Kesamaan ”The Last Dance” dengan Kehancuran Warriors
Kisah film dokumenter ”The Last Dance” tentang runtuhnya dinasti Chicago Bulls mengingatkan Draymond Green akan situasi di klubnya, Golden State Warriors. Serupa Bulls, Warriors juga sempat mendominasi NBA.
Oleh
korano nicolash lms
·3 menit baca
Setelah menyaksikan dua episode film dokumenter yang tengah naik daun, The Last Dance, bintang Golden State Warriors, Draymond Green, melihat adanya kemiripan kisah film hancurnya dinasti Chicago Bulls itu dengan klubnya.
”Ini (The Last Dance) benar-benar mirip dengan kejadian di tempat kami (Warriors),” kata Green pada acara Uninterrupted’s WRTS: After Party yang dipandu Paul Rivera dan Maverick Center yang diunggah pada Selasa (21/4/2020) waktu Indonesia.
”Ironisnya, kejadian yang kami alami itu adalah peringatan 20 tahun (runtuhnya dinasti Bulls yang diperkuat Michael Jordan). Dan, kami memiliki bagian yang sangat penting dari musim kami, musim itu (Bulls), yang juga dihadapi Steve Kerr,” kata Green yang terkenal blak-blakan.
Kerr, yang kini menjadi pelatih Warriors, merupakan mantan pemain Bulls di era kejayaannya, akhir 1990-an. Sepanjang kariernya saat bermain, Kerr mengoleksi lima cincin juara NBA, tiga di antaranya diperoleh bersama Bulls dan Jordan.
Kisah kejayaan tim legendaris Bulls itu, yang terdiri dari Jordan, Kerr, Scottie Pippen, dan Dennis Rodman, digambarkan ulang dalam The Last Dance yang ditayangkan ESPN dan Netflix sejak Senin (20/4) waktu Indonesia. Film itu juga menceritakan akhir kisah dinasti Bulls sebelum pensiunnya Jordan pada akhir musim 1997-1998. Jordan lantas sempat comeback ke NBA pada 2001 dengan memperkuat Wahington Wizards.
Perseteruan Manajer Umum Chicago Bulls saat itu, Jerry Krause, dengan pelatih Phil Jackson ditengarai menjadi penyebab awal keretakan tim dan hancurnya dinasti Bulls di akhir musim itu. Itu selaras dengan pernyataan Jackson yang di awal musim 1997-1998 meminta para pemainnya memberikan persembahan indah terakhir alias ”the last dance”.
Dengan segala prahara dan konflik yang menerpa, Jordan mempertahankan Bulls sebagai tim basket terbaik di Amerika Serikat saat itu. Ironisnya, itulah tahun terakhir Bulls meraih gelar juara NBA. Sejak akhir musim itu, tim asal Chicago tersebut lantas mengalami kemunduran yang ditandainya hijrahnya Jackson ke LA Lakers dan pensiunnya Jordan.
Kerr juga pindah ke San Antonio Spurs dan menjadi juara di musim pertamanya bersama tim barunya itu. Pippen, yang tidak kalah berjasa bagi Bulls, juga pergi ke klub lainnya, yaitu Houston Rockets. Bulls pun bukan lagi tim yang sama sejak musim 1998-1999 dengan diawali kepergian Jackson.
”Saya pikir Phil Jackson melakukan hal yang hebat yang mengakui kalau ada ’gajah’ (masalah) di dalam ruang ganti. Jika Phil tidak melakukan itu, sepanjang tahun semua orang akan berurusan dengan ’gajah’ tersebut, di mana pun,” ujar Green.
Kisah di Bulls itu mengingatkan Green akan sepak terjang klubnya saat ini, Warriors. Klub yang diperkuat Stephen Curry itu mirip dengan Bulls, dua dekade lalu.
Kisah di Bulls itu mengingatkan Green akan sepak terjang klubnya saat ini, Warriors. Klub yang diperkuat Stephen Curry itu mirip dengan Bulls, dua dekade lalu. Warriors adalah tim paling dominan di NBA saat ini. Mereka selalu tampil di final NBA dan tiga kali juara dalam setengah dekade terakhir.
Namun, musim lalu, mereka gagal mempertahankan gelar juara setelah dikalahkan Toronto Raptors, 2-4, di final. Green juga membandingkan masalah kontrak yang sempat terjadi di Bulls dengan proses kontrak yang terjadi di Warriors. Masalah kontrak itu salah satunya membuat bintangnya, Kevin Durant, hengkang ke Brooklyn Nets, akhir musim 2018-2019.
Kevin Durant
Padahal, KD, panggilan Kevin Durant, seperti Jordan di era kejayaan Bulls. Ia mampu keluar sebagai pemain terbaik (MVP) Final NBA secara beruntun pada 2017 dan 2018. Tanpa KD, Warriors bukan lagi tim yang sama, yaitu juara NBA pada 2015, 2017, dan 2018.
”Jujur, tim 2017-2018 mengalahkan tim 2016 yang sebenarnya justru lebih menyatu satu sama lain,” kata Green.