Keputusan yang dibuat Jerry Krause sangat brilian dari sudut pandang manajemen klub. Namun, tidak demikian halnya ketika dilihat dari sudut pandang para atlet, yakni sang mahabintang Michael Jordan dan rekan-rekan.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
Jerry Krause, mantan manajer umum Chicago Bulls (1985-2003), digambarkan seperti perampok bengis dalam episode awal seri dokumenter The Last Dance. Mendiang Krause dijadikan sosok antagonis yang paling bertanggung jawab atas bubarnya dinasti terbesar NBA yang dipimpin sang bintang, Michael Jordan.
Jordan begitu marah kepada Krause karena ingin membongkar dinastinya, dengan tidak memperpanjang kontrak pelatih Phil Jackson serta dua rekan terdekatnya, Scottie Pippen dan Dennis Rodman. Setahun sebelum dinasti bubar, Krause memastikan tidak memperpanjang kontrak Jackson, meskipun Bulls tak terkalahkan dalam satu musim.
Pippen, rekan terbaik Jordan, yang kontraknya seperti Jackson berakhir pada 1998, juga dilepas. Dinasti yang meraih 6 gelar juara NBA dalam 8 tahun itu pun akhirnya tercerai-berai tanpa sisa.
Perspektif itu yang diceritakan “The Last Dance”, dari sudut pandang Jordan dan rekan-rekannya. Krause, yang berseberangan dengan Jordan kala itu, dilihat sebagai tokoh antagonis.
Sudut pandang atlet dan manajemen hampir selalu bertabrakan. Jordan, sebagai atlet yang haus kemenangan, butuh kestabilan untuk meraih gelar selanjutnya. Kenyamanan itu ada dalam paket yang dimilikinya bersama trio Jackson-Pippen-Rodman.
Jordan tidak salah, begitu juga Krause. Manajemen harus menjamin kesuksesan tim dalam jangka panjang. Hal itu membuat Krause menginginkan regenerasi tim. Kala itu, Bulls bermaterikan mesin tua yakni Jordan (35), Pippen (33), dan Rodman (37).
“Jika ingin melihat Bulls terus sukses, tak ada cara lain. Kita harus meremajakan pemain. Susunan pemain akan dirombak total,” kata Krause pada 1997.
Dengan tujuan itu, cara paling ampuh adalah mengganti Jackson, sebagai otak utama dalam tim. Jackson dengan segudang prestasi dirasa lebih dominan dibandingkan dengan Krause sebagai atasannya. Apalagi, Jackson berada dalam satu perahu dengan Jordan yang tidak menginginkan perubahan pada skuad utama.
Dalam kasus Pippen, Krause dianggap bersalah karena tidak mau memperpanjang kontraknya. Akan tetapi, keputusan itu masuk akal dengan dasar regenerasi. Tidak mungkin menaikkan gaji berkali lipat seperti permintaan Pippen, saat usianya mulai melewati puncak karier.
Sebab itu, agak tendensius memandang Krause sebagai perampok. Jika dia adalah perampok, maka dia merampok rumahnya sendiri. Sebab, Krause merupakan sutradara penting terbentuknya dinasti Bulls.
Sejak dikontrak pemilik Bulls, Jerry Reinsdorf, untuk menangani Bulls pada 1985, keputusannya selalu tepat. Mulai dari mengambil Pippen setelah proses panjang Draft 1987, menjadikan Jackson asisten pelatih, kemudian pelatih, sampai membawa Rodman lewat pertukaran pemain pada 1995. Semua itu dilakukan untuk membangun pasukan di sekeliling Jordan sebagai pusatnya.
“Banyak orang merasa Jerry sengaja dibuat sebagai penjahat. Tetapi, saya pikir Dia adalah arsitek dari tim ini. Kami ingin mendapat gambaran dari sudut pandangnya, tetapi Jerry meninggal empat bulan (2017) sebelum kami mengambil gambar,” kata sutradara “The Last Dance”, Jason Hehir, seperti dikutip ESPN.
Banyak asumsi yang menyebutkan Krause cemburu dengan Jackson karena tidak diapresiasi sepatutnya. Jika itu adalah kebenaran, tampaknya wajar saja. Perlakuan terhadap Krause memang kurang layak, seperti saat disoraki dalam seremoni pemberian gelar.
Deja vu
Keputusan Krause pada musim 1997/1998 nyaris menyerupai kondisi pad a1988/1989. Kala itu, Krause memecat Doug Collins, pelatih yang dibawanya untuk mengubah wajah tim setelah tiga musim. Krause pun mempromosikan Jackson, yang sebelumnya asisten Collins, sebagai pelatih kepala.
Krause memecat Collins karena tidak mengikuti arahannya untuk menggunakan strategi penyerangan segitiga. Padahal dia sudah membawa Tex Winter, penemu dari strategi tersebut, menjadi salah satu asisten pelatih Bulls.
Collins memang sukses besar menyulap Jordan sebagai prospek terbaik di NBA. Dia memperlakukan Jordan seperti dewa. Strateginya adalah memberikan bola ke Jordan, sedangkan pemain lain hanya sebagai pelengkap.
Namun, dengan strategi itu Bulls tidak pernah bisa melewati tim terbaik dan terbrutal NBA saat itu, Detroit Pistons, yang memiliki “Jordan Rules”. Saat bertemu Pistons di playoffs, Jordan tak berkutik karena tim asuhan Chuck Daly itu mejegalnya habis-habisan. Dengan tim yang saat itu dijuluki “Bad Boys”, Pistons menjadi juara NBA pada 1989 dan 1990.
Pemecatan Collins berujung kemarahan Jordan. Namun, Jordan belum punya kekuatan besar untuk memengaruhi manajemen sehingga omongannya tidak begitu berpengaruh.
Yang terjadi setelahnya adalah awal mula kisah indah dinasti Bulls. Serangan segitiga yang dipraktikkan Jackson, membawa mereka meraih enam cincin juara. “Saya sangat berharap Jerry hadir untuk membela dirinya. Dia patut diberikan kredit sebagai orang yang membangun tim enam juara,” kata Tony Kukoc, pebasket Australia dan anggota tim Bulls pada 1993-2000, kepada CBS Sports.
Satu-satunya masalah yang dimiliki Krause hanyalah komunikasi kurang baik. Kekurangan itu sebenarnya sudah disampaikan petinggi Bulls lain pada Reinsdorf. Namun, sang pemilik tidak memedulikan itu. Dia hanya ingin membentuk dinasti juara. Dan, saat itu tidak ada orang yang lebih tepat daripada Krause.