”Raja Lari” Tanpa Mahkota Itu Berpulang
Pelari 100 meter putra era 1960-an, Jotje Gosal, berpulang dalam usia 84 tahun di Sulawesi Utara, Kamis. Meskipun tidak memiliki prestasi mentereng jika dibandingkan Sarengat, jasanya tetap sangat penting di atletik.
JAKARTA, KOMPAS — Dunia atletik Indonesia kembali berduka. Sebulan setelah meninggalnya Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia, pelari 100 meter putra di era 1950 hingga 1960-an, Jotje Gosal, berpulang dalam usia 84 tahun di Tondano, Sulawesi Utara, Kamis (31/4/2020).
Di masa aktifnya, Jotje adalah salah satu pelari terbaik Indonesia dan juga rival berat pelari legendaris, Mohammad Sarengat. Namun, namanya kalah tenar dari Sarengat karena gagal meraih medali pada 100 meter Asian Games 1962 Jakarta. Adapun Sarengat adalah peraih emas 100 meter Asian Games edisi ke-4 tersebut.
Putra pertama Jotje, Mel Romeo Gosal (55), ketika dihubungi dari Jakarta, Jumat (1/5/2020), mengatakan, Jotje meninggal karena kondisi tubuhnya terus menurun dalam tiga minggu terakhir. Jotje diketahui memiliki penyakit asam urat akut. Pada Kamis sekitar pukul 13.00, fisiknya semakin lemah.
Setelah sempat sadar sebentar dan muntah-muntah, Jotje akhirnya meninggal pada Kamis sekitar pukul 17.45 dan dimakamkan di TPU Tata’aran Koya, Tondano, Jumat sekitar pukul 13.00.
”Sepanjang hidupnya, Bapak tidak pernah punya sakit. Tetapi, dia memang ada asam urat karena kebiasaan makan yang kurang disiplin dan makanan berlemak. Bahkan, sampai lanjut usia ini, dia tetap tidak bisa dilarang untuk makan makanan seperti itu,” ujar Mel.
”Lahir” dari alam
Mel mengisahkan, bakat lari yang dimiliki Jotje muncul karena ”dibina” alam. Sejak kecil, Jotje dididik keras oleh ayahnya yang seorang tentara. Paling tidak, semasa kecil, anak pertama dari tujuh bersaudara itu terbiasa jalan kaki jauh untuk pergi ke sekolah.
Saat bermain, dia sering berlari untuk mengejar atau menangkap burung waris alias burung puyuh khas Tondano di pematang sawah. ”Selain karena orangtuanya punya fisik kuat, Bapak bilang, dirinya bisa menjadi atlet juga karena fisik dan kecepatannya terlatih secara alami oleh alam,” katanya.
Kesempatan Jotje menjadi atlet pun terjadi tanpa sengaja. Sejak kecil, dia ingin menjadi personel TNI Angkatan Laut. Namun, ayahnya tidak mengizinkannya mendaftar sebagai tentara. Akhirnya, dirinya mencari tempat lain yang bisa menyediakan sekolah gratis, yakni di Sekolah Guru Olahraga di Surabaya, Jawa Timur, pada 1955.
Ternyata, selama di sekolah itu, Jotje dinilai punya bakat lari cepat, yaitu 100 meter dan 200 meter. Dia pun diarahkan untuk ikut sejumlah kejuaraan lokal dan nasional. Sejak itu, namanya terus mencuat dan mulai dipanggil pelatnas atletik. Puncaknya, dirinya dipanggil pelatnas untuk berpartisipasi pada Olimpiade 1956 di Melbourne, Australia.
Jelang Asian Games 1958 di Tokyo, Jepang, Jotje sempat menjuarai seleksi nasional 100 meter dengan waktu 11,1 detik. Namun, saat pengumuman atlet yang berangkat ke Asian Games edisi ketiga tersebut, pengurus PB PASI justru tidak mencantumkan namanya karena catatan waktunya dinilai tidak akan mampu bersaing.
Sempat kecewa
Nyatanya, catatan itu sejatinya bisa masuk tiga besar di Asian Games saat itu. Para peraih medali di Asian Games itu memiliki catatan waktu tidak jauh berbeda, yaitu pelari Pakistan, Abdul Khaliq, yang meraih emas dengan 10,9 detik; pelari Jepang, Kyohei Ushio, yang meraih perak dengan 11,0 detik; dan pelari Filipina, Isaac Gomez, yang meraih perunggu dengan waktu 11,1 detik.
”Karena itu, Bapak sempat kecewa dengan atletik. Dia sempat meninggalkan dunia atletik dan beralih ke hoki selama setahun,” ucap Mel.
Jotje bersedia kembali ke atletik ketika KONI Jawa Timur memintanya membela daerah untuk ikut sejumlah kejuaraan atletik lokal dan nasional pada 1959. Sejak itu, namanya kembali mencuat dan catatan waktunya pun semakin membaik, yakni rata-rata bisa memenangi perlombaan dengan waktu di bawah 11 detik.
Olimpiade Roma
Jotje pun mencapai puncak kedua kariernya pada awal 1960-an. Setidaknya, dia dikirim ke Olimpiade 1960 di Roma, Italia. Lalu, dia dua kali memecahkan rekor nasional lari 100 meter dalam kejuaraan pemanasan menuju Asian Games 1962, yakni 10,5 detik ketika menjuarai kejuaraan di Filipina pada 1961 dan 10,4 detik ketika menjadi juara dalam kejuaraan uji coba Asian Games di Jakarta pada 1962.
Namun, beberapa saat sebelum Asian Games 1962, Jotje justru cedera paha. Hal itu membuatnya tidak tampil maksimal pada Asian Games tersebut. Tak pelak, dalam final 100 meter, dirinya tercecer di peringkat ketujuh, sedangkan Sarengat berhasil meraih emas dengan waktu 10,5 detik.
”Itulah pertama-tama Sarengat bisa mengalahkan Bapak. Padahal, sebelumnya, Bapak selalu menang atas Sarengat karena memang Bapak spesialisas sprint dan Sarengat itu dari dasalomba,” ujar Mel.
Jotje mengakhiri kariernya dalam usia 28 tahun atau usia relatif masih muda, yaitu pada 1964. Selain karena memilih bergabung dengan TNI AL dalam Operasi Pembebasan Irian Barat, dia juga pensiun akibat mengalami kekecewaan kedua di puncak ketiga kariernya.
Selepas dari Asian Games 1962, kata Mel, Jotje mendapatkan beasiswa untuk kuliah dan berlatih atletik di Iowa State University, Chicago, Amerika Serikat. Selama di sana, dirinya mendapatkan kesempatan ikut sejumlah kejuaraan level perguruan tinggi yang ada setiap dua pekan sekali.
Puncaknya pada 1963, Jotje berhasil menjuarai suatu kejuaraan dengan catatan waktu 10,3 detik. Itu adalah rekor nasional baru bagi Indonesia, tetapi belum tercatat resmi. Kemudian, dia coba meminta KONI pusat untuk mencatat rekor nasional tersebut. Kendati demikian, KONI pusat tidak mengakui catatan tersebut karena dirinya tidak bisa menyerahkan bukti catatan waktu resmi, melainkan hanya bukti berita koran lokal.
Setelah itu, ketika akan bersiap tampil di Olimpiade 1964 Tokyo, Jotje justru batal berpartisipasi karena Indonesia dilarang ikut akibat menyelenggarakan Ganefo atau Olimpiade tandingan pada 1963. Padahal, saat itu, dia merasa sedang berada di puncak karier.
Nyatanya, catatan waktu terbaiknya boleh jadi bisa membawanya ke final 100 meter Olimpiade 1964 tersebut. Sebab, peraih emasnya adalah pelari asal Amerika Serikat, Bob Hayes, dengan catatan waktu 10,0 detik; perak oleh pelari Kuba Enrique, Figuerola, 10,2 detik; dan perunggu oleh pelari Kanada, Harry Jerome, 10,2 detik.
”Sejak itu, Bapak memilih pensiun dan fokus berkarier sebagai tentara, pekerjaan yang menjadi impiannya sejak kecil,” katanya.
Selepas menjadi atlet, Jotje tetap menunjukkan kecintaannya pada atletik. Setidaknya, dia tetap mengabdikan dirinya untuk pengembangan atletik. Hal itu dibuktikan dengan keaktifannya menjadi pengurus PB PASI sejak 1982 hingga 1996. Dirinya sempat menjadi Ketua Bidang Teknis PB PASI pada 1982-1988 dan menjadi Direktur IAAF Regional Athletic Development (RDC) Jakarta pada 1988-1996.
Selama hidup, Bapak selalu mengajarkan semangat sportivitas. Salah satu contohnya, dia selalu minta anak-anaknya mandiri dalam mencari kerja. Walaupun cukup dikenal dan punya relasi banyak, dia tidak pernah mau menolong anak-anaknya mencari kerja.
Semangat sportivitas
Selain itu, Jotje pun sempat menjadi pengurus KONI pusat selama 1997-2009 dan KONI DKI Jakarta selama 2010-2013. Setelah itu, pensiunan TNI AL dengan jabatan terakhir letnan kolonel tersebut memilih untuk undur diri total dari dunia olahraga dan kembali ke kampung halaman leluhurnya di Tondano.
”Selama hidup, Bapak selalu mengajarkan semangat sportivitas. Salah satu contohnya, dia selalu minta anak-anaknya mandiri dalam mencari kerja. Walaupun cukup dikenal dan punya relasi banyak, dia tidak pernah mau menolong anak-anaknya mencari kerja. Dia menekankan, kesuksesan itu harus diraih dengan kerja keras dan usaha sendiri,” tutur Mel.
Sekretaris Jenderal PB PASI Tigor M Tanjung menyampaikan, Jotje adalah sosok yang demokratis. Dia terbuka untuk segala kritik dan tidak segan untuk memberikan kritik balik. Dalam mengurus PB PASI, misalnya, dia selalu melakukan diskusi bersama semua pelatih setiap pekan. Dalam diskusi, dia membuka ruang debat atau adu pendapat. Dirinya tidak pernah otoriter agar pendapatnya selalu didengar dan dijalankan.
Karena kapasitasnya, Jotje ditunjuk sebagai Direktur RDC, yakni lembaga pengembangan sumber daya manusia atletik, perpanjangan tangan IAAF (kini World Athletics). Sejauh ini, RDC hanya ada sembilan di seluruh dunia, termasuk dua di kawasan Asia, yakni di Jakarta dan Beijing, China.
”Karena itu, di era Pak Jotje lahir beberapa pelari andal nasional, antara lain Purnomo Muhammad Yudhi dan Mardi Lestari,” ujarnya.
Selepas tidak mengurus PB PASI, Jotje tetap aktif melihat perkembangan dunia atletik Indonesia. Bahkan, dia tidak segan mengkritik PB PASI ketika ada hal yang dinilainya tidak ideal. ”Kritik-kritik membangun seperti itu sangat diperlukan suatu organisasi agar selalu berada di jalur yang tepat,” pungkas Tigor.