Pandemi Covid-19 Mengancam Eksistensi Sepak Bola Wanita
Wabah Covid-19 berpotensi memberikan dampak lebih parah bagi pesepak bola wanita. Pemutusan kontrak menjadi ancaman yang ada di depan mata para pemain.
Oleh
Muhammad Ikhsan Mahar
·4 menit baca
AFP/JEAN-PHILIPPE KSIAZEK
Pemain Sepak bola Wanita Amerika Serikat merayakan prestasi mereka merebut tropi Piala Dunia Wanita 2019 seusai mengalahkan Belanda di partai final yang digelar di Lyon, Perancis, Minggu (7/7/2019). Amerika Serikat menang dengan skor 2-0.
LONDON, JUMAT — Federasi Internasional Pesepak Bola Profesional atau FIFPro menganggap wabah Covid-19 menghadirkan ancaman serius bagi keberlangsungan sepak bola wanita. Kontrak pemain yang singkat hingga ketiadaan agenda internasional pada tahun ini menjadi penyebab para pesepakbola putri terancam tidak bisa melanjutkan kariernya dalam waktu dekat.
Sekretaris Jenderal FIFPro Jonas-Baer Hoffmann mengatakan, euforia Piala Dunia Wanita 2019 telah membawa antusiasme baru bagi kompetisi di Eropa. Sejumlah klub mulai serius melakukan investasi untuk membentuk tim wanita. Namun, mayoritas pesepak bola putri belum memiliki kesetaraan dibandingkan para pesepak bola pria, misalnya pemenuhan nilai kontrak.
”Kurangnya kontrak tertulis, durasi kontrak kerja yang singkat, kurangnya asuransi kesehatan dan jaminan kesehatan, serta ketiadaan proteksi pekerja dasar dan hak-hak pekerja lainnya membuat para pesepak bola wanita terancam akan kehilangan kariernya di tengah pandemi ini,” ujar Hoffmann, seperti dilansir The Guardian, Jumat (17/4/2020) WIB.
Berdasarkan hasil survei kepada pesepak bola wanita di seluruh dunia dalam laporan bertajuk ”FIFPro’s 2020 Raising Our Game”, FIFPro menemukan mayoritas pesepak bola putri belum mendapatkan hak-hak yang seharusnya didapatkan sebagai atlet profesional. Pasalnya, hanya 51 persen yang menerima fasilitas tempat tinggal, 44 persen mendapatkan asuransi kesehatan, dan 37 persen menerima tunjangan makan dari klub.
Dalam laporan lain, yaitu ”FIFPro’s 2017 Global Employment Report”, terungkap pula bahwa 53 persen pesepak bola wanita hanya menerima kontrak berdurasi 12 bulan. Adapun 47 persen lainnya justru tidak memiliki kontrak kerja tertulis. Atas dasar itu, hanya 18 persen pesepak bola wanita yang memenuhi kriteria sebagai pemain profesional yang didasari memiliki kontrak tertulis dan dibayar atas aktivitas sepak bola.
Selanjutnya, sebanyak 37 persen pesepak bola wanita di Eropa mengalami pembayaran gaji yang telat. Bahkan, 60 persen pesepak bola putri hanya menerima pendapatan bersih kurang dari 600 dollar Amerika Serikat (Rp 9,2 juta) per bulan.
Sebagai contoh, Perkumpulan pesepak bola wanita Spanyol sempat memboikot satu pekan Liga Spanyol Wanita pada November 2019. Penyebabnya, para pemain menuntut kenaikan upah minimum menjadi 16.000 Euro (Rp 269 juta) per bulan yang sebelumnya 8.000 Euro (Rp 134 juta). Adapun pemain berlabel bintang, seperti gelandang Barcelona Femeni, Lieke Martens, menerima 200.000 Euro (Rp 3,36 miliar) setiap bulan.
AFP/LIONEL BONAVENTURE
Para pemain AS merayakan pada akhir pertandingan sepak bola perempat final Piala Dunia Wanita Prancis 2019 antara Prancis dan AS, pada 28 Juni 2019, di stadion Parc des Princes di Paris.
Dalam kondisi normal, lanjut Hoffmann, sejumlah pesepak bola wanita pernah mengalami pemutusan kontrak sepihak akibat klub mengalami kebangkrutan. Tidak hanya itu, para pemain yang memilih bermain di luar negeri juga harus mengalami pemotongan gaji dan terisolasi di tempat baru karena tidak bisa membawa keluarga.
Lebih lanjut, Hoffmann mengungkapkan, masalah utama yang akan dihadapi pesepak bola wanita didasari potensi kehilangan investor yang mulai muncul dalam beberapa tahun terakhir.
”Selain itu, penundaaan seluruh turnamen internasional juga memberi pukulan telak karena sepak bola wanita sangat bergantung pada turnamen, seperti Piala Dunia dan Olimpiade. Turnamen itu adalah sarana utama pemain untuk membangun karier dan memungkinkan mereka direkrut oleh klub,” ujarnya.
Terdampak
Apabila pesepak bola pria mengalami penundaan liga, wabah Covid-19 menghentikan di tengah jalan sejumlah turnamen yang diikuti tim nasional putri. Misalnya, Piala Algarve di Portugal, Piala She Believes di AS, Tournoi de France di Perancis, Piala Pinatar di Spanyol, dan Piala Siprus di Siprus.
Laga final Piala Algarve yang mempertemukan tim nasional wanita Italia melawan Jerman pun terpaksa tidak dilaksanakan karena situasi darurat yang diterbitkan Pemerintah Portugal. Akibatnya, para pemain masih tertahan di Portugal.
Penyerang tim nasional Inggris wanita, Jodie L Taylor, berharap operator liga dan klub bersedia transparan untuk menjamin para pemain bisa kembali berlaga setelah pandemi selesai.
”Saya merasa seluruh pemain merasa tidak aman saat ini,” kata Taylor, yang bermain untuk OL Reign di Liga Sepak Bola Wanita Nasional AS (NWSL).
Oleh karena itu, Kepala Pesepak Bola Wanita FIFPro Amanda Vandervort mendesak seluruh pihak, mulai dari FIFA, federasi sepakbola, klub, hingga penyelenggara liga harus segera mencari jalan keluar untuk memberikan kepastiaan kepada para pesepak bola putri.
”Kita tidak bisa menunggu lagi untuk membahas permasalahan ini. Kami paham investasi akan berkurang atau dihentikan, tetapi kita harus memiliki visi bersama untuk industri sepak bola wanita. Bersama kita akan bisa meraih pertumbuhan yang berkesinambungan,” kata Vandervort. (AFP)