Laga panas Borussia Dortmund kontra Schalke akan menandai dimulainya kembali Liga Jerman yang sempat terhenti. Derbi Ruhr itu ibarat jantung dunia yang memompa kembali gairah ke sepak bola yang mati suri akibat pandemi.
Oleh
Kelvin Hianusa
·5 menit baca
Setengah abad lalu, FC Schalke 04 mendatangkan seekor singa untuk meneror para pemain Borussia Dortmund. Schalke melakukan hal tidak rasional itu demi membalaskan dendam pemainnya yang digigit anjing milik pendukung sang rival sekota, Dortmund, setahun sebelumnya.
Ide gila itu datang dari mantan Presiden Schalke Guenter Siebert pada 1970. Dia menyewa singa dari kebun binatang setempat. Singa, yang merupakan hewan predator, dijadikan hewan penjaga lapangan stadion mereka. Upaya itu semata-mata untuk balik menakuti pemain Dortmund.
Siebert masih dendam karena pemain Schalke digigit anjing penjaga di markas Dortmund. Sebenarnya, anjing penjaga itu ingin mengamankan fans Schalke yang masuk ke lapangan. Namun, celakanya, anjing itu justru menggigit pemain lawan.
Kisah anjing melawan singa ini hanya segelintir dari kisah panas derbi Ruhr yang dijuluki sebagai ”ibu dari segala derbi” di Jerman. Meski kedua klub yang terletak di Lembah Ruhr itu hanya dipisahkan jarak 30 kilometer, setara dari Jakarta Barat ke Jakarta Timur, perseteruan para pendukung mereka begitu sengit dan mengakar.
Dari kedekatan geografis, duel sekota ini mirip derbi Della Madonnina yang menyajikan duel dua klub di Milan, Italia, yaitu AC dan Inter Milan. Bedanya, derbi Ruhr lebih bernyawa karena dihidupi fanatisme pendukung mereka yang mayoritas merupakan kelas pekerja, yaitu di bidang tambang.
Jika Milan terkenal dengan kota fashion, Lembah Ruhr merupakan pusat industri batubara. Pendukung fanatik atau ultras Dortmund dan Schalke memiliki jiwa lapar dan sangat fanatik dengan klub masing-masing. Kedua klub itu ibarat identitas kebanggaan mereka yang akan dibela sampai mati.
Kebencian dalam derbi ini lahir alamiah dari perseteruan dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari ejekan yang didapat saat bertemu di jalan. Ini sangatlah berbeda, misalnya, dengan derbi Der Klasikker, Dortmund vs Muenchen, yang diglorifikasi media karena prestasi. Meskipun prestasi Schalke pernah terbang ke langit, lantas jatuh ke palung laut, rivalitas di derbi Ruhr tak pernah surut dari tahun ke tahun.
Kisah anjing melawan singa ini hanya segelintir dari kisah panas derbi Ruhr atau yang dijuluki sebagai ”ibu dari segala derbi”.
Bagai air dan minyak
Di Ruhr, hanya ada dua keyakinan, yaitu hitam-kuning warna kebanggaan Dortmund atau biru royal yang jadi warna identitas Schalke. Bagaikan air dan minyak, kedua pendukung klub itu tidak bisa disatukan.
Kevin Grosskreutz, mantan pemain Borussia yang juga lahir di Dortmund, pernah ditanya, apa yang akan dilakukan jika anaknya kelak mendukung Schalke. Dengan lantang, ia lantas menjawab akan memberikan sang anak ke panti asuhan terdekat. Begitulah kira-kira dalamnya rasa kebencian pendukung kedua klub itu.
Derbi bergengsi ini akan menjadi laga pembuka dimulainya kembali Bundesliga Jerman pada Sabtu (16/5/2020) pukul 20.30 WIB. Dortmund berperan sebagai tuan rumah pada laga tanpa penonton di Stadion Signal Iduna Park ini.
Namun, tanpa penonton yang menghidupkan rivalitas itu, derbi ini akan terasa aneh. Rasanya bak sayur tanpa garam. Apalagi, laga itu digelar di stadion berkapasitas 80.000 kursi dengan pendukung paling fanatik sedunia. Tidak akan ada barisan ”Tembok Kuning”, sebutan barikade fans fanatik Dortmund di tribune Stadion Iduna Park bagian selatan.
”Derbi tanpa fans membuat hati Anda bakal berdarah,” kata Direktur Olahraga Dortmund Michael Zorc mendramatisasi tatanan baru yang muncul akibat pandemi Covid-19 itu.
Penonton Tembok Kuning biasanya paling beringas. Dengan tiket termurah dibandingkan dengan tribune lainnya, ultras berpenghasilan rendah selalu meluapkan kecintaan mereka dengan nyanyian dan teriakan yang mengintimidasi lawan.
Laga tanpa penonton ini juga bisa merugikan tim tandang. Meskipun jumlahnya lebih sedikit, fans tandang biasanya lebih spartan. Butuh perjuangan dan keberanian guna datang ke markas lawan. Pengorbanan itu sering memberikan suntikan moral. Buktinya, musim lalu, Schalke sukses memecundangi tuan rumah Dortmund.
Jantung dunia
Walaupun tanpa penonton, hasil pertandingan ini tetap penting, terutama bagi Dortmund. Klub yang banyak menelurkan pesepak bola hebat, seperti Marco Reus, Mats Hummels, Shinji Kagawa, dan Pierre-Emerick Aubameyang, itu membutuhkan poin-poin untuk menjaga peluang juara Bundesliga musim ini.
Saat ini, Dortmund berada di peringkat kedua, terpaut empat poin dari juara bertahan sekaligus pemuncak klasemen, Bayern Muenchen. ”Menyakitkan tanpa penonton. Tetapi, kami akan mengobati rasa sakit itu dengan meraih kemenangan untuk mereka. Kemenangan penting untuk membawa kami mendekati gelar juara,” kata penyerang sayap Dortmund, Julian Brandt, di situs Bundesliga.
Meski begitu, jangan harap Schalke akan gentar sedikit pun. Haram hukumnya bagi Schalke melapangkan perjalanan Dortmund menuju trofi juara. Bagi para pendukung, melihat tim tetangga sukses dan berjaya adalah lebih sakit daripada menyaksikan kegagalan timnya sendiri.
Tak heran, Daniel Caliguiri, punggawa Schalke, menabuh genderang perang. Baginya, derbi adalah derbi, entah itu dengan atau tanpa penonton. ”Ini sangat penting bagi kami dan para pendukung. Kami akan memastikan berada di atas (menang) saat pertandingan selesai,” ucapnya.
Dua dekade lebih berlalu, dua klub Ruhr itu kembali menjadi ”jantung dunia”. Mereka memompa kembali gairah ke sepak bola yang sempat dua bulan mati suri akibat pandemi.
Takhta Eropa
Memanfaatkan momentum dilanjutkannya kembali Bundesliga, dua klub di Lembah Ruhr ini akan kembali menjadi sorotan publik sepak bola dunia. Hal ini terakhir kali terjadi pada 1997, yaitu saat Dortmund menjuarai Liga Champions Eropa dan Schalke memenangi Piala UEFA.
Saat itu, takhta sepak bola Eropa pun seolah berada di Lembah Ruhr. Tak heran, legenda sepak bola Jerman, Franz Beckenbauer, sampai berkata, ”jantung sepak bola Jerman berada di Ruhr”. Jadi, bukan di Muenchen, kota markas klub yang pernah lama dibelanya.
Dua dekade lebih berlalu, dua klub Ruhr itu kembali menjadi ”jantung dunia”. Mereka memompa kembali gairah ke sepak bola yang sempat dua bulan mati suri akibat pandemi.