Michael Jordan tidak hanya keras pada dirinya, tetapi juga terhadap rekan-rekan setim di Chicago Bulls. Mentalitas itu yang membuat Dinasti Bulls sebagai yang terbaik.
Oleh
Kelvin Hianusa
·4 menit baca
Bermain satu tim bersama pemain terbaik sepanjang sejarah Michael Jordan di era keemasan Chicago Bulls (1991-1998), jauh dari gambaran surga. Rekan-rekan setimnya seakan terkurung dalam penjara, sementara Jordan berperan sebagai sipir yang selalu mengawasi mereka.
Mengerikannya Jordan bagi rekan-rekan setimnya di Bulls terangkum dalam episode terbaru seri dokumenter The Last Dance yang tayang pada Senin (11/5/2020). Rekan-rekan setimnya hampir selalu mendapat perkataan intimidatif, yang beberapa kali berakhir dengan tinju dari MJ, sapaan Jordan.
”Orang-orang takut kepadanya padahal kami rekan setim, tetapi kami takut. Itu asli sebuah ketakutan. Penyebabnya adalah MJ,” kata mantan pemain Bulls (1994-1998), Jud Buechler.
Perasaan seperti di penjara memang menjadi bagian dari keseharian latihan Bulls. Akan tetapi, Jordan tidak memperlakukan semua orang seperti itu, tidak kepada Scottie Pippen dan Dennis Rodman. Tekanan itu hanya diberikan kepada pemain yang tidak mampu mengikuti intensitasnya untuk menjadi juara.
Salah satu perkelahian yang paling menyita perhatian adalah saat Jordan meninju wajah guard Bulls (1993-1998), Steve Kerr, pada latihan musim 1995/1996. Perkelahian itu terjadi setelah Kerr muak dengan tekanan terus-menerus yang diberikan Jordan.
Kerr kemudian menyadari, tekanan itu merupakan cara sang kapten untuk membuat mentalnya lebih kuat. Ketika bisa menahan ucapan intimidatif darinya, pemain tersebut pasti akan kuat mentalnya saat bertarung di babak penyisihan. ”Dia ingin mental Anda lebih kuat,” kata mantan pemain yang sekarang melatih Golden State Warriors tersebut.
Jika dilihat lebih jauh, tekanan dari Jordan bukan tanpa alasan. Musim 1995/1996 sangat penting baginya karena menjadi pembuktian Jordan yang kembali setelah pensiun selama 18 bulan.
Sebagai salah satu atlet paling kompetitif, dia ingin berjaya lagi bersama Bulls. Perkelahian itu tidak percuma. Bulls merajai musim dengan rekor musim reguler terbaik sepanjang masa kala itu (72 menang, 10 kalah).
Pada musim terakhirnya di Bulls, 1997-1998, Jordan juga sering menekan sang anak baru, Scott Burrel. Hanya saja, Burrel terlalu baik dan penurut untuk melawan pemilik sepatu Air Jordan tersebut.
Burrel melihat hal yang dilakukan Jordan sangat masuk akal. Sebagai pemain terbaik yang pernah ada, dia menginginkan pemain lain berada di level yang sama. ”Itu memang berat karena dia akan mendorong Anda sampai di titik yang diinginkan,” ucapnya.
Tiran Jordan
Cara Jordan terbukti efektif. Namun, bukan berarti tidak berdampak terhadap atmosfer tim. Sang Pelatih Phil Jackson berkali-kali menegurnya. Sebagai pelatih yang mengutamakan keharmonisan tim cukup terganggu dengan tekanan dari sang kapten.
”Saya berbicara untuk menurunkan sedikit nadanya kepada dengan rekan tim. Dia seharusnya menjadi perekat. Itu juga merupakan tugasnya, sebagai kapten,” sebut pelatih yang bisa menjinakkan pemain bandel seperti Rodman atau Ron Artest itu.
Namun, Jordan adalah Jordan. Baginya, penting membuat rekan-rekan setim menyamai mentalitas yang dimilikinya. Tanpa itu, tidak mungkin Bulls bisa menjadi dinasti terbaik sepanjang sejarah dengan enam cincin juara.
”Mentalitas saya adalah untuk menang dengan segala cara. Jika Anda tidak mau hidup dalam mentalitas itu, jangan berada di dekat saya. Karena saya akan memaksa Anda sampai bisa berada satu level dengan saya. Jika tidak bisa, maka itu neraka untuk Anda,” katanya.
Jordan menyadari betul. Sistem permainan Bulls diperuntukkan untuk satu tim, bukan hanya dirinya. Jordan tidak bisa menang sendirian. Begitu pula timnya tak mampu berbuat banyak tanpa Jordan.
Apalagi dengan sistem serangan segitiga ala Phil Jackson. Sistem itu membutuhkan andil dari seluruh pemain. Dengan rotasi bola terus-menerus, semua pemain di lapangan bisa menjadi eksekutor di lima detik terakhir dalam partai final.
Karena itu, Jordan cenderung tak peduli dengan cap dirinya sebagai pemain kejam. Menurut dia, semua itu ada harganya, termasuk kemenangan. Semua harga itu akan terbayar lunas ketika cincin juara tersemat di jarinya.
Rekan setim Jordan, Will Perdue, menyampaikan jangan sampai salah menilainya. ”Dia memang seorang bajingan yang sering melewati batas. Namun, seiring berjalannya waktu, kamu akan berpikir apa yang sedang dia ingin capai. Setelah itu kamu akan berpikir bahwa dia adalah seorang penyelamat,” pungkasnya. (AP)