Memaksakan untuk tetap menggelar kompetisi sepak bola di tengah pandemi Covid-19 bukanlah keputusan yang bijaksana. Belarus sudah mulai merasakan akibat dari kenekatan itu.
Oleh
DOMINICUS HERPIN DEWANTO PUTRO
·4 menit baca
MINSK, MINGGU — Ketika pandemi Covid-19 melumpuhkan kompetisi sepak bola di Eropa, Belarus menjadi satu-satunya negara di Benua Biru yang menutup mata dan telinga. Mereka tetap nekat menggelar kompetisi dan kini harus siap membayar mahal karena jumlah kasus positif Covid-19 terus meningkat. Penonton pun mulai takut datang ke stadion.
Semua itu bermula dari sikap Presiden Belarus Alexander Lukashenko yang menolak menerapkan penutupan wilayah di negaranya. Berbagai aktivitas pun berjalan normal, termasuk Liga Belarus yang berlangsung sejak 19 Maret lalu. ”Lebih baik mati berdiri daripada hidup berlutut,” seru Lukashenko waktu itu.
Pada pekan-pekan awal berjalannya liga, laga-laga berjalan seperti biasa. Stadion-stadion masih dipadati penonton yang sebagian besar tidak memakai masker. Mereka merasa tidak perlu ada yang ditakutkan karena pada pertengahan Maret itu jumlah kasus positif Covid-19 di Belarus kurang dari 100 orang dan tidak ada kasus kematian.
Namun, jumlah itu terus meningkat menjadi lebih dari 9.500 kasus positif dan korban jiwa mencapai lebih dari 60 orang hingga Minggu (26/4/2020). Dalam waktu satu bulan, situasi yang penuh optimisme dan kegembiraan lama-lama berubah menjadi suram dan mencekam.
Laga-laga Liga Belarus pun kini hanya dihadiri ratusan pendukung yang sangat fanatik. ”Stadion ini berkapasitas 2.000 orang, tetapi hanya 300 orang yang datang. Anda dapat duduk di mana pun dan tetap menjaga jarak,” kata salah satu pendukung fanatik klub Slutsk, Yahor Khavanski (26), ketika bercerita mengenai laga terakhir Slutsk.
Pada Minggu ini, Khavanski tetap datang ke stadion untuk menyaksikan klubnya menjamu Belshina Bobruisk. Ia datang dengan membawa masker dan bertekad untuk tidak menyentuh apa pun di dalam stadion.
Khavanski termasuk pendukung yang tetap berniat datang ke stadion meski gentar. Namun, para pendukung Neman Grodno, klub lainnya, mulai merasa gelisah dan mengkritik Federasi Sepak Bola Belarus (BFF) yang tidak mau menghentikan kompetisi. Beberapa fans klub lain sudah menyatakan tidak mau menonton laga secara langsung di stadion.
Kegelisahan juga muncul dari para pemain yang selalu terlibat kontak fisik selama berlaga. Danilo, gelandang Dinamo Minsk, mengungkapkan keheranannya terhadap anomali di Belarus. ”Jika semua kompetisi mayor sudah dihentikan, mengapa kami tidak? Kami seharusnya melakukan hal yang sama,” ujarnya.
Bahkan, desakan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun tidak ditanggapi Pemerintah Belarus. WHO, dalam rekomendasi yang dirilis Selasa (21/4/2020), meminta Belarus menerapkan pembatasan jarak. Salah satunya dengan menghentikan kegiatan dengan orang banyak, termasuk pertandingan olahraga.
Meski WHO sudah bersuara, Belarus tetap bergeming. Bahkan, mereka mengumumkan akan menggelar Liga Belarus Putri pada 30 April nanti. BFF menilai bahwa menggelar kompetisi saat ini merupakan kesempatan emas untuk memperlihatkan sepak bola Belarus kepada dunia.
Ketika masyarakat dunia butuh tontonan laga sepak bola di tengah pandemi, Belarus bisa menawarkan hiburan tersebut. Jaringan televisi di beberapa negara, seperti Rusia, India, dan Israel, telah membeli hak siar Liga Belarus.
Klub-klub pun memanfaatkan kesempatan ini dengan membuat akun media sosial berbahasa Inggris untuk meraup pendukung baru dari beberapa negara. Slutsk, misalnya, telah mendapat sejumlah pendukung baru dari Australia dan mendapatkan dana dari mereka sebesar 4.000 dollar Australia atau sekitar Rp 40 juta.
Sangat berisiko
Laga sepak bola yang melibatkan ribuan penonton di satu tempat dianggap sebagai salah satu sarana penularan virus penyakit yang sangat efektif. Menggelar laga pertandingan dengan penonton pun menjadi sangat berisiko dilakukan saat pandemi.
Wali Kota Liverpool Steve Rotheram pun sampai meminta investigasi dilakukan untuk membuktikan bahwa laga Liga Champions antara Liverpool dan Atletico Madrid di Stadion Anfield pada 11 Maret lalu merupakan penyebab menyebarnya virus korona di wilayah tersebut. Laga yang dimenangi Atletico, 3-2, itu dihadiri sekitar 52.000 penonton, termasuk 3.000 penonton dari Spanyol.
”Kami melihat ada peningkatan jumlah kasus positif Covid-19 (di Liverpool), maka investigasi perlu dilakukan untuk mengetahui apakah virus itu dibawa para penonton dari Madrid,” kata Rotheram. Spanyol kini merupakan negara kedua setelah Amerika Serikat yang paling parah terdampak pandemi.
Membiarkan laga kedua babak 16 besar Liga Champions itu berjalan, sampai saat ini dianggap sebagai kesalahan besar. ”Laga ini tidak hanya membahayakan masyarakat, tetapi juga para petugas medis,” ujar Rotheram.
Oleh karena itu, Inggris dan negara-negara lain yang termasuk dalam lima liga top Eropa, seperti Italia, Jerman, Perancis, dan Spanyol, sangat berhati-hati dalam memutuskan kelanjutan kompetisi musim ini. Apa yang terjadi di Liverpool dan Belarus sudah cukup menjadi pelajaran berharga yang harus selalu diingat. (AFP/REUTERS)