Sepak bola telah membantu bintang Liverpool, Sadio Mane, untuk menggenapi cintanya kepada keluarga dan Senegal. Dengan berbagai aksi sosialnya, Mane pun memaknai ulang sepak bola.
Oleh
Herpin Dewanto Putro
·4 menit baca
Sadio Mane bercerita bahwa ia menghabiskan masa kecilnya dengan bermain bola bersama teman-temannya di sebuah tanah lapang di Bambali, desa kecil di Sadhiou, Senegal. Sebuah perisiwa pahit yang terjadi di tanah lapang itu pada 1999 silam itu kemudian menuntun Mane menjadi bintang di Liverpool dan tim nasional Senegal sekaligus sosok dermawan di luar lapangan.
Pada tahun 1999 itu, Mane masih berusia tujuh tahun. Saat hendak bermain bola, salah satu saudara sepupunya datang menghampiri. ”Sadio, ayahmu meninggal,” kata saudara sepupunya itu. Mane tidak langsung percaya ketika mendengar kabar itu.
Penggalan kisah pahit itu diceritakan Mane dalam sebuah film dokumenter Made in Senegal yang ditayangkan secara gratis di Rakuten TV, Rabu (8/4/2020). Film berdurasi 72 menit itu menceritakan bagaimana sepak bola bisa mengubah kehidupan Mane dan mendorongnya untuk meningkatkan kualitas hidup warga di Senegal.
Cinta yang begitu dalam terhadap sepak bola itulah yang menjadi energi Mane untuk mewujudkan rasa cinta yang lain, yaitu terhadap keluarga dan Senegal. ”Sepak bola adalah hidup saya. Sejak kecil, saya hanya tahu sepak bola dan yang saya inginkan hanyalah menjadi seorang pemain sepak bola,” kata Mane dalam film itu.
Kematian sang ayah merupakan peristiwa yang sangat disesali Mane. Sebelum meninggal, ayahnya mengidap penyakit yang sulit disembuhkan dan menderita selama beberapa pekan. Obat-obatan tradisional hanya bisa meredam rasa sakit selama tiga hingga empat bulan.
”Sakit ayah kembali kambuh dan obat-obatan (tradisional) itu tidak lagi manjur,” ujar Mane kepada The Guardian.
Celakanya, Bambali tidak punya rumah sakit sehingga ayahnya kemudian dibawa ke desa tetangga dan berharap mendapat pertolongan. Namun, harapan itu tidak pernah terwujud.
Titik awal
Ketiadaan fasilitas kesehatan yang memadai di Bambali membuat Mane kehilangan sosok yang ia banggakan. Kepergian sang ayah menjadi titik awal bagi Mane menentukan arah masa depannya. Sejak saat itu, Mane bertekad untuk melakukan yang terbaik agar dapat membantu ibunya.
Jalan keluar Mane satu-satunya adalah sepak bola. Saat itu ia berpikir bahwa sepak bola akan memperbaiki kehidupan keluarganya. Namun, keluarganya ternyata tidak menyukai sepak bola.
Jalan keluar Mane satu-satunya adalah sepak bola. Saat itu, ia berpikir sepak bola akan memperbaiki kehidupan keluarganya. Namun, keluarganya ternyata tidak menyukai sepak bola dan Mane pun sendirian dalam bermimpi.
”Saya tidak tahu mengapa saya dilarang untuk mewujudkan mimpi,” kata Mane dikutip France Football.
Akhirnya, Mane nekat berjuang sendiri. Setiap pagi, Mane kecil berangkat ke sekolah dengan membawa tas dan perlengkapan lainnya. Ibunya tidak tahu jika Mane ternyata membolos dan pergi bermain bola. Hingga, suatu saat, ibunya Mane diberitahu pihak sekolah bahwa anaknya jarang terlihat di kelas.
Kenekatan Mane mencapai puncaknya ketika ia kabur dari rumah ketika berusia 16 tahun. Dengan dibantu temannya, Mane pergi ke Dakar, ibu kota Senegal, untuk bergabung dengan Generation Foot, akademi dan klub yang menjadi batu loncatan ke Eropa.
Bakat Mane sangat menonjol sehingga ia mendapat kesempatan untuk terbang ke Perancis dan bergabung dengan Metz pada 2011. Sama seperti ia pergi ke Dakar, kali ini Mane juga pergi secara diam-diam. ”Saya hanya memberi tahu paman saya. Bahkan, ibu tidak tahu,” kata Mane dikutip laman Liverpool.
Lima tahun kemudian, pada tahun 2016, setelah berpindah ke Red Bull Salzburg dan Southampton, Mane akhirnya berlabuh di klub yang memberinya status bintang, Liverpool. ”Mane telah melalui jalan panjang untuk sampai di sini (Liverpool) dan itu sangatlah spesial,” kata Manajer Liverpool Juergen Klopp yang juga tampil dalam film dokumenter itu.
Mane datang untuk melengkapi trisula ”The Reds” bersama Roberto Firmino dan Mohamed Salah. Mereka bertiga, ketika dimainkan bersama, menjadi kekuatan yang menakutkan lawan. Mane dan Liverpool pun meraup kesuksesan besar di tahun 2019 ketika mereka bisa menjuarai Liga Champions, Piala Super UEFA, dan Piala Dunia Antarklub.
Mane sendiri meraih penghargaan sebagai pemain terbaik Afrika tahun 2019. Ia mengalahkan Salah (Mesir) dan juga Riyad Mahrez (Aljazair/Manchester City). ”Saya datang dari sebuah desa kecil bernama Bambali dan saya yakin mereka (warga Bambali) sedang menonton saya,” kata Mane ketika meraih penghargaan itu.
Kembali ke Bambali
Di Liverpool, Mane merasa sudah mendapatkan apa yang ia butuhkan saat masih kecil. Ia mengumpulkan uang yang ia peroleh dan menggunakannya untuk mewujudkan cintanya kepada keluarga dan Senegal. Sebagian uangnya mengalir ke Bambali dan berubah wujud menjadi rumah sakit, sekolah, maupun masjid.
Mane membangun rumah sakit karena ia tidak mau orang lain kehilangan ayah secara tragis seperti dirinya. Ia juga membangun sekolah agar anak-anak di Senegal bisa memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Sekolah akan membuat seorang pesepak bola menjadi lebih sukses. Sepak bola dan sekolah harus hidup berdampingan.
”Banyak anak-anak ingin menjadi pesepak bola seperti saya. Namun, saya selalu mengatakan bahwa mereka sebaiknya mendapatkan pendidikan yang bagus dan bisa bersekolah,” kata Mane.
Ketika pandemi Covid-19 melanda, Mane juga menyumbang sebesar 40.000 pounds atau Rp 800 juta kepada pemerintah Senegal. ”Terkadang, di Afrika, sebuah desa bisa terlupakan. Jadi, ketika saya meraih kesuksesan, saya siap untuk membantu,” ujar Mane.
Melalui kedermawanannya, Mane memaknai ulang sepak bola. Olahraga ini tidak lagi berkembang menjadi hiburan semata maupun sebuah industri yang menghasilkan banyak uang. Sepak bola, di tangan pemain seperti Mane, telah menjadi alat untuk menyampaikan cinta dan menumbuhkan solidaritas.