Perjudian, Sisi Gelap Michael Jordan
Legenda NBA, Michael Jordan, adalah perwujudan yin-yang dalam diri insan olahraga. Ia tidak hanya bergelimang prestasi, tetapi juga menyimpan sisi gelap, yaitu perjudian, yang sempat membawanya ke tragedi.
Di balik kecemerlangan kariernya sebagai pebasket, legenda hidup NBA, Michael Jordan (57), ternyata memiliki sisi gelap yang tidak kalah besarnya, yaitu perjudian. Sisi lain dari Jordan, pemilik enam cincin juara NBA, itu diekspos dalam episode 6 film serial dokumenter The Last Dance (2020).
Episode lanjutan film dokumenter yang ditayangkan ESPN dan Netflix itu menyoroti kebiasaan lama Jordan, yaitu berjudi. Serupa rasa haus akan prestasi dan cincin juara NBA, berjudi ibarat candu baginya. Ia melakukan itu di berbagai tempat, mulai dari kasino, lapangan golf, pos keamanan arena basket, hingga di atas kabin pesawat.
Kecanduannya akan judi itu, menurut sejumlah pihak, dianggap sangat akut. Suatu ketika, Jordan tengah menyiapkan timnya, Chicago Bulls, menghadapi New York Knicks di laga kedua final Wilayah Timur play off NBA musim 1992-1993. Saat itu, Bulls—tim juara bertahan—tertinggal 0-1 dari Knicks yang masih diperkuat salah satu legendanya, Patrick Ewing.
Alih-alih fokus dan menyimpan tenaga untuk membalaskan kekalahan di gim pertama, Jordan justru keluyuran ke Atlantic City, kota di New Jersey yang terkenal dengan deretan kasino mewahnya, tidak kalah dengan Las Vegas. Ia berada di salah satu kasino hingga dini hari pukul 02.30. Padahal, 18 jam setelahnya, ia harus berada di Madison Square Garden, markas Knicks, untuk menghadapi Ewing di laga kedua final Wilayah Timur.
Kelakuan negatif Jordan itu terendus media. Keesokan harinya, Jordan diceramahi The New York Times. ”Waktu Jordan sebaiknya dipakai untuk beristirahat guna menyiapkan laga kedua kontra Knicks. Jadi, bukan justru di kasino,” bunyi ulasan halaman olahraga surat kabar ternama Amerika Serikat itu.
Dan, benar saja, Jordan harus ”membayar mahal” hobi buruknya itu. Bulls lagi-lagi dikalahkan Knicks. Bagi sebagian pihak, tertinggal 0-2 dalam skema best of seven di final wilayah itu bukanlah langkah awal ideal untuk mempertahankan gelar juara NBA. Knicks hanya butuh dua kemenangan lain untuk mengunci tiket ke partai puncak NBA.
Namun, Jordan menebusnya di gim ketiga dan seterusnya. Bulls memenangi dua laga berikutnya di Chicago. Pada gim keempat, Jordan bahkan mengemas 54 angka. Tren positif itu berlanjut dan Bulls menambah dua kemenangan di gim kelima dan keenam untuk meraih tiket ke final. Bulls, yang legendaris di masa itu, kembali menjadi juara NBA dengan menumbangkan Phoenix Suns, 4-2, di final.
Tidak hanya mampir ke kasino mewah di Monte Carlo, Jordan juga kerap mengajak rekan-rekannya sesama anggota Dream Team, seperti Patrick Ewing, Magic Johnson, Charles Barkley, bahkan Scottie Pippen, mempertaruhkan dollar AS lewat permainan kartu Black Jack hingga larut malam.
Prestasi dan judi memang bak dua sisi kepingan koin bagi Jordan. Cukup banyak buku lama yang mengulas soal sisi gelap Jordan itu. Jack McCallum dalam bukunya berjudul Dream Team, misalnya, menceritakan kebiasaan pria kelahiran New York itu menyambangi kasino-kasino paling mewah di dunia, seperti di Monako dan Barcelona, saat membela pasukan Dream Team alias timnas basket AS.
Tidak hanya mampir ke kasino mewah di Monte Carlo, menurut McCallum, Jordan juga kerap mengajak rekan-rekannya sesama anggota Dream Team, seperti Ewing, Magic Johnson, Charles Barkley, bahkan Scottie Pippen, mempertaruhkan dollar AS lewat permainan kartu Black Jack hingga larut malam di hotel mereka. Ia bahkan kerap mengajak anggota satpam penjaga United Center, markas Bulls, untuk sekadar bertaruh jumlah tembakan yang bisa ia dapat di lapangan.
Dalam bukunya berjudul Michael Jordan: The Life (2014), penulis olahraga Roland Lazenby mengungkapkan, kebiasaan berjudi Jordan itu telah muncul sejak remaja. Saat SMA, Jordan pernah sangat girang memenangi taruhan atas pasangannya di pesta dansa sekolah. Di AS, taruhan atau judi memang bukanlah hal aneh meskipun itu dilarang di sejumlah tempat.
Peristiwa tragis
Namun, kebiasaan judi itu sedikit banyak sempat menjerumuskan Jordan. Pada 23 Juli 1993, Jordan mendapatkan peristiwa tragis yang sulit ia bayangkan sebelumnya. Ia kehilangan ayahnya, James R Jordan Sr, yang dibunuh pria tidak dikenal. Mark Whicker, jurnalis Orange County Register, lantas mengaitkan pembunuhan James itu dengan kebiasaan berjudi Jordan.
”Kita ketahui bersama, anaknya (James Jordan) memiliki masalah judi dan ada sejumlah bukti. Ada kecurigaan dia (Michael Jordan) memiliki sejumlah utang terkait judi. Lantas, ayah dari anak ini dibunuh. Apakah ini kebetulan?” ungkap Whicker dalam kolomnya di koran terbitan California, AS, itu.
Sebelumnya, pada Mei 1993, pegolf AS, Richard Equinas, merilis buku kontroversial berjudul Michael and Me: Our Gambling Addiction. Buku itu berisikan testimoni Equinas, sahabat Jordan di lapangan golf. Selain basket, golf adalah olahraga favorit Jordan. Dalam buku itu, Equinas mengklaim Jordan memiliki utang fantastis, yaitu 1,25 juta dollar AS atau setara Rp 18 miliar nilai saat itu. Utang itu semua terkait judi atau taruhan yang tidak sanggup ia bayar.
Dipanggil ke pengadilan
Jordan pun pernah dipanggil ke pengadilan dalam kasus dugaan konspirasi dan pencucian uang. Namun, saat itu, ia berstatus sebagai saksi untuk terdakwa James ”Slim” Bouler, bandar narkoba. Jordan hadir di pengadilan terkait cek uang senilai 57.000 dollar AS yang diberikan kepada gembong narkoba yang lantas dipidana sembilan tahun penjara itu.
Jordan awalnya menyatakan uang itu terkait bisnisnya dengan Bouler. Namun, dalam sidang itu, ia akhirnya mengakui, uang itu terkait akumulasi utang judi di lapangan golf. Reputasinya pun seketika tercoreng. Ia lebih dianggap pecandu judi menyedihkan ketimbang seorang juara NBA dan Olimpiade.
Tak ayal, Jordan kala itu bak seorang juara dunia tinju yang babak belur terkepung di pojok ring tinju dengan segala isu miring dan tragedi ayahnya itu. Ia pun lantas memantapkan niatnya untuk rehat sejenak dari NBA pada Oktober 1993. Padahal, saat itu Jordan tengah berada di puncak karier dengan raihan tiga cincin juara NBA secara beruntun, yaitu 1991 hingga 1993, serta dua medali emas di Olimpiade.
Pensiunnya Jordan dari NBA pada 1993 juga sempat digosipkan sebagai skors dari NBA terkait masalah judinya. Namun, spekulasi itu dibantah tegas David Stern, mantan Komisoner NBA. Stern, yang meninggal awal tahun ini, sempat berkata, masalah judi Jordan tidak pernah cukup serius untuk membuatnya kehilangan karier di NBA.
Di sisi lain, Jordan pun membantah dirinya kecanduan judi. Ia memiliki bahasa lain terkait adiksi itu. ”Saya memiliki masalah dalam hal berkompetisi,” ujarnya dalam sebuah wawancara, 1993.
Bagi Jordan, taruhan dan judi adalah suntikan adrenalin untuk menjaga gairah dan semangat kompetisi dalam dirinya, terutama di basket. Di pengujung kariernya, setelah sempat menjalani sabatikal dua tahun dari basket dengan hijrah ke olahraga bisbol, adrenalin itu didapatnya dari teriakan elu-elu penonton di tepi lapangan United Center.
Ya, Jordan kembali ke arena basket, menekan kebiasaannya berjudi, dan lantas menyapu bersih tiga gelar juara NBA pada kurun 1996-1998 dalam comeback-nya. Itulah mengapa, Jordan hingga kini diperhitungkan sebagai legenda terhebat NBA karena bukan hanya mengoleksi enam cincin juara NBA, melainkan juga mengalahkan ”sisi gelapnya”. (NIC)