itu memperlihatkan individual mana yang lebih hebat. Bron adalah GOAT saya,” kata Perkins yang pernah setim dengan James di Cavaliers.
James dan Jordan sangatlah sulit untuk dibandingkan. Perbedaan generasi membuat perbandingan mereka tidak semudah menentukan GOAT di antara pesepak bola ternama, seperti Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo.
Evolusi permainan
Statistik bukanlah pembanding yang adil dengan perbedaan zaman. Dalam dua dekade, peraturan dan gaya bermain berevolusi dengan cepat. Statistik James memang lebih lengkap. Namun, tempo permainan modern juga lebih cepat, yang membuat kesempatan poin, rebound, dan asis pun ikut meningkat.
Contoh nyatanya, mengapa tidak ada pebasket yang bisa menyamai rekor 100 poin dalam satu pertandingan milik Wilt Chamberlain pada 1962? Bukan tidak ada pemain yang lebih hebat darinya saat ini. Melainkan, peraturan dimodifikasi agar satu pemain tidak bisa sangat dominan seperti itu. Perubahan tergantung situasi ini kerap terjadi dan bisa memacu atau justru menekan statistik pemain.
Karena itu, statistik tidak relevan dibawa melintasi zaman. Ada pembanding yang lebih baik, yaitu prestasi individu dan tim. Di posisi ini, Jordan memiliki segalanya. Ia meraih enam cincin juara NBA enam kali dari enam final bersama Chicago Bulls.
Tak hanya itu, deretan capaian individu juga ia raih. Itu antara lain enam kali pemain terbaik (MVP) di final, lima kali MVP musim reguler, sepuluh kali gelar pencetak poin terbanyak, dan sembilan kali terpilih masuk ke tim dengan pertahanan terbaik.
Semua prestasi itu jauh mengungguli James yang hanya tiga kali meraih cincin juara NBA dan tiga kali MVP final NBA. Selain itu, bicara soal prestasi, yang tak kalah pentingnya adalah kapan prestasi itu diraih.
Bill Russel, mantan pebasket Boston Celtics, tidak diragukan adalah peraih gelar juara terbanyak dengan 11 cincin juara. Namun, Russel mendapatkan itu saat NBA belum kompetitif, yaitu 1957-196.9 Tidak lebih dari empat tim yang mampu mendominasi kala itu, termasuk Celtics.
Adapun Jordan memenangi segala prestasi itu di era terbaik NBA. Penandanya, era itu menghadirkan ”Tim Impian” AS atau timnas basket versi terbaik sepanjang masa, yaitu pada Olimpiade Barcelona 1992. Tim yang diisi pemain terbaik, seperti Larry Bird, Magic Johsnson, dan Charles Barkley, itu lantas dipimpin Jordan.
Jordan membangun ”dinasti” dengan perjuangan sendiri. Dia harus menunggu tujuh tahun sebelum meraih gelar pertama. Ia mengubah nasib tim pecandu kokain menjadi juara.
Tak kalah penting, cara mendapatkan gelar itu pun menjadi pertimbangan. Jordan membangun ”dinasti” dengan perjuangan sendiri setelah diambil Bulls pada 1984. Dia harus menunggu tujuh tahun sebelum meraih gelar pertama. Jordan mengubah nasib tim pecandu kokain menjadi juara.
Sementara itu, James meraih juara pertamanya setelah memutuskan pindah ke Miami Heat yang telah memiliki duo All-star NBA, Chris Bosh dan Dwyane Wade. Dia pindah ke klub itu karena tidak mampu meraih gelar juara di tim pertamanya, Cavaliers.
Fenomenal
Faktor yang dimiliki seorang GOAT adalah seberapa fenomenal dirinya. Dalam The Last Dance, Jordan selalu menjadi "bibit kehidupan". Di mana pun dia berada, ladang kering bisa menjadi tanah tersubur. Tak hanya Bulls, NBA dan Nike juga menjadi bukti keajaibannya.
Mantan Komisioner NBA David Stern (1984-2014) menyebut, liga pada 1992 hanya disiarkan di 82 negara. Saat ini, NBA sudah masuk ke lebih dari 215 negara. Semua itu tak lepas dari kontribusi besar MJ.
Bukti lainnya, hingga sekarang, belum ada yang mampu menandingi jumlah penonton NBA pada 1998. Dalam pertandingan terakhir Jordan bersama Bulls, yaitu di final melawan Utah Jazz, tayangan itu disaksikan oleh 35 juta penonton. Semusim tanpa Jordan, penonton tayangan final 1999 tergerus hingga 70 persen.
Pada masa itu, Jordan menjelma duta basket NBA di abad ke-20. Wajahnya melampaui industri basket dan bersanding bersama atlet terhebat dari cabang lainnya, seperti Pele (sepak bola) dan Muhammad Ali (tinju).
Berbicara GOAT, maka tidak lepas dari pengakuan orang lain. James sejauh ini dianggap lebih baik oleh mantan rekannya sendiri, mulai Perkins hingga Channing Frye. Keduanya menilai Jordan hanya punya kelebihan menembak.
Seperti Tuhan
Padahal, ketika masih aktif bermain, Jordan sempat dipuji Bird sebagai ”Tuhan” yang menyamar. Barkley, pemain terbaik NBA musim 1993, juga mengakui, hanya Jordan yang lebih baik dari dirinya. Sementara itu, Johnson seperti menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan kepada Jordan di tim nasional AS saat Olimpiade Barcelona 1992. Tim itu pun menjadi juara tak terbantahkan.
”Untuk semua milenial yang membeli sepatunya, tetapi tidak pernah melihatnya bermain, kalian harus melihat mengapa dia sangat berharga. Itu akan menempatkan dia (Jordan) sebagai pemain terbaik yang pernah ada. Titik,” kata juara NBA empat kali, Shaquille O’Neal.
Tuhan hanya membuat satu orang seperti Jordan. Tidak akan ada lagi pemain yang sebesar atau lebih besar darinya.
James memang belum pensiun. Prestasinya masih bisa lebih banyak. Akan tetapi, mantan rekannya, Wade, melihat James tidak akan pernah bisa melampaui Jordan. “Dia (Jordan) adalah GOAT yang terpilih,” ucap Wade.
Kehadiran The Last Dance seperti menyadarkan realitas dari ucapan mantan asisten Chicago Bulls, Johnny Bach. Dalam wawancara bersama Sport Illustrated, dia mengatakan, Tuhan hanya membuat satu orang seperti Jordan. Tidak akan ada lagi pemain yang sebesar atau lebih besar darinya.
James mungkin pebasket terbaik dalam dekade ini. Itu yang membuatnya disebut sebagai sang raja. Namun, setidaknya sampai saat ini, takhta GOAT masih berada di tangan Jordan, sang manusia setengah dewa. (AP/REUTERS)