Karier fenomenal Mike Tyson selalu melekat dengan sisi kontroversialnya. Keinginan sang mantan juara dunia sejati untuk kembali bertinju memunculkan tanda tanya besar tentang yang tersisa dari Tyson.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·5 menit baca
Sekitar 15 tahun lalu, Mike Tyson bertarung lebih seperti keledai tua lesu yang diburu pemangsa daripada seorang juara dunia sejati. “Si Leher Beton”, julukannya, telah kehilangan insting predator dalam dirinya, yang sempat begitu mengintimidasi para lawan.
Tyson yang dipukul jatuh pada ronde ke-6 oleh petinju tidak terkenal asal Irlandia, Kevin McBride, tidak sanggup lagi melanjutkan pertarungan. Momen pahit itu merupakan akhir karier fenomenal sekaligus kontroversialnya yang ditutup dengan rekor 50 kali menang dan 6 kali kalah.
Saat itu, 2005, tak ada lagi yang tersisa dari kisah pukulan mematikan Tyson, yang dinilai setara dengan kekuatan jatuhnya kulkas berisi kaleng bir dari lantai dua. Serangan cepat jarak dekatnya kehilangan daya ledak. Hook dan uppercut yang selalu mengancam rahang, rusuk, dan ulu hati pun mulai dinikmati para lawan.
Mantan juara dunia yang masuk dalam urutan pertama dari 10 petinju dengan pukulan terkeras versi ESPN itu menyadari dirinya sudah habis. Seusia duel, dia menyatakan pensiun di usia 38 tahun. “Sudah cukup. Saya tidak akan melakukan olahraga ini lagi,” katanya.
Setelah menghabiskan masa-masa pensiun sebagai bintang Holywood, pemeran film IP Man 3 itu menarik kata-katanya. Baru-baru ini dia menyatakan akan kembali ke ring tinju. Dengan usia uzur, 53 tahun, Tyson mulai berlatih lagi. “Saya mau mengembalikan bentuk untuk bisa bertarung dalam empat ronde. Baik duel persahabatan, amal, dan lainnya,” jelasnya kepada Washington Post.
Kembalinya Tyson mengundang banyak pertanyaan. Ketika pensiun, dia berkata tubuhnya sudah seperti mesin tua berumur 120 tahun. Lalu, seperti apa kondisi mesin tua itu sekarang, setelah satu setengah dekade terakhir menjalani gaya hidup tak sehat ala Holywood.
Pria kelahiran Brooklyn ini pun mengaku sudah sangat sulit mengontrol tubuhnya. Dalam latihan, banyak pukulannya yang meleset. Dia juga melakukan latihan kardio dengan berlari, bersepeda, dan angkat beban. Belum lama berlatih, dia mulai mengeluh. “Sakit sekali rasanya. Seperti ditendang tiga orang sekaligus,” ucapnya.
Gangguan mental
Tak ada yang meragukan Tyson sebagai petinju fenomenal di masa jayanya pada akhir 1980. Status juara dunia sejati kelas berat dengan gelar IBF, WBA, dan WBC, sudah didapatkannya sejak usia 20 tahun atau yang termuda sepanjang sejarah.
Julukan leher beton datang bukan tanpa alasan. Leher tebal, yang membuat kepalanya terlihat kecil itu, seperti mampu membuat wajah Tyson tidak bergetar saat terkena hantaman lawan. Justru sang lawan yang akan sempoyongan ketika terkena hantaman hook dan uppercut cepat andalannya.
Saking cepat dan keras pukulannya, salah satu lawan, Julian Francis, tidak sadar telah kalah knock out (KO) dengan terjatuh sebanyak lima kali dalam kurang dari dua ronde. “Saya baru tahu itu setelah wartawan menanyakannya,” sebut Francis.
Alis menukik, leher tebal, hingga bisep kekar, membuatnya begitu intimidatif. Banyak lawan yang sudah kalah sebelum bel pertarungan dibunyikan. Tak heran rekornya begitu mentereng. Nyaris separuh dari 44 kemenangan KO Tyson diraih di ronde awal.
Namun, kehebatan tinjunya sejalan dengan kontroversinya yang tak kalah banyak. Mulai dari kasus pemukulan orang, percobaan bunuh diri, hingga penyiksaan dalam rumah tangga, menjadi sisi hitam dirinya. Salah satu lembar terkelam adalah saat Tyson masuk penjara akibat kasus pemerkosaan pada 1991.
Uniknya, karir fenomenal itu berjalan bersamaan dengan kontroversinya. Seperti dalam pertarungan mempertahankan gelar melawan Michael Spinks pada 1998. Sepekan sebelum duel, Tyson dikabarkan melakukan penganiayaan yang membuat istrinya, Robin Givens, keguguran.
Di tengah masalah itu, ditambah dengan sedikit cekcok dengan manajer Spinks di ruang ganti, Tyson tetap bertarung. Dia menuju ring seperti singa lapar. Hasilnya, Spinks yang belum terkalahkan sepanjang karier (31-0) “tertidur” hanya dalam 91 detik.
Tyson sendiri sempat mengakui dirinya mengidap psikosis manik depresif. Gangguan mental yang membuat emosinya sangat labil dan kemungkinan kepribadian ganda. Karena itu, sisi prestasi dan kontroversi tidak bisa lepas dari dirinya.
Banyak pengamat tinju meyakini gangguan mental tersebut berkontribusi besar terhadap karier cemerlangnya. Temperamen tinggi membuatnya menjadi binatang buas yang beringas dan intimidatif ketika berduel.
Ini yang dikhawatirkan. Fisiknya pasti sudah jauh berbeda dengan 30 tahun lalu. Sementara itu, persoalan mental, yang biasanya menjadi doping saat bertarung, kemungkinan juga semakin mereda dengan usia yang semakin tua. Tanpa keduanya, tidak ada yang tersisa dari sang mantan juara dunia sejati.
Bayangan Tyson akan kembali dengan pukulan kuatnya, seperti dulu, tampaknya tidak akan terjadi. Lebih mungkin, “Si Leher Beton” seperti seorang jompo yang berperan menjadi karung tinju lawannya di atas ring.
Kembalinya para legenda
Kisah sukses kembalinya juara dunia dari pensiun pernah begitu menginspirasi dari George Foreman. Peraih emas Olimpiade 1968 itu sempat pensiun muda di usia 28 tahun. Sepuluh tahun kemudian, dia kembali dan beberapa kali menjalani pertarungan.
Di usia 45 tahun, dengan mengejutkan, Foreman menumbangkan petinju AS, Michael Moorer, di ronde ke-10. Salah satu rival Muhammad Ali dan Joe Fraizer itu pun meraih gelar juara IBF dan WBA. Foreman pun menjadi petinju kelas berat tertua yang merebut gelar juara.
“Usia 40 tahun ataupun 50 tahun bukanlah sebuah hukuman mati,” kata Foreman yang tetap bertarung saat petinju seusianya lebih banyak beralih menjadi pelatih, pengamat, ataupun komentator.
Sang legenda kelas berat, Ali, pun pernah mencoba kembali dari pensiun. Petinju yang dijuluki sebagai “yang terbaik” ini kembali bertarung setahun setelah pensiun pada 1979 saat berumur 37 tahun. Ali menelan dua kali kekalahan beruntun dari Larry Holmes pada laga tahun 1980, dan dari Trevor Berbick pada pertarungan tahun 1981 sekaligus pertarungan terakhir Ali. Dikabarkan, saat bertarung kembali, Ali sudah menderita penyakit parkinson.
Tyson pun, meski bukan pensiun, pernah vakum cukup lama akibat dipenjara sekitar 3 tahun. Saat kembali, dia kalah bertarung melawan rivalnya, Evander Holyfield pada 1996. Setahun kemudian, Tyson meminta tanding ulang. Hasilnya, si pembuat ulah itu menggigit kuping Holyfield yang membuatnya didiskualifikasi.
Kembalinya sang mantan juara dunia sejati, Tyson, pada akhirnya memunculkan enigma (teka-teki). Versi mana yang akan menjadi akhir kisahnya? Foreman dengan kisah sukses, Ali dengan kegagalan total, atau Tyson muda dengan sejuta kontroversinya.