Mimpi Mereka yang Tertunda
Ditundanya Olimpiade Tokyo 2020 akibat wabah Covid-19 membangunkan sejumlah pihak dari mimpi indah akan acara megah. Namun, penundaan ini niscaya menjadikan Olimpiade jauh lebih indah dari sebelumnya.
2020 merasuk ke benak pria asal Jakarta, Franklin (26). Potong-potongan gambar dalam bayangannya itu kian nyata mendekati hari-H yang tinggal empat bulan lagi.
Pertunjukan tari kolosal dan permainan lampu ribuan megawatt yang diakhiri klimaks pesta kembang api begitu menggodanya. Keindahan ini seperti sudah dijamin dalam pikirannya. Sebab penyelenggaranya, Jepang, adalah negara yang mendewakan detail dan kreativitas.
Namun, akhir Maret, tuan rumah memutuskan menunda Olimpiade itu hingga musim panas 2021. Kabar tersebut bak mimpi buruk pada siang bolong. Puzzle yang sudah terbentuk, di kepala Franklin, mengurai begitu saja. Berubah menjadi latar hitam polos.
”Kaget pas dengar pengumumannya di medsos (media sosial). Kecewa banget. Padahal, sudah menyiapkan semuanya buat ke sana. Tinggal berangkat saja,” kata karyawan swasta penyuka manga atau komik Jepang tersebut.
Dia sudah membeli tiket pesawat dan penginapan sejak awal tahun ini. Tabungannya, yang semula untuk rencana masa depan, diambil demi menggapai mimpinya di Tokyo. Tekadnya begitu kuat. Selain acara pembukaan, dia terobsesi menonton atlet voli idolanya Yuki Ishikawa. Ia juga ingin mendukung langsung ganda putra bulu tangkis nasional terbaik, Kevin Sanjaya/Marcus Gideon, di Jepang.
Sayangnya, mimpinya sekarang berada di ujung jurang. Penundaan setahun akan berdampak terhadap pesanan tiket pesawat dan penginapan. Franklin berniat mengajukan penjadwalan ulang pesanan. Namun, dia menyadari itu akan sulit. Sebab banyak penginapan di Tokyo yang sedang menatap krisis akibat penundaan Olimpiade. ”Tidak tahulah gimana nanti. Yang pasti, saya coba dulu,” tuturnya.
Perasaan serupa turut dialami pengusaha muda asal Jakarta, Henry (27). Dia sengaja mencari waktu yang tepat untuk ke Jepang agar bisa jalan-jalan sekaligus menonton Olimpiade. Namun, setelah menunda keinginannya ke ”Negeri Matahari Terbit” selama dua tahun terakhir, ajang yang dinantikannya justru batal dilaksanakan Juli 2020.
”Tiket dan penginapan sudah siap semua. Jujur, penasaran mau lihat (Olimpiade) musim panas seperti apa. Semoga saja masih ada kesempatan nonton tahun depan,” ungkap Henry yang menonton langsung Olimpiade Musim Dingin PyeongChang 2018.
Gagal panen
Kenyataan pahit itu juga dialami 600.000 - 920.000 calon penonton lainnya dari luar negeri. Mereka semestinya hadir akhir Juli hingga pertengahan Agustus 2020 untuk merasakan gegap gempita Olimpiade Tokyo.. Setelah sempat berebutan akomodasi, mereka kini beramai-ramai mengajukan pembatalan atau penjadwalan ulang pesanan penginapan menyusul wabah Covid-19.
Karena itu, industri pariwisata dan perhotelan lokal di Jepang menjadi yang paling terpukul akibat penundaan itu. Selama berlangsungnya ajang itu diperkirakan 46.000 kamar hotel akan terisi dalam sehari. Jumlah itu belum termasuk penginapan informal, seperti dari aplikasi Airbnb.
Bayangan panen pengunjung itu berubah jadi potensi kerugian yang harus dihadapi. Misalnya saja, Hotel Toka, salah satu penginapan murah di Tokyo. Seluruh kamar hotel mereka sudah habis terpesan pada periode Juli-Agustus. Potensi keuntungan sangat besar karena mereka menaikan harga lima kali lipat dari normal.
Namun, pemilik hotel, Kanako Takahashi meyakini seluruh tamunya akan mengajukan pembatalan atau penjadwalan ulang pesanan. yang akan sama-sama merugikan untuknya. Pembatalan membuat Takahashi mengembalikan uang tamu, sedangkan penjadwalan ulang akan membuat penginapan kosong pada tanggal pesanan sebelumnya.
Krisis semakin buruk karena penginapan sudah tidak bergairah sejak awal tahun akibat pandemi Covid-19 yang berdampak kepada pariwisata. ”Kami sudah menjalankan hotel lebih dari 20 tahun. Tetapi, tidak pernah sesulit ini,” kata Takahashi seperti dikutip Nikkei Asian Review.
Menurut Wakil Presiden Organisasi Turisme Jepang (JNTO) Tadashi Kaneko, bakal banyak penginapan yang kesulitan mengembalikan biaya jika pesanan dibatalkan. Uang pesanan itu banyak yang sudah digunakan untuk menutup operasional pada awal tahun. Beberapa penginapan juga melakukan renovasi untuk menyambut pengunjung.
Pilihan sulit ini berpotensi menjadi beban baru di pundak pemerintah Jepang. Ekonom lokal, Takayuki Miyajima, menyarankan pemerintah memberikan subsidi terhadap pelaku industri yang terdampak penundaan. Jika tidak, kesulitan bayar bisa berbuntut pada kepercayaan turis.
Menghadapi krisis
Tuan rumah pun semakin pusing. Alih-alih meraup uang pengunjung yang diperkirakan mencapai Rp 80,4 triliun – Rp 106,7 triliun, mereka justru menghadapi krisis. Dengan penundaan Olimpiade, menurut Sekuritas SMBC Nikko, produk domestik bruto (PDB) Jepang pada 2020 berpotensi anjlok sampai 1,4 persen.
Tuan rumah memang nyaris kehilangan segalanya. Namun, bukan Jepang bila tak mampu bangkit dari keterpurukannya. Mereka sudah pernah dikecewakan saat batal menjadi tuan rumah Olimpiade 1940 akibat Perang Dunia Kedua. Namun, kekecewaan itu dibalas kesuksesan saat dipercaya menyelenggarakan Olimpiade 1964.
Positifnya, sang tuan rumah memiliki 12 bulan waktu tambahan untuk menyempurnakan persiapan Olimpiade 2020. Ketika persiapan mereka telah matang tahun depan, saat bersamaan, dunia kemungkinan sudah pulih dari jeratan pandemi Covid-19.
Momentum ini bisa membuat Olimpiade Tokyo sebagai ajang terbaik yang pernah ada. Ajang yang disebut ”Olimpiade Pemulihan” itu akan menjalankan fungsi sesuai jargonnya itu. Ajang ini akan mengumpulkan penonton yang seperti merasakan ”kehidupan kedua”.
”Tokyo menawarkan kesempatan berkumpul dan merayakan kemanusiaan bersama setelah pandemi. ”Setelah harus berjarak selama merebaknya virus, para penonton akan berteriak bahagia, berpelukan, dan menangis bersama karena merasa beruntung bisa berada di sana,” kata Michael Payne, mantan direktur pemasaran untuk hak siar Komite Olimpiade Internasional (IOC).
Tangisan pecah emosional dari para atlet akan menjadi tontonan yang lazim. Mereka pasti tampil habis-habisan. Aksi itu mencerminkan penantian selama lima tahun, dengan berbagai kendala latihan selama pandemi, untuk bisa tampil di ajang olahraga paling bergengsi tersebut.
Kirab obor, menurut Payne, akan menjadi permulaan ajang yang paling mengharukan. Obor bisa dibawa oleh para tenaga medis yang secara heroik telah berjibaku menyelamatkan masyarakat dunia.
Sejarah telah membuktikan, Olimpiade selalu berhasil menjadi penghangat di tengah permasalahan dunia, mulai dari perang hingga krisis ekonomi.
Sejarah telah membuktikan, Olimpiade selalu berhasil menjadi penghangat di tengah permasalahan dunia, mulai dari perang hingga krisis ekonomi. Seperti pada 2008, Olimpiade Beijing diselenggarakan di tengah krisis ekonomi dunia yang melumpuhkan nyaris seluruh negara.
Cahaya di kegelapan
Dalam situasi krisis, upacara pembukaan di Stadion Nasional Beijing, yang dikenang dengan penampilan 4.000 pemain perkusi, mampu menyedot perhatian masif warga dunia. Statista, lembaga survey AS, menunjukkan pembukaan saat itu ditonton oleh 4,4 miliar orang di seluruh belahan dunia atau yang terbanyak sepanjang sejarah. Nyaris tiada tontotan lain yang mampu menandinginya saat itu.
Tidak ada langit yang lebih cerah, dibandingkan langit setelah badai besar. Ungkapan klasik itu agaknya akan menjadi inspirasi bagi ajang yang tepat berusia 125 tahun pada tahun depan. ”Olimpiade akan menjadi cahaya di ujung lorong gelap,” ungkap Thomas Bach, Presiden IOC, penuh optimisme.(AP/REUTERS)