Kisah tentang gladiator Commodus perlu diingat kembali. Keinginan menggelar kembali kompetisi Liga Italia Serie A jangan sampai menimbulkan gelombang kedua penularan Covid-19.
Oleh
Adrian Fajriansyah
·5 menit baca
Seisi kota Roma panik. Setelah dilanda krisis pangan dan wabah penyakit, ibu kota kekaisaran Romawi itu rusak parah setelah dilanda kebakaran hebat pada tahun 191. Warga hingga pejabat kebingungan. Namun, di atas istana megahnya, Kaisar Roma Commodus atau Lucius Aurelius Commodus justru tersenyum picik.
Bagi Commodus, bencana itu adalah peluang dirinya untuk mencapai titik balik kegelimangan. Sejak memerintah pada 177, keberadaan Commodus terus di bawah bayang-bayang kejayaan ayahnya, Marcus Aurelius, yang memerintah kekaisaran selama 161-180 dan dianggap sebagai salah satu dari lima kaisar terbaik yang pernah memimpin emperium tersebut. Commodus dicap sebagai kaisar yang hanya pandai berfoya-foya, sedangkan ayahnya dikenal sebagai kaisar yang ahli militer sekaligus filsuf ulung.
Tak ayal, saat semua warga Roma berduka, Commodus justru merencanakan proyek mercusuar dengan menyatakan dirinya sebagai Romulus baru atau pendiri kota Roma yang baru. Dirinya membangun ulang kota dan melekatkan namanya pada setiap bangunan, nama kota, hingga sistem penanggalan.
Salah satu puncak ambisi Commodus adalah menggelar pertarungan gladiator terbesar yang pernah ada di kekaisaran tersebut pada 192. Bahkan, ia pun menyatakan turun langsung sebagai gladiator, sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh para kaisar sebelumnya. Dengan cara itu, dirinya ingin menghibur dan mengambil hati rakyat agar semakin mengakuinya sebagai penguasa sejati.
Nyatanya, ide Commodus yang mengebu-gebu itu awal dari petaka hidupnya. Ia dikenal sebagai pemuda yang tak pandai bela diri. Sebelum pertarungan dimulai, dirinya meminta Narcissus, salah satu gladiator terbaik yang pernah ada untuk melatihnya agar siap bertarung dalam waktu persiapan yang singkat.
Setelah melewati masa pelatihan, Commodus sadar dirinya tidak berbakat bertarung, tetapi dirinya pun tak mungkin mencabut kata-katanya untuk menjadi gladiator. Tak mau mati di arena pertarungan, ia pun membuat skenario busuk dengan diam-diam menyediakan senjata tumpul untuk para lawannya sedangkan dirinya tetap bertarung dengan senjata tajam.
Selama 14 hari pertarungan, Commodus pun berjaya. Ia bisa menang di semua pertarungan dan membuat semua warga terhibur serta bersemangat kembali. Di saat bersamaan, para pesaing politik Commodus terancam dengan popularitasnya, sedangkan Narcissus curiga dengan kapasitas anak didiknya itu.
Tak pelak, terjadi konspirasi untuk membunuh Commodus pasca-pertarungan gladiator. Setelah berhasil lolos dari percobaan diracun di dalam istana pada 31 Desember 192, tak lama, pemuda kelahiran Lanuvium, Roma 31 Agustus 161, itu akhirnya tewas dicekik oleh gurunya sendiri, Narcissus, yang menganggap ia sudah mencoreng semangat sportivitas dalam pertarungan gladiator.
Itulah kisah hidup gladiator semu Commodus yang diceritakan dalam film berjudul Commodus: Reign of Blood di layanan hiburan Netflix. Film bergenre dokumenter itu tayang sebanyak enam episode yang rilis pertama kali pada 11 November 2016.
Peringatan masa kini
Kisah Commodus sejatinya peringatan untuk situasi Italia, negara yang menjadi bekas pusat peradaban kekaisaran Romawi saat ini. Sejarah mencatat, bangsa mereka berulang kali dilanda keterpurukan, termasuk wabah penyakit dan coba menghibur rakyat dengan cara semu yang boleh jadi sia-sia dan berujung petaka.
Setidaknya, pada abad kedua Masehi, Juvenal telah menggambarkan situasi masa kekaisaran Romawi saat itu dalam karyanya, Satire X. Ia mengenalkan istilah ”panem et circenses” yang artinya roti dan sirkus (permainan) dalam bahasa Latin. Isitilah itu menyindir cara penguasa menenangkan rakyatnya dengan memberikan gandum (roti) dan hiburan (permainan). Dengan dipasok dua hal itu, rakyat bisa senang dan melupakan masalah yang lebih pokok. (Kompas, Selasa, 5/5/2020)
Saat ini, ambisi seperti itu merasuk pada hampir semua petinggi klub-klub peserta liga sepak bola kasta tertinggi Italia, Serie A. Dengan dalil memberikan hiburan kepada masyarakat dan menyelamatkan perekonomian di tengah wabah Covid-19, mereka ingin kompetisi musim ini yang telah ditunda pascapekan ke-26 pada 10 Maret lalu untuk dilanjutkan dan dituntaskan.
Bahkan, sejak awal pekan ini, satu per satu klub sudah memulai lagi pelatihan dengan program individu. Adapun pelatihan secara tim direncanakan dilakukan mulai 18 Mei. Operator Serie A pun sudah mengumumkan kompetisi akan kembali bergulir pada akhir Mei atau awal Juni dan berakhir pada 3 Agustus.
Tanpa berpikir lebih panjang, boleh jadi niat para klub itu akan menjadi petaka kehancuran untuk mereka sendiri. Tanda-tanda itu mulai ada. Setidaknya, Sampdoria mengonfirmasi ada empat pemain dinyatakan sebagai kasus positif Covid-19 baru setelah menjalani tes usap sebelum memulai pelatihan individu, Kamis (7/5/2020).
Tak lama, Fiorentina mengonfirmasi ada enam kasus positif Covid-19 baru setelah menjalani tes usap sebelum memulai latihan individu, Kamis, terdiri atas tiga pemain dan tiga staf. Kedua tim menyusul Torino yang lebih dulu mengumumkan ada satu pemainnya dinyatakan positif Covid-19 sebelum memulai latihan individu, Rabu (6/5/2020).
Bahkan, operator liga sepak bola kasta ketiga Italia, Serie C, pun telah menyatakan musim ini telah berakhir karena semua tim berpikir realistis sulit untuk mengantisipasi dampak wabah Covid-19. Jauh sebelumnya, Presiden Brescia Massimo Cellino berulang kali mengingatkan bahwa kompetisi musim ini harus diakhiri karena terlalu berisiko bermain di tengah pandemi yang belum berakhir.
”Tidak masuk akal kita semua berencana untuk melanjutkan musim ini di tengah wabah yang masih berkecamuk. Kita semua seharusnya lebih sensitif dengan kondisi saat ini. Uang tidak akan berarti apa-apa kalau terinfeksi penyakit ini,” ujarnya dikutip Football-Italia beberapa waktu lalu.
Pemerintah hati-hati
Sejauh ini, Pemerintah Italia sangat hati-hati dengan ide melanjutkan kompetisi Serie A musim ini. Setidaknya, dalam pertemuan membahas protokol kesehatan versi kedua yang diusulkan operator Serie A, Kamis, pemerintah belum memberikan jawaban pasti. Mereka berdalih masih akan menganalisis protokol kesehatan tersebut sebelum menentukan keputusan untuk Serie A musim ini.
”Komite ilmiah akan mengevaluasi lagi protokol itu sebelum diserahkan kepada Menteri Kesehatan. Setelah semuanya beres, Menteri Kesehatan akan merilis keputusan mengenai kelanjutan Serie A. Saya berharap masalah segera selesai dan kita dapat melanjutkan pelatihan tim pada 18 Mei, selama itu kondusif dengan perkembangan wabah Covid-19 hingga 10 hari ke depan,” kata Menteri Olahraga Italia Vincenzo Spadafora dikutip Football-Italia, Kamis.
Menurut data Worldometers per 8 Mei, kasus Covid-19 di Italia masih terus terjadi. Sejauh ini, jumlah kasus positif Covid-19 di Italia mencapai 215.858 orang atau tertinggi ketiga di dunia, sedangkan jumlah korban meninggal mencapai 29.958 jiwa atau tertinggi kedua di dunia.
Melihat sejarah dan data saat ini, tentu pemangku kepentingan Serie A ataupun sepak bola Italia harus berpikir lebih luas. Apabila menggebu-gebu ingin melanjutkan kompetisi musim ini dengan alasan hiburan ataupun ekonomi, boleh jadi mereka hancur ditelan bom waktu kedua wabah Covid-19 sebagaimana Commodus tewas oleh ide ambisiusnya. (AFP/REUTERS)