Tepat delapan tahun lalu, 25 April 2012, Chelsea menunaikan pembalasan dendamnya terhadap Barcelona dalam salah satu pertarungan paling mengejutkan di Liga Champions Eropa.
Oleh
Kelvin hianusa
·4 menit baca
”Wasit ini dibeli. Saya tidak tahu apakah dia seorang wasit atau maling,” kata Didier Drogba dengan begitu berapi-api saat masih membela Chelsea usai pertandingan melawan Barcelona di semifinal Liga Champions, 2009 silam.
Drogba kehilangan akal sehatnya seusai laga itu karena kekecewaan terhadap kepemimpinan wasit Tom Henning Ovrebo. Wasit berkepala plontos itu bisa dibilang sebagai biang kegagalan lolosnya ”The Blues” ke final.
Ovrebo menolak memberikan empat penalti untuk Chelsea yang terlihat jelas sebagai pelanggaran dari pemain-pemain Barca. Hingga akhirnya, malapetaka tim asal London itu datang ketika gelandang lawan, Andres Iniesta, mencetak gol di detik-detik akhir laga, yang membuat Barca melaju ke final dengan keunggulan gol tandang.
Selepas laga, Drogba mengejarnya sambil memakinya sampai ke dalam lorong menuju kamar ganti. Pendukung Chelsea mengirimkan ancaman kematian untuk Ovrebo setelah malam itu. Peristiwa itu dikenang sebagai salah satu laga Liga Champions paling kontroversial dalam abad ke-21.
Pada 2018 silam, Ovrebo mengakui kesalahannya di laga itu. ”Saat itu sungguh bukan hari terbaik saya. Tapi, wasit pun bisa melakukan kesalahan. Terkadang, Anda berada pada level yang tidak semestinya,” ujar wasit yang pensiun pada 2013 silam itu.
Pembalasan dendam
Tiga tahun setelah malam kontroversial itu, Chelsea kembali melaju ke semifinal. Sialnya, mereka harus kembali bertemu dengan generasi emas Barca. Sang juara bertahan saat itu memiliki kekuatan terbaik di dunia. Mereka masih dilatih Josep ”Pep” Guardiola yang memperagakan tiki-taka ke dalam skuad yang diperkuat trio Lionel Messi-Iniesta-Xavi Hernandez.
Kondisi sempurna Barca berbanding terbalik dengan Chelsea yang sedang acak-acakan setelah manajernya, Andre Villas-Boas, dipecat sebulan sebelum pertandingan. Skuad pun untuk sementara dipimpin Roberto Di Matteo yang sebelumnya menjabat sebagai asisten pelatih.
Pengalaman pahit dan inkonsistensi performa membayangi The Blues saat akan berlaga di laga kedua semifinal Liga Champions pada 25 April 2012. Satu-satunya hal positif mereka adalah berhasil mencuri kemenangan 1-0 pada laga pertama di Stamford Bridge.
Mereka masih dilatih Josep ”Pep” Guardiola yang memperagakan tiki-taka ke dalam skuad yang diperkuat trio Lionel Messi-Iniesta-Xavi Hernandez.
Di hadapan para pendukungnya sendiri, di Stadion Camp Nou, Barca menggila sejak menit pertama. Mereka unggul cepat dari gol Sergio Busquets. Pada pertengahan babak pertama, kapten sekaligus bek andalan Chelsea, John Terry, menerima kartu merah. Dua menit setelahnya, malapetaka kembali menghampiri tim tamu ketika Iniesta mencetak gol dua menit sebelum jeda turun minum.
Agregat sementara 2-1 untuk keunggulan Messi dan rekan-rekannya ternyata tidak menyurutkan semangat Chelsea membalas dendam. Di penghujung babak pertama, tepat di menit ke-45, Chelsea diselamatkan gol Ramires.
Babak pertama berakhir. Chelsea yang saat itu masih diperkuat Drogba bisa sedikit tenang dengan keunggulan gol tandang, agregat 2-2. Meski demikian, mereka masih harus bertahan dalam 45 menit tersisa dengan hanya 10 orang pemain.
Sentuhan Di Matteo
Sebagai manajer asal Italia, Di Matteo mengeluarkan ciri khas permainan bertahannya sepanjang babak kedua. Itu sesuai strategi yang sudah direncanakannya, bahkan sebelum bertanding. Mereka nyaris menaruh semua pemain di garis pertahanan dengan formasi 6-3, tanpa penyerang murni.
Serangan demi serangan menghujam gawang Chelsea yang dijaga Petr Cech. Gol seakan tinggal menunggu waktu. Beberapa saat setelah babak kedua dimulai, Barca mendapatkan penalti. Namun, kesempatan untuk unggul itu dibuang begitu saja oleh Messi yang tendangannya membentur mistar gawang.
Barca terus menyerang, sementara Chelsea terus ”memarkirkan” para pemainnya di lini pertahanan. Sampai akhirnya, pada menit akhir laga, Fernando Torres, yang menggantikan Drogba, memanfaatkan serangan balik saat nyaris semua pemain lawan melewati garis tengah lapangan.
Torres, yang belum menemukan ketajamannya sejak pindah dari Liverpool, menggiring bola sendiri melewati barisan pertahanan Barca. Dia mencetak gol dengan mengecoh kiper lawan, Victor Valdes.
Torres sendiri pun kaget bisa mencetak gol. ”Saya tidak menyangka bisa mendapat kesempatan itu. Sepanjang pertandingan saya hampir selalu berada di posisi bek kiri. Kesempatan kami memang hanya dengan serangan balik seperti ini,” katanya.
Malam itu menjadi salah satu pertandingan yang paling mengejutkan di semifinal turnamen paling bergengsi di daratan Eropa tersebut. The Independent memberitakan kisah heroik Chelsea itu dengan judul ”Keajaiban Terjadi saat 10 Pemain Chelsea Menyingkirkan Juara Bertahan Eropa”.
Dendam Drogba dan rekan-rekan pun tuntas terbalas di depan wajah ribuan pendukung Barca. Pembalasan itu begitu sempurna dengan banyak kesamaan, mulai dari laga semifinal hingga keputusan kurang menguntungkan dari wasit. Bedanya, kali ini mereka lolos ke final setelah hasil imbang 2-2 di Camp Nou itu. Chelsea unggul agregat 3-2 atas Barca.
Walaupun demikian, laga pembalasan itu harus dibayar mahal. Empat pemain pilar The Blues tidak bisa bermain di final karena cedera maupun akumulasi kartu. Meski demikian, mereka justru kembali membuat kejutan dengan menumbangkan Bayern Munchen di final lewat kemenangan adu penalti, 4-3.
Musim itu menjadi begitu sempurna bagi Chelsea. Setelah pembalasan dengan Barca tuntas, mereka menjuarai Liga Champions untuk pertama kalinya sekaligus terakhir kalinya sepanjang sejarah terbentuknya tim itu. (AP/REUTERS)